Mubadalah.id – “Stop Bullying, Be Supportive”. Sebuah kalimat yang menjadi slogan dari gerakan #1MillionYouthsStopBullying ini telah menggema di bumi Yogyakarta. Kampanye melawan perundungan yang tim Ruber Innovation Lab gencarkan, menggunakan pendekatan coaching dan boardgame yang edukatif.
Dalam sesi #1MYouthStopBullying Goes To Yogyakarta, tim Ruber Innovation Lab mengajak 1.000 guru dan siswa se-provinsi DIY untuk bersama-sama menciptakan sekolah yang ramah anak dan bebas perundungan. Melalui permainan edukatif bernama Buddy Pekerti ini, para guru dan siswa tidak hanya diajak untuk mengenal satu sama lain. Mereka juga belajar tentang nilai dan prinsip dasar untuk memutus rantai perundungan.
Bicara soal perundungan, saya jadi teringat dengan kisah teman saya dulu, Iwan. Bukan nama sebenarnya, tetapi nama ayahnya. Entah siapa yang pertama kali memanggilnya dengan nama itu. Karena terlalu banyak yang memanggilnya demikian, beberapa kawan saya tidak tahu kalau ternyata itu adalah nama ayahnya, termasuk saya sendiri.
Pada suatu hari ada kawan saya yang berkunjung ke rumah Iwan. Dengan lantang dan penuh kepercayaan diri, ia berteriak memanggilnya dari luar rumah. “Iwan…. Iwan….”
Alhasil yang keluar adalah ayahnya yang memang bernama Iwan.
“Ada apa mas?”
“Iwan ada di rumah, Pak?”
“Saya Iwan, Mas. Kalian temannya anak saya?.”
“ehh… ehm… Iya, Pak”
Saya yang hanya mendengar cerita dari kawan saya ini membayangkan betapa kikuknya jika saya berada di posisi tersebut. Hahaha.
Hingga hari ini, memanggil seseorang dengan nama orang tua sepertinya bukan hal asing lagi. Namun, saya yakin sebenarnya semua orang tidak akan terima jika dipanggil dengan nama orang tuanya. Apalagi jika nama itu mereka plesetkan. Jika pun ia terlihat biasa saja dengan dalih supaya lebih akrab, saya yakin sebenarnya ia juga ingin melawan. Bukannya tidak mau, tetapi tidak mampu.
Masalah Perundungan di Yogyakarta
Perundungan tidak hanya muncul dalam serial drama korea, ftv, maupun drama lainnya. Namun, perundungan atau bullying ini hadir nyata dalam lingkungan sekitar kita. Entah kita sadari atau tidak. Yogyakarta sendiri mengutip dari Radar Jogja kasus perundungan yang terjadi di sekolah masih cukup memprihatinkan.
Meski menurut Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) belum ada catatan pasti terkait jumlah kasus perundungan. Tetapi menurutnya, kasus ini menunjukkan tren yang meningkat dan menjadi momok bagi dunia pendidikan di Yogyakarta.
Bahkan beberapa korban perundungan yang DP3AP2KB temukan, mengalami depresi hingga mogok sekolah. Bagaimanapun juga, luka perundungan itu akan selalu ada. Meski tidak selalu terlihat nyata, sakitnya tetap terasa. Dan mungkin, mereka hanya pura-pura untuk menerimanya dengan lapang dada.
Istilah perundungan atau bullying sendiri menurut UNICEF mengacu pada tiga karakteristik: niat, pengulangan, dan kekuasaan. Pelaku perundungan memang sengaja untuk menyakiti, baik dengan kekerasan fisik maupun secara verbal. Tidak hanya ia lakukan sekali dua kali, tetapi secara berulang dengan pola yang sama.
Biasanya aksi perundungan berasal dari anak dengan status sosial atau kekuasan yang mereka anggap lebih tinggi. Misalnya lebih kuat, lebih besar, ataupun lebih populer. Sementara itu, korban perundungan cenderung berasal dari komunitas yang terpinggirkan atau status sosial yang lebih rendah.
Alhasil korban pun akhirnya merasa tidak memiliki rasa percaya diri yang cukup sehingga tidak berani speak up. Belum lagi adanya tekanan atau ancaman dari pelaku serta kurang adanya lingkungan yang mendukung korban untuk berani bersuara.
Eleanor & Tanga (2019) menyebut korban perundungan dalam jangka panjang dapat mengalami depresi, kecemasan berlebih, dan merasa rendah diri. Bahkan, dalam tahap akut mereka akan trauma terhadap sekolah dan bisa berujung pada bunuh diri.
Kondisi ini pun turut melatarbelakangi Ruber Innovation Lab untuk membuat gerakan #1MYouthsStopBullying dengan permainan edukatif yang menyenangkan sebagai langkah preventif untuk memerangi perundungan.
Mengenal Buddy Pekerti Boardgame
Buddy Pekerti Boardgame yang Ruber Innovation Lab kembangkan merupakan sebuah game card edukatif untuk siswa jenjang menengah. Game ini memiliki empat kartu berbeda. Tiga kartu memuat sebuah kata tertentu dan satu kartu yang bergambar. Buddy Pekerti dimainkan secara berkelompok.
Setiap peserta nanti diminta untuk bercerita terkait kata atau gambar apa yang ia dapatkan. Mereka dapat bercerita satu persatu secara bergantian maupun berpasangan. Tentu dalam game ini, seluruh peserta harus saling terbuka, saling percaya, aktif mendengar dan tidak boleh saling mengejek atau men-judge.
Mengutip dari matahatibermakna.ruberacademy.id, konsep dasar permainan buddy pekerti ialah saling memahami. Permainan ini dapat menstimulus perasaan, tindakan, dan ekspresi supaya peserta memiliki pola pikir bertumbuh (grow mindset), kepercayaan diri, dan empati terhadap sesama.
Permainan ini, mengutip dari ipb.ac.id tidak hanya sekadar bermain kata. Tim Ruber telah merancang Buddy Pekerti dengan model design thinking yang mereka kombinasikan dengan teknik coaching. Melalui tahapan emphatize, define problem, ideate, prototype, dan testing akhirnya terciptalah model permainan kartu ini.
Permainan ini juga berlandas pada teori psikososial Erik Erikson. Menurutnya, remaja usia 12-18 tahun sedang berada dalam fase pencarian identitas vs kebingungan peran. Pada tahapan ini remaja akan mencari identitas dirinya dalam masyarakat melalui kepercayaan, tujuan, dan nilai kehidupan yang mereka pegang. Oleh karena itu, kondisi ini menjadi fase yang sesuai untuk memberikan pemahaman terkait perundungan melalui permainan interaktif.
Lantas, apa hubungannya dengan kasus perundungan?
Sebagai seseorang yang pernah menjadi fasilitator, sebelumnya saya juga mempertanyakan apa keterkaitan antara bercerita dengan kasus perundungan. Namun, kemudian saya memahami bahwa perundungan sendiri bukanlah kasus yang terjadi secara alami. Kasus ini terjadi secara sistemik dan terstruktur. Sementara korban tidak memiliki ruang dan lingkungan yang aman.
Ketika seseorang berada dalam sebuah lingkungan pertemanan, di mana ia bisa terbuka untuk bercerita tentang dirinya, tanpa takut dihakimi, dan mereka bisa saling menaruh empati, pertemanan seperti ini akan menjadi support system yang positif. Hal inilah yang menjadi tujuan Buddy Pekerti sebagai langkah preventif dalam mencegah perundungan.
Seseorang yang memiliki pola pikir bertumbuh dengan empati tinggi akan menyadari bahwa teman hadir bukan sebagai lawan atau objek perundungan. Mereka hadir sebagai kawan untuk bertukar pikiran, saling mendukung, dan menjadi ruang aman untuk tumbuh bersama. []