Mubadalah.id – Saat membicarakan perempuan lintas sejarah, nama Raden Ajeng Kartini pasti akan muncul dalam rentetan cerita. Padahal, sejatinya banyak nama perempuan hebat yang jarang tercatat sejarah dengan baik.
Hal ini berdasarkan dengan penelitian Peter Carey sejarawan dari Inggris dan Vincent Houben guru besar sejarah dari Humboldt University “Dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX” menghadirkan sosok-sosok luar biasa yang mereka temui saat meneliti Perang Jawa (1825-1830). Salah satunya ialah Nyai Siti Ambariyah.
Mengenal Ibu Agung Siti Ambariyah
Dari berbagai sumber, belum ada yang menjelaskan secara pasti kapan dan di mana kelahiran Nyai Siti Ambariyah. Yang jelas Ia hidup pada tahun 1700-an. Hal ini membuktikan bahwa kesetaraan gender sudah ada jauh sebelum RA. Kartini hidup yaitu pada tahun 1800-an. Selain itu, Ia memiliki hubungan yang sangat erat dengan Kabupaten Pekalongan karena aktif berdakwah di sana.
Siti Ambariyah adalah seorang putri dari Ki Agung Rogoselo. Wali agung yang aktif berdakwah di Desa Rogoselo, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan. Lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga religius menjadikannya pejuang spiritual yang tangguh.
Sebagai wujud penghormatan atas segala perjuangannya, beliau mendapat gelar “Ibu Agung” dari masyarakat. Melansir dari berbagai sumber, gelar Ibu Agung yang tersemat di depan namanya sebab keteladanan, ketangguhan, dan keberaniannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia serta menyebarkan ajaran Islam di daerah Pekalongan.
Karena kiprahnya yang sangat luar biasa, banyak yang menyebutnya sebagai waliyullah perempuan. Makamnya hampir tidak pernah sepi dari peziarah. Terlebih saat haul, makamnya dipadati peziarah baik dari dalam maupun luar kota Pekalongan. Tidak ada tanggal yang pasti, namun seringkali pelaksanaan haul di bulan Juli.
Nasionalisme Nyai Siti Ambariyah
Sebagai perempuan yang hidup di era kolonial, Nyai Siti Ambariyah terbilang sangat berani dalam melawan penjajah. Ia selalu memotivasi masyarakat sekitar agar tidak gentar dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Nyai Siti Ambariyah dikenal sebagai sosok yang sangat bijaksana, welas asih, dan peduli terhadap sesama. Melihat potensi lokal berupa pertanian dan Perkebunan, Ia bertekad untuk memajukan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar dengan mengajarkan cara-cara bertani yang efektif dan efisien.
Antara cinta dan perjuangan
Nyai Siti Ambariyah merupakan representasi dari perempuan berdaya. Ia berdaya secara intelektual, moral, hingga dalam mengambil keputusan. Banyak sumber yang menyebutkan bahwa Nyai Siti Ambariyah menolak dengan santun pinangan dari Ki Penatas Angin. Seorang pangeran dari Mataram Islam yang sedang berguru kepada ayahnya.
Ayahnya, Ki Agung Rogoselo sangat demoktaris. Ia tidak memaksakan putrinya untuk menerima pinangan muridnya. Padahal Ki Penatas Angin merupakan seorang pangeran Mataram yang juga berdakwah di Doro, Pekalongan. Makamnya tidak jauh dari makam Ki Agung Rogoselo, hanya saja di atas bukit yang cukup ekstrim. Pun sama, kedua makam wali tersebut selalu ramai didatangi peziarah.
Komitmennya sangat kuat terhadap perjuangan dan agama. Ia fokus mendirikan madrasah di Desa Bukur, Bojong yang menjadi pusat pendidikan Islam dan pengetahuan umum. Dengan penuh ketegaran dan keberanian, Ia memilih jalur perjuangan daripada mengutamakan kepentingan pribadi.
Madrasahnya menjadi kawah candradimuka keilmuan yang bercampur dengan kearifan lokal. Ia mengajarkan syariat Islam sekaligus pengetahuan umum seperti tiangong (keterampilan tertentu), pertanian, dan berkebun.
Nyai Siti Ambariyah patut menjadi figur bagi perempuan masa kini. Jiwanya tidak takut kesepian. Ia mampu hadir untuk dirinya sekaligus masyarakat di sekitarnya. Pengabdiannya tidak goyah dengan kedatangan seorang pangeran. Keberaniannya menembus sekat-sekat yang selama ini menghalangi kiprah seorang perempuan.
Nyai Siti Ambariyah menghiasi dirinya dengan nilai-nilai kebajikan seperti salihah, cerdas, berani, dan penuh kasih sayang. Bukan hanya sebatas penampilan fisik.
Kisah hidup Nyai Siti Ambariyah adalah contoh nyata keteguhan dan keberanian dalam memperjuangkan kemerdekaan dan syiar Islam. Dengan madrasah yang menjadi pusat pendidikan menjadi bukti bahwa perempuan memiliki peran penting dalam membangun peradaban. []