Mubadalah.id – Secara umum, fiqh memandang haid, nifas, dan istihadhah sebagai bagian dari kondisi hadats, baik besar maupun kecil. Artinya, seorang perempuan yang sedang haid, kondisinya sama dengan laki-laki yang junub atau orang yang batal wudunya. Yakni ia memerlukan penyucian diri sebelum menjalankan ibadah tertentu.
Dengan cara pandang seperti ini, Fiqh sebenarnya telah menempatkan proses biologis perempuan pada posisi yang terhormat yaitu sebagai bagian dari kehidupan manusia yang wajar, bukan dijauhi.
Namun, sayangnya, dalam sejarah panjang penulisan fiqh, tetap muncul pandangan-pandangan yang menyudutkan perempuan haid.
Dalam kitab al-Hayawan karya al-Jahiz, misalnya, menyebutkan bahwa ada empat makhluk yang mengalami haid: perempuan, kelinci, kelelawar, dan anjing hutan. Pandangan ini jelas bermasalah. Menyandingkan perempuan dengan hewan hanya karena kesamaan proses biologis adalah bentuk pemikiran yang merendahkan martabat manusia.
Dalam kitab al-Hawi, haid bahkan menyebutnya sebagai sesuatu yang kotor karena warna dan baunya tidak enak serta membahayakan.
Pandangan seperti ini menurut Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam Kupipedia.id memperlihatkan bagaimana bias patriarki dan ketidaktahuan medis dapat memengaruhi cara sebagian ulama memandang tubuh perempuan. Mereka gagal memahami haid sebagai mekanisme kesehatan reproduksi, bukan sebagai penyakit.
Padahal, secara medis, darah haid adalah hasil dari proses alami tubuh yang membuang jaringan yang tidak tubuh perlukan. Jika darah itu tertahan, justru akan berbahaya bagi tubuh perempuan. []











































