Senin, 29 Desember 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Laras Faizati

    Kritik Laras Faizati Menjadi Suara Etika Kepedulian Perempuan

    Natal

    Makna Natal Perspektif Mubadalah: Feminis Maria Serta Makna Reproduksi dan Ketubuhan

    Kekerasan di Kampus

    IMM Ciputat Dorong Peran Mahasiswa Perkuat Sistem Pelaporan Kekerasan di Kampus

    Kekerasan di Kampus

    Peringati Hari Ibu: PSIPP ITB Ahmad Dahlan dan Gen Z Perkuat Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender di Kampus

    KUPI yang

    KUPI Jadi Ruang Konsolidasi Para Ulama Perempuan

    gerakan peradaban

    Peran Ulama Perempuan KUPI dalam Membangun Gerakan Peradaban

    Kemiskinan Perempuan

    KUPI Dorong Peran Ulama Perempuan Merespons Kemiskinan Struktural dan Krisis Lingkungan

    Kekerasan Seksual

    Forum Halaqah Kubra KUPI Bahas Kekerasan Seksual, KDRT, dan KBGO terhadap Perempuan

    Gender KUPI

    Julia Suryakusuma Apresiasi Peran KUPI dalam Mendorong Islam Berkeadilan Gender

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Haul Gus Dur

    Membaca Nilai Asasi Agama dari Peringatan Haul Gus Dur dan Natal

    Bencana

    Tanpa Pembenahan di Hulu, Bencana Ekologi Terus Mengintai Sumatra–Aceh

    Ekologis

    Catatan Ekologis Akhir Tahun: Menutup Luka Alam yang Belum Pulih

    Bencana Ekologi

    Bencana Ekologi dan Hilangnya Rumah Gajah Sumatera

    Disabilitas sebagai Kutukan

    Memaknai Disabilitas sebagai Keberagaman, Bukan Kekurangan atau Kutukan

    Disabilitas

    Di Mana Ruang Keadilan bagi Penyandang Disabilitas?

    CBB

    Cewek Bike-bike (CBB) Vol. 2: Mengayuh Bersama, Merayakan Tubuh Perempuan

    Taubat Ekologis

    Saatnya Taubat Ekologis dan Kembalikan Sakralitas Alam

    Perempuan Disabilitas

    Kasus Gowa dan Rapuhnya Perlindungan bagi Perempuan Disabilitas

    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Penciptaan Manusia

    Logika Penciptaan Manusia dari Tanah: Bumi adalah Saudara “Kita” yang Seharusnya Dijaga dan Dirawat

    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
  • Tokoh
    • All
    • Profil
    Kebudayaan

    Pidato Kebudayaan dalam Ulang Tahun Fahmina Institute Ke 25

    Fazlur Rahman

    Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    Idulfitri

    Khutbah Idulfitri: Mulai Kehidupan Baru di Bulan Syawal

    Sa'adah

    Sa’adah: Sosok Pendamping Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak  

    Tahun Baru 2025

    Do’a Tahun Baru 2025

    Umi Nyai Sintho' Nabilah Asrori

    Umi Nyai Sintho’ Nabilah Asrori : Ulama Perempuan yang Mengajar Santri Sepuh

    Rabi'ah Al-'Adawiyah

    Sufi Perempuan: Rabi’ah Al-‘Adawiyah

    Ning Imaz

    Ning Imaz Fatimatuz Zahra: Ulama Perempuan Muda Berdakwah Melalui Medsos

    Siti Hanifah Soehaimi

    Siti Hanifah Soehaimi: Penyelamat Foto Perobekan Bendera Belanda di Hotel Yamato yang Sempat Hilang

  • Monumen
  • Zawiyah
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Laras Faizati

    Kritik Laras Faizati Menjadi Suara Etika Kepedulian Perempuan

    Natal

    Makna Natal Perspektif Mubadalah: Feminis Maria Serta Makna Reproduksi dan Ketubuhan

    Kekerasan di Kampus

    IMM Ciputat Dorong Peran Mahasiswa Perkuat Sistem Pelaporan Kekerasan di Kampus

    Kekerasan di Kampus

    Peringati Hari Ibu: PSIPP ITB Ahmad Dahlan dan Gen Z Perkuat Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender di Kampus

    KUPI yang

    KUPI Jadi Ruang Konsolidasi Para Ulama Perempuan

    gerakan peradaban

    Peran Ulama Perempuan KUPI dalam Membangun Gerakan Peradaban

    Kemiskinan Perempuan

    KUPI Dorong Peran Ulama Perempuan Merespons Kemiskinan Struktural dan Krisis Lingkungan

    Kekerasan Seksual

    Forum Halaqah Kubra KUPI Bahas Kekerasan Seksual, KDRT, dan KBGO terhadap Perempuan

    Gender KUPI

    Julia Suryakusuma Apresiasi Peran KUPI dalam Mendorong Islam Berkeadilan Gender

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Haul Gus Dur

    Membaca Nilai Asasi Agama dari Peringatan Haul Gus Dur dan Natal

    Bencana

    Tanpa Pembenahan di Hulu, Bencana Ekologi Terus Mengintai Sumatra–Aceh

    Ekologis

    Catatan Ekologis Akhir Tahun: Menutup Luka Alam yang Belum Pulih

    Bencana Ekologi

    Bencana Ekologi dan Hilangnya Rumah Gajah Sumatera

    Disabilitas sebagai Kutukan

    Memaknai Disabilitas sebagai Keberagaman, Bukan Kekurangan atau Kutukan

    Disabilitas

    Di Mana Ruang Keadilan bagi Penyandang Disabilitas?

    CBB

    Cewek Bike-bike (CBB) Vol. 2: Mengayuh Bersama, Merayakan Tubuh Perempuan

    Taubat Ekologis

    Saatnya Taubat Ekologis dan Kembalikan Sakralitas Alam

    Perempuan Disabilitas

    Kasus Gowa dan Rapuhnya Perlindungan bagi Perempuan Disabilitas

    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Penciptaan Manusia

    Logika Penciptaan Manusia dari Tanah: Bumi adalah Saudara “Kita” yang Seharusnya Dijaga dan Dirawat

    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
  • Tokoh
    • All
    • Profil
    Kebudayaan

    Pidato Kebudayaan dalam Ulang Tahun Fahmina Institute Ke 25

    Fazlur Rahman

    Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    Idulfitri

    Khutbah Idulfitri: Mulai Kehidupan Baru di Bulan Syawal

    Sa'adah

    Sa’adah: Sosok Pendamping Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak  

    Tahun Baru 2025

    Do’a Tahun Baru 2025

    Umi Nyai Sintho' Nabilah Asrori

    Umi Nyai Sintho’ Nabilah Asrori : Ulama Perempuan yang Mengajar Santri Sepuh

    Rabi'ah Al-'Adawiyah

    Sufi Perempuan: Rabi’ah Al-‘Adawiyah

    Ning Imaz

    Ning Imaz Fatimatuz Zahra: Ulama Perempuan Muda Berdakwah Melalui Medsos

    Siti Hanifah Soehaimi

    Siti Hanifah Soehaimi: Penyelamat Foto Perobekan Bendera Belanda di Hotel Yamato yang Sempat Hilang

  • Monumen
  • Zawiyah
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Memahami Perdebatan “Kolom Agama” dalam Pemikiran Gus Dur

Bagi Gus Dur, dalam banyak hal negara kerap kali cenderung menindas atau memonopoli ruang kebudayaan

Ahmad Thohari Ahmad Thohari
15 November 2024
in Publik, Rekomendasi
0
Kolom Agama

Kolom Agama

850
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perdebatan seputar gugatan UU Adminduk terkait persoalan “kolom agama” mencerminkan benturan antara asas “ketuhanan” yang tertuang dalam Pancasila dan hak asasi kebebasan beragam. Termasuk kebebasan untuk memilih tidak beragama. Perdebatan yang berlangsung agak cukup serius, bahkan di kalangan netizen Indonesia—seperti dapat kita temui dalam kolom-kolom komentar sosmed.

Perdebatan tampak merefleksikan terkait pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinannya—yang ini dapat dipandang luas mencakup hak untuk tidak beragama.

Namun, dalam konteks negara berdasarkan Pancasila, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dianggap pula oleh sebagian pihak sebagai prinsip dasar yang mengharuskan warga memiliki afiliasi terhadap suatu keyakinan atau agama.

Ada dua kubu yang saling berargurmen, ketika saya menyimak mengemukanya isu ini.

Pertama, para pendukung gugatan tersebut, berargumen bahwa UU Adminduk yang mewajibkan pemilihan agama resmi dalam administrasi kependudukan, telah mengabaikan hak-hak warga yang tidak memiliki agama formal atau yang memeluk kepercayaan non-agama yang berbeda dari enam agama resmi di Indonesia.

Hal ini mereka nilai diskriminatif, karena warga terpaksa mengaku beragama untuk mendapatkan pelayanan publik. Misalnya dalam administrasi KTP dan pernikahan​.

Kedua, para pengkritik gugatan tersebut, termasuk beberapa hakim MK, yang berpendapat bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya menuntut pengakuan terhadap agama formal. Tetapi juga menjadi landasan ideologi bangsa yang menganggap agama atau kepercayaan sebagai bagian integral dari identitas nasional.

Meninjau Ulang Aturan Kolom Agama

Dalam pandangan mereka, prinsip ini bukan untuk memaksa seseorang memeluk agama tertentu. Tetapi menempatkan ketuhanan sebagai nilai dasar negara yang tidak sejalan dengan “pilihan untuk tidak beragama” sebagai identitas resmi​.

Begitulah kira-kira perdebatan yang terjadi. Terus terang, saya juga kesulitan untuk menyoal apalagi menanggapi persoalan tersebut. Karena memang itu menjadi isu sangat kompleks dan mesti melibatkan berbagai perspektif hukum, budaya, dan sosial.

Artinya, menyesuaikan ”kolom agama” dalam administrasi negara dengan pilihan “tidak beragama”. Tentu saja, mesti memerlukan kajian mendalam untuk menjaga keseimbangan antara hak asasi individu dan nilai-nilai ideologis yang mendasari konstitusi Indonesia.

Maka itu, pandangan publik yang berdebat tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk memperjelas dan, mungkin, meninjau ulang peraturan terkait hal tersebut. Yakni demi terjadinya inklusivitas yang lebih besar dalam masyarakat pluralistik negara kita—Indonesia.

Apakah Mesti Berkompromi?

Saya pikir memang hidup tidak mudah. Ada aturan yang saling mengikat. Tetapi, di sisi lain, kita juga memiliki hak untuk berlaku sebagaimana hak kita itu sendiri yang ingin kita penuhi.

Kewajiban memang berkaitan erat dengan hak. Tapi, di tengah tarik-menarik “dua kutub” semacam itu, pada akhirnya memang kehidupan seperti dalam istilah yang Freud munculkan. Bahwa akan ada tarik-menarik antara id dan super-ego yang selalu menjadi kendala hidup manusia, di mana seolah itu bersifat primordial, dan demikianlah kodratnya.

Dengan kata lain, kehidupan manusia sering kali penuh dengan tarik-menarik antara kewajiban dan hak—seperti dikotomi id dan super-ego. Dalam pandangan Freud—memang menggambarkan kompleksitas kodrat manusia. Menurut Freud, id adalah bagian dari jiwa yang mendambakan pemenuhan kebutuhan dan keinginan primordial dalam diri, misalnya, beroperasi dalam pemenuhan terhadap hak.

Sementara itu, super-ego bertindak sebagai suara moral dan hukum eksternal, yang sering kali berbenturan dengan dorongan id. Dalam tengah konflik tarik-menarik itu, Freud juga memunculkan istilah ego. Yakni, sebagai mediator, yang berusaha menjaga keseimbangan agar tidak terjadi konflik yang terlalu ekstrem antara keduanya.

Mengakui dan Mengakomodasi Keberagaman

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, situasi ini mirip dengan konflik antara hak-hak individu dan aturan kolektif yang diwakili oleh hukum atau norma negara. Hak individu sering kali berlandaskan pada keinginan personal untuk kebebasan dan ekspresi diri (analog dengan id). Sedangkan aturan sosial atau hukum merefleksikan nilai-nilai dan etika yang disepakati bersama (analog dengan super-ego).

Ketika hak pribadi seseorang untuk memilih (misalnya, dalam memilih tidak beragama) berbenturan dengan hukum yang mengutamakan nilai kolektif seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, situasi ini menciptakan ketegangan yang perlu diharmonisasikan.

Tapi, menariknya, dalam sistem Freud, tidak ada kemenangan mutlak dari satu sisi saja. Artinya, ego selalu berusaha untuk menyelaraskan konflik dengan jalan kompromi. Demikian pula dalam kehidupan sosial, mungkin perlu ada dialog dan solusi yang seimbang yang mempertimbangkan hak individu sambil menghormati nilai-nilai kolektif yang mendasari masyarakat dalam bernegara.

Mengakui dan mengakomodasi keberagaman dalam suatu kerangka yang menghormati semua pihak mungkin bisa menjadi “jalan tengah” yang lebih manusiawi—meskipun sering kali sulit untuk dicapai dalam praktiknya.

Jadi, layaknya id dan super-ego, kehidupan sosial kita sering kali merupakan kompromi yang dinamis, tempat kita harus beradaptasi, bertoleransi, dan terus mengelola ketegangan antara kebebasan individu dan kehendak kolektif. Tetapi, kompromi dengan menempuh “jalan tengah” seperti apa yang mesti kita ambil dan tempuh bersama-sama? Tentu, ini PR kita bisa bersama untuk sama-sama memikirkannya.

De-Birokratisasi “Kolom Agama”

Saya membayangkan seandainya Gus Dur masih sugeng, masih hidup. Tentu saya dan mungkin kita semua sangat menanti respon apa yang akan muncul dari sosok “Bapak Pluralisme” kita tersebut. Sayangnya, sosok Gus Dur sudah tidak ada.

Memang, Gus Dur sebagai sosok telah meninggalkan kita semua, tapi tidak dengan warisan pemikiran-pemikirannya—yang sesungguhnya terus tumbuh dan aktual. Khususnya dalam persoalan-persoalan keberagaman seperti dipaparkan di atas.

Maka itu, saya akan mencoba memberikan “cara pandang”—untuk tidak menyebutnya sebagai “jalan tengah”, bahkan “kompromi”—terkait perdebatan persoalan “kolom agama” tersebut.

Pertama-tama, saya mengucapkan rasa terima kasih tak terhingga kepada penulis buku “Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan”, yakni Syaiful Arif, yang dalam bukunya itu menuliskan sub-bab khusus “Debirokratisasi” (h. 237-245). Berangkat dari uraian di bagian tersebutlah, “cara pandang” yang coba saya tawarkan akan teruraikan di sini.

Dalam terang urian sub-bab tersebut, pemikiran Gus Dur mengenai “kebudayaan” sebagai ruang sosial yang mandiri dari negara sebenarnya memberikan landasan yang kuat untuk memahami dilema “kolom agama” di Indonesia.

Pemaksaan Kolom Agama

Gus Dur menganggap bahwa kebudayaan adalah wilayah yang bebas dan otonom, milik masyarakat sepenuhnya. Kebudayaan dalam pandangan ini berfungsi sebagai media pemanusiaan di mana manusia bebas berinteraksi dan berkembang sebagai pribadi.

Dengan memandang kebudayaan sebagai “lingkaran besar” yang mengandung seluruh praktik kehidupan sosial—termasuk agama dan keyakinan pribadi—Gus Dur menekankan bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang mengutamakan kebebasan dan kehormatan pribadi adalah inti dari kebudayaan​.

Jika kita menarik analogi ini ke konteks hak beragama, kebebasan dalam memilih keyakinan, termasuk hak untuk tidak memiliki agama, itu bisa kita maknai sebagai bagian dari wilayah otonom masyarakat.

Dalam pemikiran Gus Dur, idealnya, negara tidak boleh mencampuri ranah kebudayaan atau keyakinan pribadi, karena kebudayaan (dan juga agama) adalah bagian dari proses sosial yang tumbuh dari interaksi sukarela dan kepercayaan kolektif masing-masing, bukan dari paksaan negara.

Dengan demikian, pemaksaan kolom agama pada dokumen negara menjadi persoalan karena meruntuhkan kebebasan tersebut. Negara yang “mengikat” identitas keagamaan setiap warga pada dokumen resmi bisa dianggap mengintervensi ranah kebudayaan masyarakat secara berlebihan, dan justru membatasi ruang otonom mereka untuk menentukan keyakinan mereka secara mandiri dan intim.

Stultifikasi Identitas

Bagi Gus Dur, dalam banyak hal negara kerap kali cenderung menindas atau memonopoli ruang kebudayaan. Ia mengklaim wewenang atas budaya, yang justru mematikan kreativitas dan kebebasan berbudaya.

