• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Memahami Feminisme

Feminisme bukan soal perempuan berkarir atau tidak. Juga bukan soal meninggalkan peran sebagai ibu.

Salman Akif Faylasuf Salman Akif Faylasuf
29/11/2024
in Personal, Rekomendasi
0
Memahami Feminisme

Memahami Feminisme

746
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Banyak orang yang mengecam feminisme yang katanya mendorong perempuan untuk berkarir sehingga meninggalkan kodratnya sebagai ibu. Ujung-ujungnya menyebut perempuan berkarir demi tujuan materi, agar dapat hidup dengan gaya sosialita. Orang model beginian sepertinya tidak paham apa itu feminisme. Tidak memahami feminisme secara utuh. Ia membangun pengertian sendiri tentang feminisme, dan memusuhi pengertian yang ia buat.

Feminisme memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan. Setara dengan laki-laki. Artinya setara sebagai manusia. Ini yang paling fundamental. Di masa lalu, perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Itu anggapan yang dibuat oleh masyarakat, kemudian dianut juga oleh perempuan.

Sementara setara itu menyangkut hal yang paling fundamental. Kalau laki-laki diberi hak untuk makan sepiring nasi, maka perempuan juga punya hak atas sepiring nasi. Kalau laki-laki diberi pendidikan, maka perempuan juga berhak atas pendidikan. Zaman dulu perempuan tidak boleh sekolah. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya tugas dia cuma di atas kasur, memasak di dapur, dan mencuci di sumur?

Hak Politik Perempuan

Tak hanya itu, di masa lalu juga perempuan tidak punya hak politik. Mereka tidak diberi hak pilih dalam pemilihan umum. Di Amerika hal itu diperjuangkan lebih dari setengah abad, baru pada tahun 1920 hak pilih diberikan kepada perempuan, melalui Amandemen ke 19. Di Saudi, perempuan baru boleh punya hak pilih di tahun 2011. Sementara, di Indonesia sejak Pemilu 1955, perempuan sudah diberi hak itu.

Feminisme bukan soal perempuan berkarir atau tidak. Juga bukan soal meninggalkan peran sebagai ibu. Feminis tidak harus jadi pekerja kantoran. Bahkan feminis tidak mengharuskan setiap perempuan bekerja. Juga tidak ada urusan dengan belanja, hidup hedonis, jadi sosialita. Itu konyol. Perempuan yang tidak bekerja tapi hedonis, hidup sebagai sosialita malah jumlahnya banyak.

Baca Juga:

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Keadilan sebagai Prinsip dalam Islam

Tauhid sebagai Dasar Kesetaraan

Berkarir dan meninggalkan kewajiban sebagai ibu adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Laki-laki harus bekerja, dan ia tidak meninggalkan tugas sebagai ayah. Ini yang terus saya kampanyekan.

Dalam pandangan tradisional, laki-laki tugasnya bekerja cari nafkah. Lantas ia boleh lepas dari tanggung jawab mengasuh dan mendidik anak. Padahal, tidak ada satu dalil atau dalih yang membolehkan laki-laki meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ayah.

Kalau laki-laki tidak boleh meninggalkan tanggung jawab sebagai ayah, tentu perempuan juga tidak boleh meninggalkan tanggung jawab sebagai ibu. Kalau ada yang meninggalkan, itu kesalahan. Bukan itu yang diperjuangkan feminisme.

Kekeliruan Logika Berpikir

Apakah setiap perempuan adalah seorang ibu? Tidak. Ada perempuan yang tidak menikah karena berbagai sebab. Ada perempuan yang menikah tapi tidak punya anak. Maka menetapkan prinsip bahwa seorang perempuan adalah seorang ibu adalah kesalahan berpikir. Kekeliruan logika untuk memahami feminisme.

Apakah perempuan tidak perlu cari nafkah? Ada banyak perempuan yang harus “pontang-panting” cari nafkah untuk membesarkan anak, karena suaminya mati. Ada pula yang harus begitu karena suaminya tidak bertanggung jawab. Perempuan bekerja tidak melulu soal perempuan yang ingin hidup mewah. Dalam banyak kasus, perempuan bekerja agar bisa bertahan hidup.

Kaum anti feminisme ini sering konyol. Mereka sering membuat batasan yang konyol soal definisi bekerja. Contohnya ada penceramah (perempuan), Ia merasa dirinya tidak bekerja, dan mengecam perempuan yang bekerja. Dia sendiri tidak menyadari kalau dia sedang bekerja. Bahkan kalau akhir tahun “Hijriah” tak jarang dia sampai dirumahnya subuh, bahkan ketika matahari sudah perkiraan satu tombak.

Yang sering mereka serang adalah perempuan yang bekerja kantoran. Alasannya ya tadi, karena meninggalkan tugas sebagai ibu, misalnya menelantarkan anak. Sekali lagi itu kesalahan fatal. Bekerja dan penelantaran anak itu dua hal yang berbeda.

Orang bekerja tidak mutlak membuat ia menelantarkan anak. Sebaliknya, banyak perempuan tidak bekerja yang justru menelantarkan anak. Saya pernah baca berita kasus seorang anak mati terendam di kolam karena ibunya sedang asyik nonton Televisi.

Kaum anti feminisme sering membuat gambaran buruk yang mereka karang tentang feminisme. Gambaran yang mereka bangun atas dasar ketidaktahuan mereka sendiri. Kemudian mereka memusuhi gambaran itu. Ibarat orang membuat patung jelek, lalu sibuk melempari patung itu sambil menyumpah. Wallahu a’lam bisshawaab. []

Tags: gerakan perempuanIbu BekerjakeadilanKesetaraanMemahami Feminismeperempuan bekerja
Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID