Suatu ketika temanku mengadu tentang kelakuan suaminya yang suka pulang malam dan kerjaannya nongkrong sama teman. Parahnya, tiap kali diminta untuk bergantian menggendong anak bayinya yang rewel di tengah malam, ia dengan tanpa berdosa nyeletuk “Ini loh anakmu nangis terus, urusin kek! Kan itu tugasmu.”
Temanku yang lain cerita dengan sangat kesal sebab suaminya memarahi habis-habisan. Alasannya menurutku klise sekali, hanya karena anak bungsu mereka tidak juara kelas lagi. “Kamu di rumah kerjaannya ngapain sih? Kok bisa anak kita gak juara kelas? Harusnya kan tugasmu ngajarin dia pas aku lagi kerja!”
Kurang lebih begitulah fenomena rumah tangga “kebanyakan” di Indonesia. Tentang peran ibu yang lebih “harus” menjaga, mengasuh, dan merawat anak-anak. Sementara tugas laki-laki? Ya cukup mencari rizki dan selanjutnya dimasakin, dilayanin dan kata-kata “di” pasif lainnya.
Ini jelas-jelas aneh dan gak adil, lha wong bikinnya saja bareng-bareng kok giliran merawat, mendidik dan membesarkan jadi tugas mutlak istri. Peran pembagian yang timpang ini tidak saja terjadi pada dua teman yang kuceritakan di atas.
Pembagian pola kerja ini secara otomatis terjadi di lingkungan kita sejak ikrar di hari pertama pernikahan. Tentu rujukunnya adalah adat dan budaya salah kaprah yang mendarah daging di tengah-tengah masyarakat kita.
Pembagian yang demikian ini tentu jelas-jelas secara eksplisit tidak diajarakan Nabi Muhammad. Dalam kitab “Ar-Rasul Al-Mu’allim” (Nabi sebagai pendidik) karya ulama’ Mesir Abdul Fattah Abu Ghuddah, Nabi dalam berbagai kesempatan ikut menjadi bagian dari pendidikan bagi putera-puteri dan cucunya.
Salah satunya adalah pengajaran kepada Sayyidina Hasan dan Husein dengan mengajaknya ikut serta shalat. Beliau menggendong Hasan dan terkadang Husein di pundaknya saat berdiri dan ruku’, kemudian meletakkannya saat Nabi akan sujud. Remeh memang, tapi itulah cara nabi memperkenalkan dan mendidik sedari dini tata cara ibadah umat muslim kepada cucunya yang masih berusia balita.
Contoh lain yang sangat dekat dengan kisah Nabi dan cara mendidiknya adalah kisah Sayyidatina Fatimah. Suatu ketika, seseorang mendatangi Nabi dan mengadu terkait seorang perempuan yang mencuri. Nabi kemudian memerintahkan sahabat untuk memotong tangan perempuan Makhzumiyah itu.
Atas kejadian tersebut, Nabi mewanti-wanti Fatimah, putri satu-satunya yang hidup pada saat itu sebagai “jaminan” keadilan beliau. Dalam redaksi hadis itu beliau menyebutkan “law anna Fatimah binti Muhammad saraqat, laqatha’tu yadaha,” (Jika Fatimah binti Muhammadlah yang mencuri, maka aku akan memotong tangannya). Redaksi ini disebut sebagai salah satu keterlibatan Nabi dalam mendidik putrinya melalui kisah nyata yang terjadi saat itu di samping menunjukkan keadilan ketegasan beliau kepada para sahabat.
Selain argumen dalil di atas, saya teringat cerita artis Irfan Hakim yang menangis ketika menceritakan anaknya bernama Jalu. Sebagai presenter yang jarang di rumah, tentu istrinyalah yang memiliki banyak waku bersama anak-anaknya.
Singka cerita, suatu ketika, Jalu ingin ikut bersama ibunya (istri Irfan) dengan saudara perempuannya yang lain untuk shalat jamaah. Karena terbiasa melihat ibu dan kakaknya memakai mukenah, Jalu pun mengambil dan memakai mukena tersebut.
Miris dan terpukul. Kurang lebih itulah respon pertama kali Irfan saat mendapatkan cerita tersebut dari istriya. Peristiwa itu lantas membuatnya sadar bahwa sebagai ayah dari anak laki-laki satu-satunya, Irfanlah seharusnya yang mengambil peran pengajaran kepada Jalu. Bukan karena istrinya tidak bisa, tapi karena ini adalah soal figur dan teladan yang utuh.
Begitulah kiranya bahwa suami ataupun istri seharusnya bersama-sama untuk menjadi bagian dari tumbuh kembang anak, termasuk di dalamnya mengasuh, mendidik, dan merawatnya. Anak laki-laki yang cenderung pemberani, suka tantangan, tegas, akan belajar kasih sayang, kelembutan, dan ketulusan dari seorang ibu.
Begitu juga dengan anak perempuan yang cenderung berperasaan, pemalu, penakut, akan belajar keberanian, tanggung jawab dan kepemimpinan dari seorang ayah. Dan dari ayahnya, anak belajar hal yang tidak bisa ia dapatkan dari ibunya, begitu juga sebaliknya.
Oleh sebab itu, mendidik anak bukan tentang siapa yang lebih pantas atau berkewajiban, atau siapa yang lebih berkekuatan menjalankan. Mendidik adalah tentang kerja sama antar suami dan istri untuk kebutuhan putera-putrinya di masa depan. []
