Mubadalah.id – Sebuah bom meledak di depan sebuah gereja Katedral di Makassar. Mirisnya, ini terjadi saat umat Kristiani sedang melakukan ibadah Misa, yakni pada hari minggu pagi pukul 10.28 WITA. Hal ini tentu saja menambah daftar panjang aksi-aksi terorisme mengatasnamakan agama yang di Indonesia.
Pertanyaan miris pun hadir di benak saya. Mengapa pelaku selalu mengatasnamakan Agama (Islam) dalam setiap aksinya? Padahal Islam adalah agama ‘Rahmatan lil Alamin’, memberikan rahmat bagi seluruh alam dan isinya. Ajaran Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan, apalagi membunuh orang-orang yang tidak bersalah.
Dan yang lebih mirisnya lagi, mayoritas dari para pelaku adalah mereka yang berpenampilan saleh, seolah-olah taat beragama, dan taat beribadah. Tak jarang pula menggunakan dalil-dalil Al-quran dan hadis untuk membenarkan tindakan mereka. Kebanyakan mereka tergabung dalam kelompok komunitas Islam fundamentalis yang menganggap ajaran Islam mengajarkan melakukan tindak kekerasan sebagai perwujudan dari keimanan. Sasaran mereka tentu saja pada orang-orang yang dianggap ‘berbeda’.
Keberadaan berbagai kelompok Islam fundamentalis di Indonesia bukan merupakan rahasia umum lagi. Kelompok-kelompok semacam ini hadir dan menjelma dalam berbagai komunitas. Komunitas pengajian misalnya, yang dapat berlangsung di lingkungan sekolah, kampus, bahkan lingkungan masyarakat. Dalam komunitas-komunitas semacam ini, biasanya doktrin-doktrin fundamental keagamaan sudah mulai diperkenalkan, mulai dari eksklusivisme agama, membenci perbedaan, bahkan penanaman ideologi jihadis.
Sebagai orang tua, tentu saja hal ini mengkhawatirkan. Orang tua tidak mungkin sepenuhnya mengontrol anak-anak, apalagi saat berada di luar rumah. Anak-anak yang telah memasuki ruang lingkup agama yang fundamental dan esensialis ini, cenderung terdoktrin untuk tidak dapat menerima perbedaan dan keragaman, sehingga akan mendorong terbentuknya pribadi-pribadi yang merasa eksklusif, rasis, egois, apatis, bahkan diskriminatif dalam menyikapi perbedaan dalam masyarakat.
Penanaman pendidikan multikulturalisme pada anak sedini mungkin terkait kehidupan beragama saya rasa sangat penting. Pemahaman multikulturalisme ini dapat menjadi benteng yang kokoh untuk menolak pemahaman agama yang fundamental yang berkembang di masyarakat. Multikulturalisme mendorong untuk menghargai kerberagaman, perbedaan, toleransi, dan bersifat terbuka.
Pendidikan multikulturalisme mengajarkan anak untuk selalu melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang bergerak dan tidak statis. Kebudayaan tidak bersifat baku, melainkan suatu wilayah yang terbuka terhadap berbagai pengaruh, interaksi, percampuran, dan peleburan. Multikuturalisme hadir mewarnai kenyataan bahwa memang masyarakat kita adalah masyarakat yang memiliki pluralitas budaya dan diwarnai dengan keberagaman.
Pengenalan multikuturalisme pada anak terkait agama di lingkungan keluarga dapat dilakukan dengan cara-cara berikut; misalnya dengan membuka ruang diskusi dengan anak tentang adanya keberagaman agama di Indonesia; memilih buku-buku bacaan agama yang berfokus pada ajaran Islam yang mengajarkan perdamaian, toleransi, dan menghormati sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Allah.
Kemudian melakukan penyeleksian terhadap bacaan-bacaan yang berisi kisah-kisah para nabi dengan umatnya yang berbeda-beda zaman, dan yang terpenting adalah menghindari ajaran-ajaran ekskluvisme terhadap agama sendiri sehingga cenderung menjelek-jelekkan agama lain.
Selain itu, Pendidikan Multikulturalisme harusnya dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, tidak harus di tataran formal. Di lingkungan-lingkungan keagamaan, misalnya yang dapat diwujudkan melalui berbagai dialog dan diskusi bersama tokoh-tokoh agama, maupun lintas agama bersama masyarakat, membongkar stereotipe tentang identitas keagamaan tertentu oleh sosialisasi dan pengalaman, dan sama-sama memecahkan persoalan intoleransi yang terjadi di masyarakat.
Di lingkungan sekolah, pemahaman multikultural dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pelajaran agama, dan menghindari berbagai intervensi keagamaan tehadap para siswa yang minoritas. Pada dasarnya Pendidikan Multikuturalisme bukan hanya ditujukan untuk merayakan keberagaman namun ditujukan pula untuk menciptakan masyarakat yang toleransi dan bebas dari diskriminasi.
Maka, sudah semestinya pendidikan multikulturalisme tidak lagi hanya sekedar wacana, namun diterapkan ke seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menghindari berbagai aksi kejahatan berbasis intoleransi. []