Kebijakan yang mengharuskan pencantuman agama bisa dipandang sebagai bentuk “stultifikasi” atau pemiskinan identitas yang memaksa masyarakat untuk tunduk pada definisi formal dari keyakinan. Padahal, masyarakat sendiri lebih dinamis dan majemuk dari sekadar klasifikasi agama formal.

Maka itu, untuk solusi alternatif, kita dapat mengusulkan pendekatan “de-birokratisasi” dalam “kolom agama”. Di mana mesti negara mengadopsikan opsi yang lebih inklusif seperti membiarkan kolom tersebut kosong jika seseorang memang memilihnya.

Ini bukan berarti negara mengabaikan agama, tetapi justru menghormati otonomi individu dan masyarakat dalam menentukan keyakinan mereka. Pendekatan ini memungkinkan negara menghormati keberagaman keyakinan dan orientasi spiritual warga tanpa mengorbankan prinsip kebebasan.

Dengan cara ini, kebijakan negara tidak lagi berfungsi sebagai penentu identitas pribadi warga, melainkan sebagai fasilitator kebebasan yang lebih luas, yang selaras dengan pandangan Gus Dur tentang negara sebagai pelayan, bukan penguasa. Hal ini juga mencegah negara dari menjadi instrumen yang, alih-alih memajukan kesejahteraan, justru mempersempit kebebasan dan kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat.

Tentu saja, uraian saya yang cukup awam ini sangat layak pula untuk disanggah dan dikritisi. Wallahu a’lam []

 

Tags: gus durHari Toleransihaul gus durIndonesiaKebudayaanKolom Agama
Ahmad Thohari

Ahmad Thohari

Ahmad Miftahudin Thohari, lulusan mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, punya minat kajian di bidang filsafat, sosial dan kebudayaan. Asal dari Ngawi, Jawa Timur.

Terkait Posts

Haul Gus Dur
Publik

Membaca Nilai Asasi Agama dari Peringatan Haul Gus Dur dan Natal

29 Desember 2025
Laras Faizati
Aktual

Kritik Laras Faizati Menjadi Suara Etika Kepedulian Perempuan

28 Desember 2025
Selamat Natal
Publik

Selamat Natal sebagai Perayaan Spiritual dan Kultural: Suara Seorang Muslim

26 Desember 2025
Perempuan Difabel
Publik

Mengapa Perempuan Difabel Sulit Mengakses Keadilan Hukum?

23 Desember 2025
Kepemimpinan Perempuan
Publik

Kepemimpinan Perempuan Mengakar dalam Sejarah Indonesia

19 Desember 2025
Feminisme
Aktual

Julia Suryakusuma: Feminisme Masih Dibutuhkan di Tengah Krisis Multidimensi Indonesia

15 Desember 2025

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Disabilitas sebagai Kutukan

    Memaknai Disabilitas sebagai Keberagaman, Bukan Kekurangan atau Kutukan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kritik Laras Faizati Menjadi Suara Etika Kepedulian Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Di Mana Ruang Keadilan bagi Penyandang Disabilitas?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bencana Ekologi dan Hilangnya Rumah Gajah Sumatera

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Cewek Bike-bike (CBB) Vol. 2: Mengayuh Bersama, Merayakan Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membaca Nilai Asasi Agama dari Peringatan Haul Gus Dur dan Natal
  • Tanpa Pembenahan di Hulu, Bencana Ekologi Terus Mengintai Sumatra–Aceh
  • Catatan Ekologis Akhir Tahun: Menutup Luka Alam yang Belum Pulih
  • Bencana Ekologi dan Hilangnya Rumah Gajah Sumatera
  • Memaknai Disabilitas sebagai Keberagaman, Bukan Kekurangan atau Kutukan

Komentar Terbaru

  • dul pada Mitokondria: Kerja Sunyi Perempuan yang Menghidupkan
  • Refleksi Hari Pahlawan: Tiga Rahim Penyangga Dunia pada Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto
  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Account
  • Home
  • Khazanah
  • Kirim Tulisan
  • Kolom Buya Husein
  • Kontributor
  • Monumen
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Rujukan
  • Tentang Mubadalah
  • Zawiyah
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID