• Login
  • Register
Selasa, 13 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Memaknai Idul Adha dengan Perspektif Perempuan

Yulianti Muthmainnah Yulianti Muthmainnah
27/07/2020
in Aktual, Featured
0
Ilustrasi Oleh Nurul Bahrul Ulum

Ilustrasi Oleh Nurul Bahrul Ulum

326
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Idul Adha, dikenal pula dengan Lebaran Haji atau hari raya kurban, akan segera tiba. Kurban selalu identik dengan sejarah Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih anaknya, Ismail melalui mimpi (al-ru’ya al-shadiqah/mimpi yang benar). Dialog antara ayah dan anak pun terjadi. Dengan berat hati dan penuh keikhlasan, Ibrahim, sang ayah menceritakan mimpinya pada sang anak.

Ismail yang kala itu berusia antara enam sampai tujuh tahun, mengizinkan ayahnya menjalankan perintah Sang Khalik tanpa rasa ragu (QS. Ash-Shaffaat: 102). Dengan penuh ketakwaan, mereka pergi menuju Jabal Qurban (gunung kurban), membaringkan leher Ismail di atas sebuah batu dan pedang siap diayunkan untuk menjalankan perintahNya. Namun Allah berkehendak lain, Ismail diganti dengan seekor hewan. Sehingga Ibrahim tidaklah menyembelih Ismail tetapi seekor hewan (QS. Ash-Shaffaat: 103-107).

Ismail adalah anak dari istri kedua Ibrahim, Siti Hajar. Ismail dan Hajar tinggal terpisah dari Ibrahim. Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di Mekkah dengan beberapa potong roti dan sebuah guci berisikan air. Ketika Hajar kehabisan air dan makanan ia melihat air di arah timur yang ternyata hanya fatamorgana.

Hajar pun berlarian antara bukit Sofa dan Marwah hingga tujuh kali, namun tak pula mendapatkan air. Ismail terus menangis. Ia menghentak-hentakkan kakinya di tanah. Atas izin Allah, hentakan kaki Ismail mengeluarkan air. Hajar yang kegirangan berteriak “zami-zami”. Tempat ini kemudian dikenal dengan sumber mata air Zam-zam.

Kisah Hajar menjadi salah satu ritual Ibadah Haji yakni berlari-lari kecil antara bukit Sofa dan Marwah. Sedangkan kisah Ibrahim dan Ismail menjadi penanda sejarah kurban. Kurban merupakan ibadah dalam bentuk menyembelih hewan ternak. Penyembelihan hewan kurban adalah simbol mendekatkan diri pada Tuhan sebagai bentuk ketakwaan (QS. Al-Hajj: 36-37).

Baca Juga:

Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas

Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial

Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

Bagi umat muslim yang memiliki kelebihan harta maka hendaknya mereka menyembelih hewan kurban dan membagi-bagikan dagingnya untuk orang-orang fakir miskin (QS. Al-Hajj: 36). Demikianlah kisah kurban selalu kita dengar setiap tahun dan berulang. Sebuah dialog antara Tuhan, Ibrahim, dan Ismail. Lantas dimanakah peran Siti Hajar, ibunda Ismail, dalam dialog di atas?

Perempuan yang di(ter)hilangkan dalam sejarah kurban

Siti Hajar mulanya budak perempuan yang dihadiahkan Raja Mesir kepada Ibrahim. Siti Sarah, istri pertama Ibrahim, berinisiatif mengizinkan Ibrahim menikahi Hajar dalam rangka mendapatkan keturunan karena Ibrahim telah berusia 100 tahun. Atas pernikahan itu, lahirlah Ismail. Sarah, perempuan tercantik kala itu, yang juga sangat mencintai Ibrahim merasa sedih melihat kemesraan mereka setiap saat.

Allah pun memerintahkan Ibrahim membawa Hajar dan Ismail hijrah (berpindah) ke Mekkah dan meninggalkan mereka di sana. Hajar memang sempat bertanya mengapa ia harus pindah dan ditinggalkan, tetapi Hajar menerimanya. Mengorbankan kebahagiaan yang baru sebentar ia rasakan bersama Ibrahim atas nama menjalankan perintah Sang Khalik.

Kerasnya kehidupan di Mekkah menjadi penanda pengorbanan Hajar membesarkan Ismail seorang diri, tanpa suami. Sedangkan di sisi lain, Ibrahim kembali pada Sarah yang melahirkan bayi bersama Ishaq (QS. Ash-Shaffaat: 112). Pengorbanan Hajar lainnya adalah ketika perintah kurban datang, Hajarlah yang mengasah pedang dan memastikan pedang tersebut benar-benar tajam agar tak menyakiti anak kesayangannya. Sebuah pengorbanan luar biasa dari tangan yang membesarkan Ismail selama tujuh tahun tanpa suami, tangan itu pula yang mengasah pedang.

Selain Hajar, adakah pengorbanan Sarah? Sarah, atas permintaan Ibrahim, bersedia menjadikan dirinya sebagai saudara perempuan Ibrahim tatkala Raja Mesir menanyakan identitasnya. Karena jika ia mengaku sebagai istri Ibrahim, maka raja yang terkenal memiliki ratusan istri tanpa sungkan akan mengambil Sarah dari sisi Ibrahim. Pengorbanan Sarah yang kedua adalah kesediaan dirinya dimadu. Sebuah pengorbanan luar biasa dari seorang perempuan yang mencintai pasangannya.

Selain itu, karena pernikahan tersebut, secara otomatis Sarah memerdekakan Hajar dari status budak menjadi manusia merdeka (Ibnu Sahid As-Sundy dalam Samudra Cinta Sarah dan Ibrahim a.s). Akan tetapi, pengorbanan Sarah dan Hajar tak jua diperdengarkan dalam kisah kurban. Setiap tahun, para muballigh/penceramah hanya menyuarakan dialog antara Ibrahim dan Ismail. Hampir tak pernah saya mendengar kisah Sarah dan Hajar dikumandangkan.

Mengapa history, bukan herstory?

Hilangnya kisah Sarah dan Hajar dalam peringatan Hari Raya Kurban menjadi penanda tidak dianggapnya kisah perempuan dalam tiap sejarah manusia. Tak berlebihan kiranya jika Simone de Beauvoir menyebutkan perempuan sebagai second sex. Sebagai jenis kelamin kedua di dunia, tentu saja sejarah perempuan dianggap tidak perlu dibahas dan didengar.

St. Sunardi dalam Mencari Profil Pendidikan Kritis mengisahkan bagaimana Paulo Freire, tokoh pendidikan kritis di negara-negara Amerika Latin senantiasa menuliskan bait-bait manusia dengan kata “man”. Kata-kata ini yang kemudian ditentang Abha Bhaiya dan Kalyani Menon Sen sebagai tanda menghilangkan sejarah perempuan, karena selalu mengidentifikasi manusia sebagai laki-laki. Perilaku ini yang tampaknya dilakukan sejarawan muslim ketika menulis dan menceritakan sejarah masa lalu dengan tokoh utama laki-laki, tanpa perempuan.

Kesadaran akan pentingnya menyuarakan sejarah perempuan sebagai bagian dari sejarah manusia (perempuan dan laki-laki) menjadi titik tolak para sejarawan feminis mengubah persepsi kita tentang masa lalu. Maggie Humm dalam Ensiklopedia Feminism setidaknya menuliskan ada tiga pendekatan yang dilakukan sejarawan feminis yakni mendefinisikan kembali metode dan kategori—terutama konsep periodisasi, memfokuskan pada jenis kelamin bersamaan dengan analisa ras dan kelas sebagai cara mengidentifikasi ungkapan-ungkapan stereotip bagi perempuan dan terakhir mentransformasikan pemahaman kita mengenai perubahan sosial dan bagaimana lingkup domestik dan publik dibedakan. Dengan optimis, para feminis mengusulkan bahwa kebenaran subjektif sejarah kita akan membawa pada kesadaran perempuan secara kolektif.

Atas desakan feminis, pendekatan itu diadopsi PBB. Preambul Piagam PBB versi awalnya menuliskan “equal rights among men” diubah menjadi “equal rights among men and women”. Demikian pula Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) mulanya mengonsepkan “all men” untuk menyebut semua manusia, diubah menjadi “all human being”.

Lantas, apakah sejarawan muslim masih berkutat pada history tanpa mau membaca kembali bagaimana history itu muncul? Adakah niatan tulus untuk memosisikan perempuan dan laki-laki setara, sama-sama berkontribusi membangun sejarah? Bagaimana seandainya Sarah tak mendorong Ibrahim menikahi Hajar, atau Hajar yang enggan membesarkan Ismail, maka mungkin hingga kini tak kan ada sejarah kurban. Untuk itu, sekecil apapun perempuan menorehkan sejarah, saya meyakini itulah kontribusi terbaik perempuan bagi peradaban kita. Selamat Hari Raya Kurban. []

Source: Jurnal Perempuan
Yulianti Muthmainnah

Yulianti Muthmainnah

Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta

Terkait Posts

Perjalanan Thudong

Pesan Toleransi dari Perjalanan Suci Para Biksu Thudong di Cirebon

30 April 2025
Media

Media Punya Peran Strategis dalam Mencegah Konflik Akibat Tidak Dipenuhinya Hak Keberagamaan

26 April 2025
Perempuan bukan Tamu di Ruang Publik

Perempuan Bukan Tamu di Ruang Publik

1 April 2025
Makhluk Intelektual

Laki-laki dan Perempuan adalah Makhluk Intelektual dan Spiritual

1 April 2025
Perempuan bisa menjadi Pemimpin

Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Tafsir QS. An-Nisa Ayat 34 dalam Perspektif Keadilan Hakiki Islam

1 April 2025
Khalifah fil Ardl

Perempuan Memiliki Mandat sebagai Khalifah Fil Ardl

29 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Merapi

    Dampak Tambang Ilegal di Merapi: Sumber Air Mengering, Lingkungan Rusak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan
  • Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version