Mubadalah.id – Di sebuah sekolah dasar di Lombok Timur, seorang anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh sosok yang seharusnya melindungi dan mendidiknya.
Kasus itu terjadi sejak ia duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Kini, ketika usianya menginjak masa remaja di kelas dua SMP, keadilan akhirnya tiba. Pengadilan memutuskan pelaku bersalah dengan vonis sembilan tahun penjara.
Namun, apakah cerita ini benar-benar berakhir ketika palu hakim diketukkan? Jawabannya adalah tidak. Sebab luka tidak sembuh hanya karena keputusan hukum.
Selama ini, kami menyaksikan bagaimana trauma kekerasan seksual merampas rasa aman dan kepercayaan diri anak. Ia sering terdiam cukup lama setiap kali ditanya tentang masa lalu. Korban masih sering merasa bersalah meski ia adalah korban.
Dalam proses itu, kami belajar satu hal penting bahwa membela korban kekerasan seksual bukan berarti membenci pelaku.
Ketimpangan Empati dalam Kasus Kekerasan Seksual
Dalam banyak kasus selalu ada pola yang berulang. Korban justru sering menghadapi penghakiman sosial, sementara pelaku mendapatkan simpati.
Masyarakat sering bertanya, “Kenapa baru sekarang lapor?”, “Masa sih guru bisa begitu?”, atau “Dia kan orang alim, mustahil berbuat demikian!”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini, meski tampak sederhana, sangat menyakitkan bagi korban dan memperlambat proses penyembuhan mereka.
Ketimpangan empati ini menunjukkan bahwa kita masih lebih mudah percaya pada otoritas daripada pada korban. Kita belum terbiasa mengakui bahwa kekerasan bisa terjadi di ruang yang paling kita percayai, seperti sekolah, pesantren, rumah ibadah, bahkan keluarga.
Selain itu, perlu kita pahami bahwa kekerasan seksual tidak hanya melukai tubuh korban, tapi juga merusak sistem nilai sosial yang seharusnya melindungi anak-anak. Ketika masyarakat lebih sibuk menjaga reputasi lembaga daripada menyelamatkan korban, kita sebenarnya sedang berkompromi dengan ketidakadilan.
Bagaimana Keadilan Bisa Memanusiakan?
Saya percaya bahwa keadilan sejati tidak berhenti pada hukuman, melainkan berlanjut pada pemulihan kemanusiaan bagi semua pihak yang terdampak.
Hal ini sejalan dengan pandangan ulama kontemporer seperti Syeikh Ali Jum’ah yang menekankan bahwa tujuan hukum Islam adalah menegakkan keadilan yang membawa kemaslahatan, bukan sekedar menjatuhkan hukuman.
Artinya, keadilan tidak hanya berpihak pada yang terluka, tapi juga memastikan bahwa pelaku mendapatkan ruang untuk menanggung akibatnya secara adil dan memiliki kesempatan bertobat.
Namun, seringkali ada anggapan bahwa ketika kita berpihak pada korban, seolah kita sedang melawan pelaku. Padahal, keberpihakan bukan tentang kebencian, melainkan tentang menegakkan keadilan dan memulihkan kemanusiaan.
Membela korban berarti memberikan ruang aman bagi mereka untuk pulih, mempercayai cerita mereka, tidak menghakimi, dan memastikan mereka tidak sendirian menghadapi stigma.
Kita bisa membela korban tanpa menolak kemungkinan bahwa pelaku juga manusia. Pelaku pantas mendapat hukuman. Itu bagian dari tanggung jawab moral dan hukum. Namun, ia juga berhak atas proses hukum yang jujur, kesempatan untuk menyadari kesalahannya, dan bimbingan agar tidak mengulanginya.
Namun dalam kenyataannya, menegakkan keadilan tidak selalu mudah. Ketika pelaku memiliki kedudukan dan citra tertentu di masyarakat, kebenaran seringkali tertutup oleh simpati dan pembelaan buta.
Mengubah Cara Pandang Kita
Di banyak ruang kehidupan, kebenaran sering kali dikaburkan oleh kepentingan dan citra. Ada kalanya, seseorang yang bersalah justru tampil sebagai korban, sementara mereka yang menyuarakan kebenaran dicurigai atau diserang balik.
Fenomena seperti ini menunjukkan betapa rapuhnya kesadaran kolektif kita dalam menilai kekerasan seksual, terutama ketika pelaku memiliki posisi sosial, agama, atau ekonomi yang cukup tinggi.
Namun, perubahan selalu bermula dari keberanian untuk melihat lebih dalam. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:
“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi.” (HR. Bukhari)
Para sahabat lalu bertanya, “Ya Rasulullah, kami menolong yang dizalimi, tapi bagaimana menolong yang berbuat zalim?”
Beliau menjawab, “Dengan mencegahnya dari kezalimannya.”
Pesan Nabi ini mengingatkan kita bahwa menegakkan keadilan bukanlah tindakan memusuhi, tetapi bentuk kasih sayang agar pelaku tidak terus terjerumus dalam dosa dan agar korban mendapat pemulihan yang layak.
Hal ini sebagaimana yang pernah disampaikan KH. Hasyim Asy’ari bahwa keadilan adalah ruh dari syariat. Ketika ruh itu hilang, hukum berubah menjadi alat penindasan.”
Keadilan yang Menyembuhkan
Keadilan yang sejati bukan sekadar menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan kepercayaan kita pada kemanusiaan. Dalam setiap proses hukum, selalu ada ruang untuk menguji kebenaran, tetapi yang tak boleh pudar adalah keberpihakan pada nilai-nilai kasih dan tanggung jawab moral.
Korban berhak atas keadilan yang memulihkan, sementara pelaku betapapun berat kesalahannya tetap berhak diperlakukan secara manusiawi dan jujur di hadapan kebenaran. Menolong pelaku untuk mengakui perbuatannya justru bagian dari menegakkan kebenaran itu sendiri.
Kita belajar bahwa tidak semua pihak bisa langsung menerima kebenaran. Keadilan juga kadang datang terlambat. Namun, perjuangan untuk tetap berpihak pada korban dan menjaga nurani agar tidak mati adalah wujud nyata dari iman dan kemanusiaan. Semoga dari kasus-kasus yang menyakitkan seperti ini, kita semua belajar untuk tidak diam.
Mari kita pahami bahwa diam di hadapan ketidakadilan sama saja menambah luka yang sudah dalam. Sebab pada akhirnya, keadilan tanpa kasih sayang akan menjadi kekerasan baru. Sebaliknya, kasih tanpa keadilan hanya akan menumbuhkan luka yang lain. []