Mubadalah.id – Masyarakat Mesir menyebutnya Bintusy Syathi’. Secara literal, nama ini bermakna “anak perempuan tepi Sungai Nil”.
Sementara, nama aslinya ialah Aisyah bin Abdurrahman. Ia lahir pada 6 November 1913, di Dumyath, di daerah sebelah barat Sungai Nil. Karena itulah, ia memakai nama Bintusy Syathi. Ayahnya, Abdurrahman, adalah tokoh sufi dan guru teologi di Dimyath.
Saat kanak-kanak, Bintusy Syathi belajar mengaji kepada orang tuanya sendiri: membaca (mengaji) al-Qur’an dan keilmuan Islam dasar, seperti ilmu tauhid, fiqh, dan bahasa.
la konon sangat ingin belajar di madrasah di desanya, tetapi ayahnya tidak mengizinkannya ke luar rumah. Ia hanya boleh belajar di dalam rumah. Ayahnya berkata, “Anak perempuan ulama tak patut keluar rumah.”
Bintusy Syathi’ bersedih hati dan memberontak dengan mogok makan. Kakeknya merasakan kesedihan cucunya itu, dan berusaha membujuk putranya (Abdurrahman) agar mengizinkan Bintusy Syathi’ belajar di madrasah.
Abdurrahman akhirnya mengizinkan putrinya, tetapi dengan syarat hanya sampai usia baligh. Sesudah itu, sang putri tidak boleh keluar rumah, dan hanya belajar di rumah. Jika kelak ujian di madrasah, ia akan didaftarkan ikut ujian.
Bakat Bintusy Syathi’ sebagai perempuan ulama telah tampak sejak kanak-kanak. Ia hafal al-Qur’an pada usia tujuh tahun.
Saat musim ujian tiba, ia diikutkan, dan ternyata ia memperoleh nilai tinggi, mengungguli teman-temannya dalam semua mata pelajaran di madrasah itu.
Dan, prestasi ini ia capai sampai pada tingkat madrasah tsanawiyah (aliyah di Indonesia).
Meski Bintusy Syathi’ merasa bahwa didikan ayahnya sangatlah ketat, tetapi ia begitu mengagumi dan menghormatinya. Ia bercerita tentang ayahnya, “Kepada orang yang aku banggakan, ayah yang shalih, guru pembimbingku, pemimpin yang kusegani, Syekh Muhammad Abdurrahman al-Husaini.”
“Ia lah yang sangat menginginkanku belajar ilmu-ilmu Islam, dan selalu berpesan kepadaku agar tak pernah berhenti belajar. Ia lah yang selalu menuntunku ke jalan kehidupan yang jujur dan benar.” []