• Login
  • Register
Jumat, 30 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Menafsir Ulang Ajaran Al-Ḥayā’ di Tengah Maraknya Pelecehan Seksual

Dalam Islam, ḥayā’ adalah nilai spiritual yang seharusnya membentuk integritas moral—bukan beban yang membungkam.

Layyinah Ch Layyinah Ch
29/05/2025
in Personal, Rekomendasi
0
Al-Ḥayā’

Al-Ḥayā’

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, saya mengisi pengajian rutin bersama ibu-ibu di lingkungan tempat tinggal saya. Tema yang saya angkat saat itu adalah al-hayā’—rasa malu. Saya membacakan beberapa hadis Nabi, di antaranya sebuah hadis populer:  “الحياء شعبة من الإيمان” (malu adalah cabang dari iman).

Sebagian dari peserta majlis mengangguk setuju, sebagian lain menyimak dalam diam. Tapi ketika saya bertanya, “Malu itu untuk dimiliki siapa? Perempuan saja atau juga laki-laki?” suasana mendadak hening. Di titik itu, saya merasa sedang menyentuh sesuatu yang selama ini tak banyak terbicarakan. Meski sangat dekat dengan keseharian kita sebagai Perempuan.

Sebagai perempuan yang tumbuh besar di lingkungan pesantren, saya cukup akrab dengan ajaran tentang al-ḥayā’ (rasa malu). Sejak kecil, kami diajarkan bahwa malu adalah mahkota perempuan. Bahwa perempuan mulia adalah perempuan yang menunduk, tidak banyak bicara, dan tidak tampil mencolok.

Tapi seiring waktu, saya mulai bertanya. Mengapa ajaran tentang malu lebih sering terarahkan pada tubuh dan suara perempuan, ketimbang akhlak dan tanggung jawab laki-laki?

Pertanyaan itu kembali mengudara ketika saya membaca kisah-kisah perempuan yang baru berani bersuara tentang pelecehan seksual yang mereka alami setelah beberapa tahun. Alasan mereka malu karena harus menjaga kehormatan keluarga. Sayangnya, reaksi masyarakat sering kali tak bersahabat. “Kenapa baru sekarang bicara?”, “Kenapa tidak diam saja?” Seolah-olah yang bermasalah bukan pelaku, tapi keberanian korban.

Baca Juga:

Etika Sosial Perempuan dalam Masa ‘Iddah

Refleksi Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab: Apakah Perempuan Tak Boleh Keluar Malam?

Sharing Properti: Gagasan yang Berikan Pemihakan Kepada Perempuan

Being Independent Woman is Not Always About Money, Bro!

Sebagai seorang ibu, pengajar, dan perempuan yang hidup di ruang sosial keagamaan, saya menyaksikan sendiri sering kali ḥayā’ termanipulasi menjadi alat kontrol terhadap perempuan. Korban diminta diam “demi nama baik”. Orang tua, guru, bahkan tak jarang lembaga lebih takut pada aib sosial daripada luka psikologis yang anak-anak perempuan mereka alami.

Saat itulah saya sadar: kita sedang mewarisi budaya malu yang salah arah. Padahal dalam Islam, ḥayā’ adalah nilai spiritual yang seharusnya membentuk integritas moral—bukan beban yang membungkam.

Al-Ḥayā’ Sejati: Malu untuk Menyakiti, Bukan Malu untuk Bicara

Dalam hadis yang sangat masyhur, Rasulullah ﷺ bersabda:

“الحياء شعبة من الإيمان”

“Malu adalah cabang dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berangkat dari pemaknaan lafalnya, hadis ini secara utuh tidak menyebutkan jenis kelamin. Artinya, ḥayā’ adalah nilai yang seharusnya berlaku universal. Bagi siapa pun yang mengaku beriman, laki-laki maupun perempuan.

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam menegaskan bahwa ḥayā’ lahir dari kesadaran bahwa Allah selalu melihat. Maka, malu dalam Islam seharusnya menjadi kekuatan aktif untuk menahan diri dari menyakiti sesama. Dalam konteks ini, seharusnya pelaku kekerasanlah yang malu—bukan malah korban yang terpinggirkan.

Musdah Mulia dalam Ensiklopedia Muslimah Reformis juga mengingatkan, ”Ketika ‘malu’ hanya terbebankan pada korban, itu bukan ajaran agama, tapi bentuk penindasan struktural.”

Sayangnya, struktur sosial kita lebih sering memaksa perempuan untuk menanggung beban moral yang seharusnya menjadi tanggung jawab pelaku.

Sebagai pengajar, saya pernah mendengar mahasiswi yang ragu melaporkan dosennya karena takut dianggap “tidak pantas”. Lagi-lagi, bukan pelaku yang merasa malu, tapi korban yang terbebani rasa bersalah.

Itulah sebabnya, kita perlu mengembalikan makna ḥayā’ kepada fungsinya yang adil dan memberikan penjagaan.

Pendekatan Mubādalah: Malu yang Saling Menjaga

Dalam perspektif mubādalah—pendekatan tafsir kesalingan yang ditawarkan oleh guru saya, KH. Faqihuddin Abdul Kodir— semua nilai dalam Islam berlaku untuk laki-laki dan perempuan, kecuali jika disebutkan secara eksplisit berbeda.

Maka jika perempuan kita ajarkan untuk punya rasa malu, laki-laki pun harus. Atau, malu mempermainkan perempuan. Malu membiarkan candaan seksis di grup WhatsApp. Dan, malu saat menjadikan pelecehan sebagai lelucon.

Ḥayā’ bukan hanya cara berpakaian, tapi cara berpikir dan bersikap. Dalam kerangka mubādalah, malu adalah kesadaran kolektif yang membentuk peradaban adil.

Kritik dari Feminisme Islam: Bebaskan Malu dari Fungsi Penindasan

Asma Lamrabet dalam Le Coran et les Femmes mengkritik bagaimana rasa malu disalahgunakan untuk membungkam perempuan dan membatasi ruang geraknya.

“Padahal Islam berbicara tentang malu sebagai kekuatan moral yang membebaskan, bukan menindas,” tulisnya.

Senada, Fatima Mernissi mengungkapkan bahwa banyak sistem sosial Muslim memelintir ajaran agama untuk mengontrol tubuh perempuan, sementara pelaku kekerasan luput dari beban moral yang sama.

Di sinilah al-ḥayā’ kehilangan rohnya: saat kita gunakan untuk menjaga “aib”, tapi membiarkan kezaliman. Membiarkan pelaku berkeliaran tanpa sanksi sosial.

Menuju Budaya Malu yang Berkeadilan

Lalu, dengan hal ini apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, pemaknaan ulang makna ḥayā’ dalam ruang lingkup sekitar kita. Di rumah, di sekolah, di pesantren. Tanamkan bahwa malu itu bukan takut melapor, tapi malu ketika ada pembiaran terhadap kekerasan dan kezaliman.

Kedua, kembalikan tanggung jawab moral kepada pelaku. Lembaga, guru, dan pemuka agama perlu menjadi garda depan yang menyuarakan bahwa ḥayā’ adalah kontrol diri atas kezaliman. Bukan alasan untuk menutupi kebusukan.

Ketiga, membangun narasi alternatif dalam dakwah dan media. Barangkali kita perlu khutbah, tulisan, dan konten dakwah yang menafsir ulang konsep-konsep Islam dengan keadilan gender—termasuk makna ḥayā’.

Malu sebagai Kesadaran Spiritual

Malu yang benar bukan membuat kita diam, tapi membuat kita segan menyakiti. Bukan membuat kita menyembunyikan duka, tapi membuat kita peduli pada keadilan.

Sebagai perempuan, dan sebagai ibu, saya percaya: ḥayā’ adalah kekuatan yang membebaskan, bukan membelenggu putri-putri kita. Sudah waktunya kita membangun budaya malu yang berkeadilan. Bukan yang membungkam korban, tapi yang menumbuhkan keberanian dan kasih sayang, serta memberikan jaminan aman pada siapapun yang menjadi korban. Wallahu A’lam. []

Tags: Al-Ḥayā’imanmalupelecehan seksualperempuan
Layyinah Ch

Layyinah Ch

Layyinah CH. seorang ibu, pengajar, yang terkadang menulis sebagai refleksi diri dengan latar belakang pendidikan pesantren dan kajian Islam. Fokus tulisan pada isu keadilan gender, spiritualitas, pendidikan Islam, serta dinamika keluarga dan peran perempuan dalam ruang-ruang keagamaan.

Terkait Posts

Memahami AI

Memahami Dasar Logika AI: Bagaimana Cara AI Menjawab Permintaan Kita?

30 Mei 2025
Kehendak Ilahi

Kehendak Ilahi Terdengar Saat Jiwa Menjadi Hening: Merefleksikan Noble Silence dalam Perspektif Katolik

29 Mei 2025
Merariq Kodek

Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

28 Mei 2025
Kafa'ah yang Mubadalah

Kafa’ah yang Mubadalah: Menemukan Kesepadanan dalam Moral Pasutri yang Islami

27 Mei 2025
Independent Woman

Being Independent Woman is Not Always About Money, Bro!

27 Mei 2025
Fatwa Vasektomi

Membaca Fatwa Vasektomi MUI dengan Perspektif Mubadalah

26 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Live TikTok

    Kasus Talak di Live TikTok: Memahami Batas Sah Talak di Mata Hukum

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Esensi Ibadah Haji: Transformasi Diri Menjadi Pribadi yang Lebih Baik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alarm Kekerasan Terhadap Anak Tak Lagi Bisa Diabaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulasan Daughters of Abraham: Ketika Para Putri Ibrahim Menggugat Tafsir

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Membangun Kesadaran Inklusivitas di Tengah Masyarakat yang Beragam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kasus Argo UGM dan Sampai Kapan Nunggu Viral Dulu Baru Diusut?
  • Pentingnya Menanamkan Moderasi Beragama Sejak Dini Ala Gus Dur
  • Memahami Dasar Logika AI: Bagaimana Cara AI Menjawab Permintaan Kita?
  • Esensi Ibadah Haji: Transformasi Diri Menjadi Pribadi yang Lebih Baik
  • Pentingnya Membangun Kesadaran Inklusivitas di Tengah Masyarakat yang Beragam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID