Sabtu, 23 Agustus 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Pendidikan Inklusi

    Pendidikan Inklusi Indonesia Masih Jauh dari Harapan: Mari Belajar dari Finlandia hingga Jepang

    Pendidikan Inklusi

    Pendidikan Inklusi: Jalan Panjang Menuju Sekolah Ramah Disabilitas

    Tunas Gusdurian 2025

    TUNAS GUSDURian 2025 Hadirkan Ruang Belajar Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren hingga Digital Security Training

    Konferensi Pemikiran Gus Dur

    Merawat Warisan Gus Dur: Konferensi Pemikiran Pertama Digelar Bersama TUNAS GUSDURian

    Kenaikan Pajak

    Demokrasi di Titik Nadir: GUSDURian Ingatkan Pemerintah Soal Kenaikan Pajak dan Kebijakan Serampangan

    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Lomba Agustusan

    Lomba Agustusan Fahmina dan Refleksi Indonesia Merdeka

    Kemerdekaan Jiwa

    Dari Lembah Nestapa Menuju Puncak Kemerdekaan Jiwa

    Voice for Inclusive

    Voice for Inclusive PKKMB UB: Sebuah Kabar Baik dari Dunia Pendidikan

    Uang Panai

    Uang Panai: Stigma Perempuan Bugis, dan Solusi Mubadalah

    Pernikahan Terasa Hambar

    Masih Bersama, Tapi Mengapa Pernikahan Terasa Hambar?

    Menikah

    Menikah atau Menjaga Diri? Menerobos Narasi Lama Demi Masa Depan Remaja

    Hari Kemerdekaan

    Hari Kemerdekaan dan Problem Beragama Kita Hari Ini

    Soimah

    Dear Bude Soimah, Tolong Perlakukan Pasangan Anak Laki-lakimu Sebagaimana Manusia Seutuhnya

    Inklusi Sosial

    Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Pernikahan yang

    Hikmah Pernikahan: Menjaga Nafsu, Memelihara Keturunan

    Pasangan

    Mengapa Pasangan Muda Perlu Pahami Kesehatan Reproduksi Sebelum Menikah?

    Nasihat Anak

    Bertahap dalam Memberi Nasihat Kepada Anak

    Sikap Moderat

    Pentingnya Memiliki Sikap Moderat dalam Mengasuh Anak

    Sifat Fleksibel

    Mengapa Orangtua Perlu Sifat Fleksibel dalam Pola Asuh Anak?

    Gus Dur

    Gus Dur Sosok yang Rela Menanggung Luka

    Anak Kritis

    Membiasakan Anak Kritis dan Menghargai Perbedaan Sejak Dini

    Tidak Membedakan Anak

    Orangtua Bijak, Tidak Membedakan Anak karena Jenis Kelaminnya

    Kesetaraan Gender

    Pola Pendidikan Anak Berbasis Kesetaraan Gender

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Pendidikan Inklusi

    Pendidikan Inklusi Indonesia Masih Jauh dari Harapan: Mari Belajar dari Finlandia hingga Jepang

    Pendidikan Inklusi

    Pendidikan Inklusi: Jalan Panjang Menuju Sekolah Ramah Disabilitas

    Tunas Gusdurian 2025

    TUNAS GUSDURian 2025 Hadirkan Ruang Belajar Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren hingga Digital Security Training

    Konferensi Pemikiran Gus Dur

    Merawat Warisan Gus Dur: Konferensi Pemikiran Pertama Digelar Bersama TUNAS GUSDURian

    Kenaikan Pajak

    Demokrasi di Titik Nadir: GUSDURian Ingatkan Pemerintah Soal Kenaikan Pajak dan Kebijakan Serampangan

    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Lomba Agustusan

    Lomba Agustusan Fahmina dan Refleksi Indonesia Merdeka

    Kemerdekaan Jiwa

    Dari Lembah Nestapa Menuju Puncak Kemerdekaan Jiwa

    Voice for Inclusive

    Voice for Inclusive PKKMB UB: Sebuah Kabar Baik dari Dunia Pendidikan

    Uang Panai

    Uang Panai: Stigma Perempuan Bugis, dan Solusi Mubadalah

    Pernikahan Terasa Hambar

    Masih Bersama, Tapi Mengapa Pernikahan Terasa Hambar?

    Menikah

    Menikah atau Menjaga Diri? Menerobos Narasi Lama Demi Masa Depan Remaja

    Hari Kemerdekaan

    Hari Kemerdekaan dan Problem Beragama Kita Hari Ini

    Soimah

    Dear Bude Soimah, Tolong Perlakukan Pasangan Anak Laki-lakimu Sebagaimana Manusia Seutuhnya

    Inklusi Sosial

    Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Pernikahan yang

    Hikmah Pernikahan: Menjaga Nafsu, Memelihara Keturunan

    Pasangan

    Mengapa Pasangan Muda Perlu Pahami Kesehatan Reproduksi Sebelum Menikah?

    Nasihat Anak

    Bertahap dalam Memberi Nasihat Kepada Anak

    Sikap Moderat

    Pentingnya Memiliki Sikap Moderat dalam Mengasuh Anak

    Sifat Fleksibel

    Mengapa Orangtua Perlu Sifat Fleksibel dalam Pola Asuh Anak?

    Gus Dur

    Gus Dur Sosok yang Rela Menanggung Luka

    Anak Kritis

    Membiasakan Anak Kritis dan Menghargai Perbedaan Sejak Dini

    Tidak Membedakan Anak

    Orangtua Bijak, Tidak Membedakan Anak karena Jenis Kelaminnya

    Kesetaraan Gender

    Pola Pendidikan Anak Berbasis Kesetaraan Gender

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

Menulis ulang sejarah ulama perempuan bukan sekadar kerja ilmiah, ia adalah tindakan keberanian, kesadaran, dan cinta

Nadhira Yahya Nadhira Yahya
7 Juli 2025
in Personal, Rekomendasi
0
Sejarah Ulama Perempuan

Sejarah Ulama Perempuan

1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pernahkah kamu bertanya: mengapa nama-nama ulama yang kita pelajari di pesantren maupun di kajian-kajian ilmu hampir semuanya laki-laki? Apakah perempuan tidak pernah jadi ulama? Atau… mereka ada, tapi terlupakan?

Saya lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren. Sejak kecil, saya akrab dengan kisah Imam Syafi’i yang menulis kitab sebelum usia baligh. Imam Ghazali yang meninggalkan popularitas demi hakikat, hingga Ibnu Rusyd yang mengharmonikan filsafat dan agama. Hari-hari saya dipenuhi pelajaran fiqh, tafsir, hadits, akhlak, semua dari kitab karya ulama laki-laki. Dan saya bersyukur, sangat bersyukur atas warisan ilmu itu.

Tapi semakin saya belajar, semakin ada satu suara dalam diri yang terasa janggal. Kenapa tak pernah ada kitab karya Nyai? Kenapa tak pernah saya dengar silsilah keilmuan yang menyebut perempuan sebagai gurunya para kiai?

Apakah benar tidak ada? Atau memang mereka pernah ada, berilmu, memimpin, menulis, mengajar, tapi tidak dicatat? Tidak terakui?

Nah, bayangkan jika pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya terjawab. Bukan dengan dugaan, tapi dengan riset sejarah, pendekatan dekolonial, dan semangat keadilan. Itulah yang sedang terjadi di Halaqah Nasional: Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia yang digelar di Kampus Transformatif ISIF Cirebon, pada Ahad, 6 Juli 2025.

Acara ini menghadirkan pemikir-pemikir keren seperti: Samia Kotele, pakar dekolonisasi pengetahuan Islam dari Lyon University, Paris. Kamala Chandrakirana, tokoh penting dari Majelis Musyawarah KUPI, dan Prof. Farish A. Noor, sejarawan Asia Tenggara dari Malaysia.

Perempuan Nampak dan Terlihat dalam Sejarah

Diskusi tersebut kemudian dipandu dengan hangat dan cermat oleh Dr Ikililah Muzayyanah, Direktur Alimat Jakarta yang tahu benar bagaimana membuat forum jadi akrab tapi tetap menggugah. Bukan basa-basi, dari awal, acara ini terasa seperti momen bersejarah. Sebuah ajakan untuk berhenti diam dan mulai bertanya.

Apa yang mereka bahas? Bukan cuma soal sejarah, tapi bagaimana perempuan terlihat bukan hanya obyek dalam sejarah Islam, tapi subyek yang aktif menulis, menafsirkan, dan membentuknya.

Kalau kamu sempat belajar sejarah di luar buku pelajaran sekolah, kamu pasti akan kaget, ternyata Indonesia punya barisan panjang ulama perempuan yang tak hanya berilmu, tapi juga berjuang. Nyai Rahmah El Yunusiyah, Nyai Khairiyah Hasyim, Nyai Siti Walidah. Mereka tidak sekadar mendampingi para kiai, tapi memimpin pesantren, membentuk kurikulum, bahkan turun ke medan revolusi melawan kolonialisme. Keren sekali, kan?

Rahmah El Yunusiyah, misalnya, mendirikan Diniyah Putri dan menolak tunduk pada aturan kolonial Belanda yang ingin mengontrol sekolah swasta. Nyai Khairiyah memimpin pesantren dan menulis gagasan pendidikan progresif. Siti Walidah, menulis artikel keislaman dan menjadi motor gerakan Aisyiyah.

Tapi pertanyaannya: kenapa nama-nama mereka jarang tersebut dalam kitab kuning? Atau bahkan dalam pengajian-pengajian di musala kampung kita?

“Keberadaan dan peran ulama perempuan terpinggirkan oleh sejarah yang terbangun secara sepihak selama berabad-abad,” kata Kamala Chandrakirana dalam halaqah tersebut. Sejarah itu, menurut Samia Kotele, terbentuk oleh ketimpangan kuasa dan hirarki geopolitik, serta adanya unsur patriarki. Singkatnya, siapa yang pegang pena, dia yang menentukan siapa yang layak disebut pahlawan.

Dan, perempuan, terutama yang bersuara lantang dan kritis, sering tidak dianggap pantas dikenang.

Padahal, seperti kata Alquran:

“Laki-laki dan perempuan yang beriman, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (QS At-Taubah: 71)

Jika demikian, bukankah sudah saatnya sejarah juga mencatat mereka secara setara?

Upaya menulis ulang sejarah ulama perempuan merupakan langkah penting dalam membongkar dan membingkai ulang narasi sejarah Islam di Indonesia. Bukan untuk menciptakan “perang gender”, tetapi untuk mengembalikan keutuhan sejarah, agar lebih jujur, inklusif, dan mencerminkan peran nyata perempuan dalam tradisi keilmuan Islam.

Kita perlu menyelidiki kenapa suara perempuan hilang dari sejarah, bukan hanya menganggap itu sebagai kebetulan atau “takdir”.

Pantas saja, walaupun saya tumbuh di lingkungan yang sangat agamis, di pesantren, di tengah kitab-kitab kuning, dan tradisi keilmuan Islam, saya tak pernah benar-benar akrab dengan cerita-cerita tentang ulama perempuan. Nama-nama mereka jarang terdengar, apalagi diajarkan sebagai bagian penting dari warisan ilmu Islam. Seolah-olah, menjadi ulama adalah sesuatu yang hanya mungkin dilakukan oleh laki-laki.

Maka Pertanyaannya: Kenapa Kita Masih Diam?

Jika pesantren adalah tempat lahirnya ilmu dan adab, kenapa kita masih mewarisi sistem belajar yang tidak adil dalam menyebut siapa saja yang layak kita sebut “ulama”?

Lantas, jika Alquran saja mengakui kesetaraan, kenapa kurikulum kita masih membungkam nama-nama perempuan? Jika sejarah adalah milik semua, kenapa kita hanya membaca setengahnya?

Kita tidak bisa terus-menerus merayakan perempuan hanya sebagai ibu dari para ulama, tapi enggan mengakui mereka sebagai ulama itu sendiri.

Inilah saatnya kita ikut menulis ulang sejarah. Yakni sejarah yang tidak membagi-bagi ilmu berdasarkan jenis kelamin. Sejarah yang menyebut nama Nyai dengan rasa hormat yang sama seperti kita menyebut nama Kiai. Sejarah yang utuh.

Dan kita bisa mulai dari hal kecil, lho. Tidak selalu harus kita mulai dari ruang akademik atau penelitian besar. Ia justru bisa kita mulai dari langkah-langkah sederhana yang bersifat partisipatoris dan kontekstual, misalnya dengan menggali ingatan kolektif di tingkat komunitas. Menelusuri kisah para ulama perempuan melalui narasi lisan dari para ibu, nenek, atau tokoh perempuan di lingkungan sekitar.

Ingat: Menghapus nama-nama mereka dari sejarah bukan hanya mengkhianati perempuan, tapi juga mengkhianati ilmu itu sendiri.

Jadi, kalau bukan kita yang mengingat dan menuliskan mereka, siapa lagi?

Seperti yang tersampaikan Prof. Farish A. Noor dalam halaqah tersebut, pertanyaan tentang siapa yang seharusnya menulis ulang sejarah adalah pertanyaan yang sangat penting. Bagi beliau, jawabannya bukan hanya para akademisi atau sejarawan. Tapi kita semua.

“Kita semua menulis sejarah, karena kita semua adalah manusia yang hidup dalam sejarah. Bahkan, kita sendiri adalah sejarah itu.”

Maka menulis ulang sejarah ulama perempuan bukan sekadar kerja ilmiah, ia adalah tindakan keberanian, kesadaran, dan cinta. Karena kalau bukan kita yang menuliskannya, siapa lagi? []

 

Tags: Gerakan KUPIHalaqah NasionalMenulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan IndonesiaPendekatan DekolonialSejarah Ulama Perempuan
Nadhira Yahya

Nadhira Yahya

Terkait Posts

Sejarah Ulama Perempuan
Personal

Membongkar Sejarah Ulama Perempuan, Dekolonialisme, dan Ingatan yang Terpinggirkan

15 Agustus 2025
Menjaga Bumi
Personal

Perempuan Tidak Bercerita; Jihad Sunyi Menjaga Bumi

30 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan
Publik

Menguatkan Peran Ibu Nyai Pesantren dengan Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan

20 Juli 2025
Ikrar KUPI
Personal

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan
Pernak-pernik

Sejarah Ulama Perempuan yang Membisu dalam Bayang-bayang Kolonialisme Ekonomi

8 Juli 2025
Samia
Aktual

Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

6 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fatmawati Sukarno

    Teladan Kemerdekaan Fatmawati Sukarno: Insiatif, Proaktif, dan Cinta dalam Pengabdian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pasangan Muda Perlu Pahami Kesehatan Reproduksi Sebelum Menikah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lomba Agustusan Fahmina dan Refleksi Indonesia Merdeka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hikmah Pernikahan: Menjaga Nafsu, Memelihara Keturunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Siti Walidah: Ulama Perempuan Dibalik Perintis Muhammadiyah dalam Bayang Kolonialisme

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pendidikan Inklusi Indonesia Masih Jauh dari Harapan: Mari Belajar dari Finlandia hingga Jepang
  • Perempuan dalam Duka: Membaca Film Sore dengan Empati Bukan Penghakiman
  • Pendidikan Inklusi: Jalan Panjang Menuju Sekolah Ramah Disabilitas
  • Lomba Agustusan Fahmina dan Refleksi Indonesia Merdeka
  • Hikmah Pernikahan: Menjaga Nafsu, Memelihara Keturunan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID