• Login
  • Register
Senin, 7 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

Menulis ulang sejarah ulama perempuan bukan sekadar kerja ilmiah, ia adalah tindakan keberanian, kesadaran, dan cinta

Nadhira Yahya Nadhira Yahya
07/07/2025
in Personal, Rekomendasi
0
Sejarah Ulama Perempuan

Sejarah Ulama Perempuan

1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pernahkah kamu bertanya: mengapa nama-nama ulama yang kita pelajari di pesantren maupun di kajian-kajian ilmu hampir semuanya laki-laki? Apakah perempuan tidak pernah jadi ulama? Atau… mereka ada, tapi terlupakan?

Saya lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren. Sejak kecil, saya akrab dengan kisah Imam Syafi’i yang menulis kitab sebelum usia baligh. Imam Ghazali yang meninggalkan popularitas demi hakikat, hingga Ibnu Rusyd yang mengharmonikan filsafat dan agama. Hari-hari saya dipenuhi pelajaran fiqh, tafsir, hadits, akhlak, semua dari kitab karya ulama laki-laki. Dan saya bersyukur, sangat bersyukur atas warisan ilmu itu.

Tapi semakin saya belajar, semakin ada satu suara dalam diri yang terasa janggal. Kenapa tak pernah ada kitab karya Nyai? Kenapa tak pernah saya dengar silsilah keilmuan yang menyebut perempuan sebagai gurunya para kiai?

Apakah benar tidak ada? Atau memang mereka pernah ada, berilmu, memimpin, menulis, mengajar, tapi tidak dicatat? Tidak terakui?

Nah, bayangkan jika pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya terjawab. Bukan dengan dugaan, tapi dengan riset sejarah, pendekatan dekolonial, dan semangat keadilan. Itulah yang sedang terjadi di Halaqah Nasional: Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia yang digelar di Kampus Transformatif ISIF Cirebon, pada Ahad, 6 Juli 2025.

Baca Juga:

Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Acara ini menghadirkan pemikir-pemikir keren seperti: Samia Kotele, pakar dekolonisasi pengetahuan Islam dari Lyon University, Paris. Kamala Chandrakirana, tokoh penting dari Majelis Musyawarah KUPI, dan Prof. Farish A. Noor, sejarawan Asia Tenggara dari Malaysia.

Perempuan Nampak dan Terlihat dalam Sejarah

Diskusi tersebut kemudian dipandu dengan hangat dan cermat oleh Dr Ikililah Muzayyanah, Direktur Alimat Jakarta yang tahu benar bagaimana membuat forum jadi akrab tapi tetap menggugah. Bukan basa-basi, dari awal, acara ini terasa seperti momen bersejarah. Sebuah ajakan untuk berhenti diam dan mulai bertanya.

Apa yang mereka bahas? Bukan cuma soal sejarah, tapi bagaimana perempuan terlihat bukan hanya obyek dalam sejarah Islam, tapi subyek yang aktif menulis, menafsirkan, dan membentuknya.

Kalau kamu sempat belajar sejarah di luar buku pelajaran sekolah, kamu pasti akan kaget, ternyata Indonesia punya barisan panjang ulama perempuan yang tak hanya berilmu, tapi juga berjuang. Nyai Rahmah El Yunusiyah, Nyai Khairiyah Hasyim, Nyai Siti Walidah. Mereka tidak sekadar mendampingi para kiai, tapi memimpin pesantren, membentuk kurikulum, bahkan turun ke medan revolusi melawan kolonialisme. Keren sekali, kan?

Rahmah El Yunusiyah, misalnya, mendirikan Diniyah Putri dan menolak tunduk pada aturan kolonial Belanda yang ingin mengontrol sekolah swasta. Nyai Khairiyah memimpin pesantren dan menulis gagasan pendidikan progresif. Siti Walidah, menulis artikel keislaman dan menjadi motor gerakan Aisyiyah.

Tapi pertanyaannya: kenapa nama-nama mereka jarang tersebut dalam kitab kuning? Atau bahkan dalam pengajian-pengajian di musala kampung kita?

“Keberadaan dan peran ulama perempuan terpinggirkan oleh sejarah yang terbangun secara sepihak selama berabad-abad,” kata Kamala Chandrakirana dalam halaqah tersebut. Sejarah itu, menurut Samia Kotele, terbentuk oleh ketimpangan kuasa dan hirarki geopolitik, serta adanya unsur patriarki. Singkatnya, siapa yang pegang pena, dia yang menentukan siapa yang layak disebut pahlawan.

Dan, perempuan, terutama yang bersuara lantang dan kritis, sering tidak dianggap pantas dikenang.

Padahal, seperti kata Alquran:

“Laki-laki dan perempuan yang beriman, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (QS At-Taubah: 71)

Jika demikian, bukankah sudah saatnya sejarah juga mencatat mereka secara setara?

Upaya menulis ulang sejarah ulama perempuan merupakan langkah penting dalam membongkar dan membingkai ulang narasi sejarah Islam di Indonesia. Bukan untuk menciptakan “perang gender”, tetapi untuk mengembalikan keutuhan sejarah, agar lebih jujur, inklusif, dan mencerminkan peran nyata perempuan dalam tradisi keilmuan Islam.

Kita perlu menyelidiki kenapa suara perempuan hilang dari sejarah, bukan hanya menganggap itu sebagai kebetulan atau “takdir”.

Pantas saja, walaupun saya tumbuh di lingkungan yang sangat agamis, di pesantren, di tengah kitab-kitab kuning, dan tradisi keilmuan Islam, saya tak pernah benar-benar akrab dengan cerita-cerita tentang ulama perempuan. Nama-nama mereka jarang terdengar, apalagi diajarkan sebagai bagian penting dari warisan ilmu Islam. Seolah-olah, menjadi ulama adalah sesuatu yang hanya mungkin dilakukan oleh laki-laki.

Maka Pertanyaannya: Kenapa Kita Masih Diam?

Jika pesantren adalah tempat lahirnya ilmu dan adab, kenapa kita masih mewarisi sistem belajar yang tidak adil dalam menyebut siapa saja yang layak kita sebut “ulama”?

Lantas, jika Alquran saja mengakui kesetaraan, kenapa kurikulum kita masih membungkam nama-nama perempuan? Jika sejarah adalah milik semua, kenapa kita hanya membaca setengahnya?

Kita tidak bisa terus-menerus merayakan perempuan hanya sebagai ibu dari para ulama, tapi enggan mengakui mereka sebagai ulama itu sendiri.

Inilah saatnya kita ikut menulis ulang sejarah. Yakni sejarah yang tidak membagi-bagi ilmu berdasarkan jenis kelamin. Sejarah yang menyebut nama Nyai dengan rasa hormat yang sama seperti kita menyebut nama Kiai. Sejarah yang utuh.

Dan kita bisa mulai dari hal kecil, lho. Tidak selalu harus kita mulai dari ruang akademik atau penelitian besar. Ia justru bisa kita mulai dari langkah-langkah sederhana yang bersifat partisipatoris dan kontekstual, misalnya dengan menggali ingatan kolektif di tingkat komunitas. Menelusuri kisah para ulama perempuan melalui narasi lisan dari para ibu, nenek, atau tokoh perempuan di lingkungan sekitar.

Ingat: Menghapus nama-nama mereka dari sejarah bukan hanya mengkhianati perempuan, tapi juga mengkhianati ilmu itu sendiri.

Jadi, kalau bukan kita yang mengingat dan menuliskan mereka, siapa lagi?

Seperti yang tersampaikan Prof. Farish A. Noor dalam halaqah tersebut, pertanyaan tentang siapa yang seharusnya menulis ulang sejarah adalah pertanyaan yang sangat penting. Bagi beliau, jawabannya bukan hanya para akademisi atau sejarawan. Tapi kita semua.

“Kita semua menulis sejarah, karena kita semua adalah manusia yang hidup dalam sejarah. Bahkan, kita sendiri adalah sejarah itu.”

Maka menulis ulang sejarah ulama perempuan bukan sekadar kerja ilmiah, ia adalah tindakan keberanian, kesadaran, dan cinta. Karena kalau bukan kita yang menuliskannya, siapa lagi? []

 

Tags: Gerakan KUPIHalaqah NasionalMenulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan IndonesiaPendekatan DekolonialSejarah Ulama Perempuan
Nadhira Yahya

Nadhira Yahya

Terkait Posts

Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Film Rahasia Rasa

Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

6 Juli 2025
Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sejarah Ulama Perempuan

    Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?
  • Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak
  • Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Jangan Hanya Menuntut Hak, Tunaikan Juga Kewajiban antara Orang Tua dan Anak
  • Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID