Di suatu antrian di sebuah apotik tengah kota, kebetulan urutannya berjajar panjang, seorang ibu masih muda baru datang dan berkata kepada seorang anak (usia setingkat SMP) :”Dik, saya dulu ya? Sebab buru-buru. Si ibu memberi alasan untuk menyerobot antrian si anak yang bertubuh ramping. Padahal si anak tersebut sudah mengantri lama, sudah satu jam, dan masih banyak urusan, sedang di rumah ibunya yang sakit menunggunya.
Malangnya si anak tidak berdaya untuk berkata-kata atau minimal menunjukkan keperluannya yang juga sangat mendesak. Ia harus menebus obat secepatnya dan membeli beberapa keperluan dapur untuk makan siang ibu dan adiknya.
Demikian juga dalam rumah tangga, tidak sedikit anak-anak telah diperlakukan kasar dan kejam oleh keluarga dekatnya sendiri. Disuruh-suruh, dipaksa mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai kapasitas dan umurnya. Apabila tidak dikerjakan atau sudah dikerjakan tetapi jika tidak sesuai target, dibentak-bentak, dimarahi, dipukul dan ditendang-tendang. Sungguh tragis!
Ini adalah sekedar gambaran prilaku seseorang yang sewenang-wenang atau kejam kepada seorang anak. Pernahkan anda melakukan itu? Jika pernah, anda sungguh dzalim, kejam dan tidak manusiawi.
Dalam kehidupan keseharian, orang yang paling rentan kepada tindak kesewenang-wenangan adalah anak. Meraka adalah anak manusia, yang (dipandang) bertubuh mungil, belum banyak mempunyai pengalaman hidup, belum cukup mampu untuk berfikir rasional dan dipandang tidak ada kekuatan untuk melawan, maka sering diremehkan dan terabaikan hak-haknya.
Dalam sejarah, anak manusia bahkan selalu menjadi korban kebiadaban. Pada era Fir’aun (1527 SM.), bayi-bayi lelaki diburuh dan dibunuhi, di era Jahiliyyah banyak bayi perempuan dikubur hidup-hidup dan di era modern ini banyak janin dan bayi perempuan maupun lelaki dibunuh karena suatu alasan.
Di sini penulis tidak berbicara hukum merawat, melindungi dan menjaga anak, tetapi bagaimana kita dapat memperlakukan mereka dengan cara yang wajar dan baik. Anak manusia, tak kira ia anak biologis atau tidak, berhak mendapatkan perhatian dan pemuliaan, sebagaimana manusia pada umumnya. Pada dasarnya hak-hak kemanusiaan itu sama, tidak memandang ia besar atau kecil, tinggi atau rendah, hitam atau putih, dan tidak membeda-bedakan sukunya, nasabnya, agamanya atau bangsanya.
Anak-anak itu bagaikan cermin, apa yang orang dewasa lakukan terhadapnya, ia akan menirunya sebagaimana apa yang ia lihat. Jika kemarin ia diperlakukan baik, ia akan memantulkan prilaku yang baik di hari ini dan demikian seterusnya. Maka jangan diharapkan, jika orang tuanya telah menanamkan keburukan kepadanya akan dapat memanen kebaikan darinya.
Bagaimana memperlakukan anak dengan wajar dan respect? Bagaimana berinteraksi dengan anak-anak? Salah satu cara yang tepat adalah kita mentauladani prilaku Rasulullah saw terhadap anak kecil, baik itu kepada anak orang lain, budaknya atau keluarga beliau sendiri.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., ia berkata, “aku menjadi pelayan Rasulullah saw selama 10 tahun. Demi Allah, beliau sama sekali tidak pernah mengucapkan kata hus kepadaku, dan beliau juga tidak pernah mengomentari pekerjaanku dengan kata-kata, kenapa kamu melakukan ini? Atau terhadap sesuatu yang tidak aku lakukan, kenapa kamu tidak melakukan ini?” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Abu Daud).
Demikian juga ketika Rasulullah saw (571-633 M.) mengadopsi Zayd bin Haritsah bin Syarahil al-Kalbi sebagai anak angkat beliau. Peristiwa ini sebelum kenabian. Zayd bin Haritsah (576-629 M.) berasal dari Bani Ṭayyi’ di Syam. Ketika terjadi peperangan antara salah satu kabilah Arab dengan Bani Ṭayyi’, Zayd kecil tertawan dan dijadikan budak.
