Mubadalah.id – Jika merujuk satu fakta sejarah sosial Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad Saw maka Nabi pernah menghasilkan sebuah deklarasi universal yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Madinah”.
Madinah ketika itu adalah sebuah negara yang dihuni oleh manusia dengan keyakinan keagamaan yang beragam (plural): Muslim, Yahudi, Nasrani dan lainnya.
Piagam Madinah yang dikeluarkan tahun 623 M tersebut berisi kontrak sosial-ekonomi-politik antara warga negaranya yang plural itu. Beberapa butir piagam itu menyebutkan:
“Orang Islam, Yahudi dan warga Madinah yang lain, bebas memeluk agama dan keyakinannya masing-masing. Mereka harus mendapat jaminan atas kebebasannya untuk menjalankan ibadah. Tidak seorangpun boleh mencampuri urusan keyakinan orang lain.”
“Orang Yahudi yang menandatangani piagam ini berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan serta tidak mereka perlakukan secara aniaya (zalim/tidak adil).”
“Orang Yahudi bagi orang Yahudi, Orang Islam bagi orang Islam. Jika di antara mereka berbuat zalim itu akan menyengsarakan diri dan keluarganya. Setiap penindasan adalah haram. Mereka sama-sama wajib mempertahankan negaranya dari serangan musuh” (Ibnu Hisyam, Sirah an-Nabiy, Dar Ihya al Turats al Arabiy, II, hlm. 119-123).
Membaca pasal-pasal Piagam Madinah kita menemukan di dalamnya prinsip-prinsip kemanusiaan universal dan fundamental. Sehingga hal inilah yang menjadi landasan kehidupan bersama dalam komunitas multi keyakinan dan multi budaya atau masyarakat plural.
Prinsip-prinsip fundamendal tersebut antara lain: Persatuan dan kesatuan, persamaan dan keadilan, kebebasan beragama. Termasuk perlindungan warga negara, politik damai dan pembelaan negara-bangsa.
Kemudian, prinsip fundamental dalam Piagam Madinah ini, sebagai pengejawantahan dari ajaran Tauhid yang asasi dalam Islam. Yaitu dasar yang kokoh untuk menolak segala ekspresi siaran kebencian. Prinsip-prinsip ini meniscayakan agar umat Islam menghormati sesama umat manusia, termasuk kelompok agama yang berbeda.