Mubadalah.id – Kadang teman saya suka nyeletuk seperti ini, “laki-laki kok belajar feminisme, emangnya buat apa?”. Di sisi lain saya memang intens sekali belajar tentang kesetaraan gender, feminisme, sampai pada hal-hal yang sifatnya domestik. Karena saya rasa hal seperti wajar. Tidak hanya perempuan saja yang harus belajar feminisme, tapi laki-laki pun idealnya harus paham apa itu gender, feminisme, dan ranah-ranah domestik.
Lantas apa salahnya jika ada laki-laki belajar feminisme? Justru hemat saya hal ini akan terbuka ruang-ruang inklusif bagi laki-laki itu sendiri. Dengan memahami feminisme, laki-laki dapat lebih menyadari bagaimana struktur sosial yang patriarkis tidak hanya merugikan perempuan tetapi juga membatasi kebebasan dan potensi laki-laki itu sendiri.
Selain itu, kesadaran ini bisa mendorong terciptanya relasi yang lebih setara, saling menghormati, dan bebas dari bias gender. Baik dalam lingkungan keluarga, tempat kerja, maupun masyarakat secara luas. Bukankah dunia yang adil dan inklusif adalah tanggung jawab kita bersama, tanpa memandang gender?
Kadang masih ada beberapa orang yang salah kaprah mengartikan apa itu feminisme. Feminisme mereka artikan untuk menciptakan ruang superior bagi perempuan. Sebenarnya bukan seperti itu, tapi tujuan feminisme sendiri adalah nilai kemanusian.
Feminisme bisa berarti gerakan atau pemikiran yang membela hak-hak perempuan sebagai manusia yang setara dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan, baik itu sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Feminisme tidak bertujuan untuk menjadikan perempuan lebih unggul. Melainkan untuk menghapus diskriminasi, ketidakadilan, dan ketimpangan yang selama ini terjadi akibat struktur patriarki.
Pada dasarnya, feminisme adalah upaya untuk menciptakan kesetaraan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga setiap individu, tanpa memandang gender, dapat hidup dengan martabat dan hak yang sama.
Terbebas dari Pandangan Seksis dan Misoginis
Dengan berpikir feminis, seorang laki-laki dapat melepaskan diri dari pandangan seksis dan misoginis. Seksisme adalah sikap yang merendahkan seseorang berdasarkan jenis kelamin. Sementara misogini mengacu pada kebencian terhadap perempuan. Kedua hal ini merupakan akar dari kekerasan seksual, karena laki-laki dengan pola pikir seksis dan misoginis sering kali memulai dengan menjadikan perempuan sebagai objek candaan seksual.
Lama-kelamaan, pola pikir ini berkembang menjadi anggapan bahwa tubuh perempuan adalah sesuatu yang dapat kita eksploitasi atau kita kendalikan. Pandangan seperti ini turut menyumbang pada normalisasi perilaku yang merendahkan perempuan. Baik melalui ucapan, tindakan, maupun kebijakan yang tidak adil.
Dengan sudut pandang feminis, saya belajar untuk melihat perempuan sebagai individu yang setara. Bukan sebagai objek atau milik orang lain. Berpikir bebas dari seksisme dan misoginis juga membuat saya lebih memahami pentingnya menghormati batasan, persetujuan, dan hak setiap individu, sehingga kekerasan seksual dapat kita cegah sejak dari akarnya.
Selain itu, berpikir feminis membantu laki-laki menyadari bagaimana patriarki tidak hanya merugikan perempuan. Tetapi juga membebani laki-laki dengan ekspektasi yang tidak realistis tentang maskulinitas. Dengan membongkar pola pikir seksis dan misoginis, laki-laki dapat berkontribusi pada terciptanya relasi yang lebih sehat dan setara antara laki-laki dan perempuan.
Pendekatan ini juga membuka ruang untuk dialog yang lebih inklusif. Di mana setiap orang bisa saling mendukung dan menghargai peran serta kontribusi masing-masing tanpa terjebak dalam stereotip gender. Pada akhirnya, berpikir feminis tidak hanya tentang membela hak perempuan, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih adil, setara, dan penuh empati bagi semua pihak.
Mampu Memberikan Ruang Berekspresi
Feminisme menyediakan ruang bagi laki-laki untuk mengekspresikan diri dan memvalidasi emosinya, termasuk dengan menangis. Laki-laki, sama seperti perempuan, memiliki perasaan yang perlu terakui dan kita hargai. Menangis bukanlah monopoli perempuan; itu adalah bentuk ekspresi yang alami dan manusiawi.
Jika ada alasan yang jelas, seperti merasa sakit atau kehilangan orang tua, wajar saja jika laki-laki menangis. Penting untuk kita ingat bahwa menangis adalah respons emosional yang universal, dan anggapan bahwa hanya perempuan yang boleh menangis adalah hasil dari konstruksi sosial.
Dalam perspektif feminisme, konstruksi sosial tentang peran laki-laki dan perempuan—yang sering kita sebut gender, dapat dipertukarkan tanpa mengubah identitas dasar seseorang sebagai laki-laki atau perempuan.
Contohnya, seorang laki-laki yang memilih untuk memasak atau merawat anak tidak kehilangan identitasnya sebagai laki-laki. Begitu pula perempuan yang bekerja atau mengejar karier tetap sepenuhnya menjadi dirinya sebagai perempuan. Feminisme mengajarkan bahwa tidak ada peran atau tanggung jawab yang secara alami melekat hanya pada satu gender tertentu.
Dengan memahami hal ini, laki-laki tidak perlu merasa kehilangan maskulinitas hanya karena menunjukkan emosi, seperti menangis, atau melakukan pekerjaan yang dianggap “peran perempuan.” Sebaliknya, membebaskan diri dari batasan sosial yang kaku memungkinkan individu untuk hidup dengan lebih autentik. Yakni saling mendukung, dan menjalani kehidupan yang lebih setara tanpa terkungkung oleh stereotip.
Memahami Peran Domestik
Dalam lingkup feminisme peran domestik bukan milik perempuan seorang, tapi milik bersama; laki-laki dan perempuan. Karena tanggung jawab dalam rumah tangga adalah bagian dari kehidupan bersama yang membutuhkan kontribusi kedua belah pihak. Dengan berbagi peran domestik, baik laki-laki maupun perempuan dapat menciptakan keseimbangan yang lebih adil, saling mendukung, dan memperkuat hubungan.
Misalnya, laki-laki dapat turut serta dalam pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan, atau mengasuh anak. Sementara perempuan juga memiliki kebebasan untuk mengejar karier atau aktivitas di luar rumah.
Dalam perspektif feminisme, kerja sama ini tidak hanya menghapus beban ganda yang sering dirasakan perempuan, tetapi juga memperkuat penghormatan dan kesetaraan dalam hubungan. Rumah tangga yang harmonis tercipta ketika tanggung jawab tidak kita lihat sebagai kewajiban berdasarkan gender. Melainkan sebagai upaya bersama untuk membangun kehidupan yang saling melengkapi.
Selain itu, pembagian peran domestik yang setara juga membantu mendobrak stereotip gender yang selama ini mengakar dalam masyarakat. Ketika laki-laki aktif terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, mereka tidak hanya menunjukkan penghargaan terhadap pasangannya. Tetapi juga menjadi teladan bagi generasi berikutnya bahwa tugas domestik bukanlah beban yang harus ditanggung satu pihak saja.
Sebaliknya, keterlibatan ini mencerminkan nilai kerja sama, empati, dan tanggung jawab bersama yang menjadi dasar hubungan yang sehat dan setara. Dengan demikian, feminisme tidak hanya memperjuangkan hak perempuan, tetapi juga menciptakan ruang bagi laki-laki untuk menjadi lebih inklusif dan manusiawi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam ranah domestik.
Dengan hal itu semua tidak salah jika seorang laki-laki paham mengenai feminisme. Justru hal ini lebih baik agar terciptanya ruang-ruang yang inklusif bagi bersama. Karena kesetaraan terciptanya dari medium-medium yang paham akan ilmu pengetahuan, keadilan, dan empati terhadap pengalaman hidup setiap individu. Yakni tanpa memandang gender, sehingga masyarakat dapat bergerak menuju harmoni dan kemajuan bersama. []