Mubadalah.id – Dalam tradisi keagamaan kita, tidak sedikit aturan yang khusus ditujukan kepada perempuan. Hal ini, karena hanya pengalaman biologis perempuan.
Sehingga, hal inilah yang membuat perempuan sering kali terbatasi ruang dan geraknya seperti tidak boleh keluar rumah tanpa alasan penting atau tanpa mahramnya dan wajib menutup tubuhnya rapat-rapat.
Bahkan para perempuan dilarang berdandan mencolok di depan umum, diharamkan menyambung rambut atau merapikan alis. Bahkan diperingatkan agar tidak bersuara lantang atau memimpin shalat.
Ketika suaminya wafat pun, perempuan masih terbebani dengan kewajiban berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Semua ini seolah menegaskan satu hal yaitu tubuh dan keberadaan perempuan adalah sumber masalah yang berbahaya.
Sehingga, hanya karena pengalaman biologis, ia diawasi dan dikendalikan melalui sederet perintah serta larangan yang nyaris hanya untuk perempuan.
Benang merah dari tumpukan aturan ini berpangkal pada konsepsi lama tentang “perempuan sebagai fitnah”.
Dalam Fikih
Dalam fikih, tubuh perempuan kerap mereka maknai sebagai godaan yang dapat meruntuhkan iman laki-laki. Pandangan ini tidak terlepas dari sejumlah hadis Nabi Muhammad SAW, seperti riwayat Muslim yang menyebut,
“Takutlah kamu akan fitnah dunia dan fitnah perempuan, karena orang-orang Yahudi dahulu pertama kali terfitnah oleh perempuan” (HR. Muslim no. 2742), atau sabda lain dalam riwayat al-Bukhari, “Tidaklah aku tinggalkan setelahku suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki selain fitnah perempuan” (HR. al-Bukhari no. 4808).
Dalam kitab Uqūd al-Lujayn, Syeikh Nawawi al-Bantani bahkan mengutip hadis tentang perempuan sebagai perangkap setan untuk menjerat manusia. Konsep ini kemudian melahirkan aturan-aturan yang bukan hanya mengekang kebebasan perempuan. Tetapi juga menempatkan harga diri mereka semata pada aspek erotis dan sensual.
Padahal, sebagaimana dalam pandangan oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, seharusnya teks-teks keagamaan kita baca dengan mempertimbangkan konteks sosial dan historisnya agar tidak jatuh pada bias patriarki yang merugikan perempuan.
Sudah waktunya kita menegaskan ulang bahwa perempuan bukan sumber fitnah. Melainkan subjek penuh martabat yang setara dan berhak hadir utuh dalam ruang sosial maupun keagamaan. []