Tetapi ada pendapat lain, bahwa Zayd kecil ditangkap oleh sekelompok penjahat yang kemudian menjualnya sebagai seorang budak. Khalil dari suku Tihamah membeli Zayd dan menjualnya kepada Hukaim bin Ham bin Khuwailid. Lalu Hukaim memberikannya sebagai hadiah kepada Khadîjah bint Khuwailid (556-620 M.), saudara perempuan ayahnya.
Setelah Nabi Muḥammad saw menikah dengan sayyidah Khadîjah bint Khuwailid pada tahun 596 M., beliau tertarik kepada Zayd. Maka Khadîjah menghadiahkan Zayd kepada suaminya. Ketika itu Zayd sudah berumur sekitar 20 tahun. Setelah Haritsah, ayah Zayd, mendengar kabar bahwa anaknya bersama Nabi Muḥammad saw, beliau pergi ke Mekkah dengan tujuan akan menebus anaknya yang tercinta itu.
Beliau meminta Muḥammad saw untuk menyerahkan Zayd. Nabi Muḥammad saw lalu memberikan kebebasan kepada Zayd untuk memutuskan dirinya, dan beliau tidak mau menerima tebusan. Setelah ditanyakan kepada Zayd, ia memutuskan untuk tetap bersama Nabi dan tidak mau ikut ayahnya ke negeri Syam.
Lalu ayah Zayd berkata: “Celakalah engkau wahai anakku lebih memilih perbudakan daripada kemerdekaan.” Zayd menjawab, “sesungguhnya aku melihat kebaikan pada diri beliau (Muḥammad), yang menjadikanku tidak sanggup berpisah dengannya, dan aku tidak sanggup memilih orang lain selain dia untuk selama-lamanya.”
Dalam kisah yang lain, yang diceritakan oleh Abu Hurairah. Pada suatu hari, Rasulullah saw keluar dan aku sedang berada di masjid. Beliau memegang tanganku, lalu mengajakku mendatangi pasar Bani Qainuqa. Kami melihat-lihat pasar dan setelah itu aku pulang bersama beliau. Kemudian kami duduk di masjid.
Beliau bersabda:”Panggilkan anak lelakiku!”. Lalu datanglah Hasan bin Ali, ia menghambur dalam pangkuan beliau dan bermain-main dengan jenggot beliau. Beliau pun menciuminya seraya berkata,”Ya Allah, sesungguhnya aku menyayanginya, maka sayangilah ia, dan sayangilah pula orang-orang yang mengasihinya.” (doa tersebut dibaca tiga kali).
Diriwayatkan dari Ya’la al-Amiri bahwasanya ia pernah keluar bersama Rasulullah saw menghadiri undangan jamuan makan. Sesampainya beliau di hadapan para tamu undangan, Husain terlihat sedang bermain-main dengan teman sebayanya. Maka, beliau berkeinginan untuk menggendongnya. Husain berlari ke sana ke mari, beliau pun mengajaknya bercanda.
Kemudian, beliau meletakkan salah satu tangan beliau di bawah pundak Husain dan tangan yang satu memegang dagu Husain. Lalu, beliau menciumi Husain dengan penuh kasih sayang. Lalu beliau bersabda.” Husain termasuk keluargaku dan aku termasuk keluarga Husain. Allah swt mencintai orang-orang yang mencintai Husain. Husain merupakan salah satu cucuku.” (HR. Hakim)
Kisah-kisah ini menunjukkan begitu terpuji akhlak Rasulullah kepada anak kaum muslimin atau orang yang lebih muda dari beliau. Betapa kita sangat dianjurkan untuk mencontoh akhlak beliau ketika berinteraksi dengan anak-anak kita atau anak kecil lainnya, agar kita bisa memperlihatkan kepadanya contoh yang bagus dengan meneladani akhlak Rasulullah Saw.
Kata Rasulullah saw: Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak menghormati yang lebih tua.” Akhlak Rasulullah itu sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt.:“Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu….” (QS. al- Ahzab [33]: 21).
Anak-anak membesar tergantung lingkungannya. Anak-anak akan menjadi baik apabila ia diperlakukan dengan baik. Mereka akan merasa dihargai jika diperlakukan dengan respect dan penuh ketulusan. Mereka akan belajar dari pengalaman yang ia dapat, dari peristiwa yang ia lihat dan akan ia praktikkan dalam hidupnya dan kepada sekelilingnya.
Maka, ajaklah mereka berdialog, tanya apa kemauannya, berikan kebebasannya untuk belajar, berikan keteladanan yang baik, dengarkan pembicaraannya dan perhatikan perkembangannya. Mereka adalah harapan orang tuanya, masa depan bangsa dan agamanya. Wallahu a’lam. []