Mubadalah.id – Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan Bukan Makhluk Domestik menjelaskan bahwa pengasuhan anak harus berangkat dari kesadaran akan fitrah anak.
Artinya, setiap anak memiliki fase perkembangan yang berbeda, baik secara biologis, psikologis, maupun mental. Maka dari itu, tugas utama orangtua bukan untuk memaksa anak menjadi seperti mereka. Melainkan mendampingi agar potensi bawaan anak berkembang sesuai zamannya.
Prinsip ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1401):
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Hadis ini menegaskan bahwa orangtua berperan membentuk arah tumbuh kembang anak, namun tidak boleh melawan kodrat atau fitrah dasarnya. Karena setiap fase usia anak memiliki dunianya sendiri seperti bayi yang baru lahir, balita, kanak-kanak, hingga remaja masing-masing membutuhkan pendekatan, bahasa, dan bentuk kasih sayang yang berbeda.
Kesadaran akan fitrah anak mendorong orangtua untuk memahami bahwa pendidikan adalah ruang untuk menumbuhkan rasa aman, percaya diri, dan kemerdekaan berpikir sejak dini. Dalam konteks ini, kasih sayang dan kesabaran menjadi pilar utama agar anak tumbuh sesuai potensinya.
Menumbuhkan Mas’uliyyah
Selain memahami fitrah, Kiai Faqih juga menegaskan pentingnya pilar mas’uliyyah, atau tanggung jawab dalam pengasuhan. Pengasuhan, kata beliau, bertujuan untuk menyiapkan anak menjadi pribadi yang disiplin, memiliki integritas, serta siap menanggung tanggung jawab sosialnya.
Kisah pada masa Nabi Saw. yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari (no. 4347) menggambarkan hal ini. Diceritakan oleh Amr bin Salamah r.a., bahwa ketika kaum ayahnya masuk Islam, Nabi Saw. bersabda:
“Jika waktu salat tiba, maka salah satu dari kalian azanlah, dan yang paling pandai membaca al-Qur’an hendaklah menjadi imam.”
Lalu, masyarakat di kampungnya menunjuk Amr bin Salamah seorang anak berusia enam atau tujuh tahun untuk menjadi imam salat karena ia paling fasih membaca al-Qur’an di antara mereka.
Kisah ini menunjukkan bagaimana Islam menanamkan tanggung jawab dan kepercayaan sejak usia dini. Anak-anak mereka beri ruang untuk memimpin, mereka beri kepercayaan menjalankan tugas ibadah bersama orang dewasa, dan menghargai atas kemampuan mereka. []