Hukum menikah sebenarnya bersifat kondisional. Ia bisa menjadi sunnah, wajib, makruh, bahkan haram tergantung pada kesiapan dan situasi orang yang menjalaninya.
Mubadalah.id – Di tengah masyarakat kita, menikah seringkali diartikan sebagai bagian dari ajaran agama yang sangat ditekankan, bahkan dianggap sebagai setengah dari kesempurnaan dalam beragama.
Juga, dalam banyak ceramah keagamaan menggunakan hadits bahwa “Barangsiapa yang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya”.
Hadits ini, dalam beberapa versi, memang ada dalam literatur klasik. Salah satunya diriwayatkan oleh Ibn al-Jawzi dari sahabat Anas bin Malik. Namun, Ibn al-Jawzi sendiri menilai riwayat ini lemah (lihat: Kasyf al-Khafa, II/239, No. Hadits: 2432).
Selain itu, Imam al-Hakim meriwayatkan hadits bahwa Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang dianugerahi istri yang shalihah, maka ia telah dibantu dalam separuh urusan agamanya. Maka bertakwalah dalam separuh yang lainnya.”
Meskipun dalam hadits-hadits tersebut menekankan keutamaan menikah, para ulama hadits seperti Ibn Hajar al-‘Asqallani mengingatkan bahwa redaksi seperti itu bersifat lemah dan tidak bisa dijadikan dasar hukum literal.
Yang bisa kita ambil adalah substansinya bahwa menikah adalah bagian dari ibadah dan bisa menjadi jalan menuju kebaikan hidup. Termasuk dalam menjaga akhlak dan ketakwaan (lihat: Fath al-Bari, X/139).
Namun perlu kita catat, anjuran menikah tidak bersifat mutlak. Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah Saw menegaskan bahwa “Menikah adalah sunnahku. Siapa yang tidak mengikuti sunnahku. Maka ia bukan termasuk umatku.” (HR. Bukhari, Kitab an-Nikah, No. Hadits: 5063).
Hadits ini turun karena tiga sahabat Nabi yang berniat meninggalkan kenikmatan dunia, termasuk menikah, demi menjalani ibadah ekstrem. Nabi justru menegaskan pentingnya keseimbangan antara ibadah dan kehidupan dunia, termasuk menikah dan membina keluarga.
Pandangan Fikih
Dalam fikih, para ulama seperti Ibn Daqiq al-‘Id dan al-Ghazali menjelaskan bahwa hukum menikah sebenarnya bersifat kondisional. Ia bisa menjadi sunnah, wajib, makruh, bahkan haram tergantung pada kesiapan dan situasi orang yang menjalaninya.
Menikah bisa wajib bila seseorang sangat membutuhkan dan khawatir terjerumus dalam perzinahan jika tidak menikah. Sebaliknya, bisa menjadi haram jika seseorang tidak mampu memenuhi hak-hak pasangannya dan justru menzaliminya.
Hal ini ditegaskan dalam kitab Fath al-Bari karya Ibn Hajar, bahwa hukum menikah sangat ditentukan oleh konteks kesiapan, tanggung jawab, dan potensi maslahat atau mudarat yang ditimbulkan (Fath al-Bari, X/138-139).
Dalam konteks ini, pandangan yang terlalu memutlakkan pernikahan sebagai sunnah tanpa melihat variabel sosial dan psikologis bisa menyesatkan.
Bahkan, tak sedikit orang yang terpaksa menikah karena tekanan sosial atau karena merasa itu satu-satunya jalan menjadi “muslim yang baik”. Padahal mereka belum siap secara mental dan finansial. Akibatnya, pernikahan justru berujung pada kekerasan, ketimpangan, atau perceraian.
Oleh karena itu, pandangan fikih yang lebih holistik dan kontekstual ini semestinya menjadi rujukan dalam membangun narasi keagamaan tentang pernikahan. Karena menikah bukan hanya soal memenuhi sunnah atau mengejar pahala. Melainkan tentang kesiapan lahir batin untuk membangun kehidupan bersama yang adil, setara, dan membahagiakan. []