Aaliya dan Haikal adalah suami istri berbeda kebangsaan. Aaliya berkebangsaan Yordania dan Haikal putra Indonesia asli. Tahun 2007 mereka menikah. Satu hal yang berbeda dari pernikahan mereka dibanding pernikahan pada umumnya adalah adanya sarat-sarat tertulis yang diajukan Aaliya kepada Haikal agar terpenuhi selama perkawinan berlangsung.
Syarat itu adalah; diperlakukan dengan baik, tidak dipoligami dan paling tidak setiap 3 tahun sekali Haikal membiayai kepulangan Aaliya dan anak-anak mereka untuk menemui keluarganya di Yordania.
Sampai kini Haikal berusaha memenuhi janjinya. Setiap 2 tahun sekali Aaliya pulang kampung dengan dua orang anaknya; Haikal suami yang bertanggungjawab; demikian pujian Aaliya yang ditanggapi dengan tawadhu oleh Haikal, “Syukur Alhamdulillah, Allah selalu memberikan pertolongan dan kemudahan rezeki sehingga saya bisa memenuhi janji perkawinan yang kami persaksikan kepada-Nya.”
Banyak orang merasa tabu membuat perjanjian perkawinan karena seolah-olah calon suami istri satu sama lain kurang percaya. Padahal sebetulnya tidak demikian.
Perjanjian perkawinan adalah sesuatu yang bisa melindungi dan memperjelas hak dan kewajiban kedua belah pihak, baik selama perkawinan berlangsung maupun ketika perkawinan putus karena kematian atau perceraian.
Sebab tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi selama perkawinan berlangsung. Semua yang tampak indah di awal pernikahan bisa saja berubah. Pada saat inilah perjanjian perkawinan sangat membantu menyelesaikan masalah.
Pada dasarnya, perjanjian perkawinan sama dengan taklik talak. Jika dilanggar, salah satu pihak atau kedua belah pihak bisa meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan perceraian (talak atau gugat cerai) ke pengadilan. Hal ini diatur dalam kompilasi hukum Islam pasal 51:
“Pelanggaran atas perkawinan memberi hak kepada suami istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.”
Bedanya, perjanjian perkawinan bisa berubah sesuai dengan kehendak kedua belah pihak, sedangkan perjanjian taklik talak tidak dapat dicabut kembali. Perbedaan lainnya, isi perjanjian perkawinan bisa meliputi apa saja asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan, sedangkan taklik talak yang ada di buku nikah sudah baku seperti yang sudah tertera.
Selama ini banyak anggapan bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian tertulis tentang pemisahan harta. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Pemisahan harta hanya salah satu dari sekian banyak hal yang bisa diperjanjikan.
Seperti dalam perjanjian perkawinan Haikal dan Aaliya, mereka membuat perjanjian yang isinya lebih memberikan perlindungan kepada istri yang setelah menikah tinggal di Indonesia, jauh dari keluarganya di Yordania.
Belajar dari pengalaman perkawinan antar negara yang seringkali membuat para suami lupa atau sayang mengeluarkan uang untuk memfasilitasi silaturrahim istrinya dengan keluarganya, pihak keluarga Aaliya melindungi anak dengan perjanjian perkawinan. Demikian pula Aliya yang merasa dirinya akan jauh dari keluarganya, dia minta perlakuan baik dan tidak dimadu menjadi syarat tertulis yang harus dipenuhi Haikal.
Alhasil, perjanjian perkawinan telah membuat keluarga besar Aaliya dan Haikal sendiri merasa ridho dan nyaman meskipun memasuki gerbang pernikahan. Pada saat yang sama Haikal yang bawa pergi Aaliya jauh dari pandangan mata keluarganya punya tanggung jawab yang besar untuk tidak dengan mudah berbuat sekehendak hatinya.
Pandangan Islam dan Hukum Positif
Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang harus dipegang Teguh. Allah SWT dalam Al-Quran surat al-Maidah /5:1 berfirman:
يااْيها الدْين اْمنوا اْوفوا بالعقود
“Hai orang-orang beriman penuhilah janji janjimu”
Bahkan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Uqbah bin Amir ra. Dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اْحق الشروط اْن تو فوا به ما استحللتم به الفروج
“Sesungguhnya perjanjian yang paling wajib ditunaikan adalah perjanjian yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kalian perjanjian perkawinan.”
Semua hal yang membawa kebaikan dalam keluarga khususnya yang berorientasi pada kemaslahatan istri yang diperjanjikan. Mengapa istri? karena biasanya para istri lah yang lebih rentan terhadap pelanggaran hak dalam keluarga. Dalam kitab-kitab fiqh, contoh-contoh isi perjanjian perkawinan hampir seluruhnya mengarah pada kemaslahatan istri.
Misalnya, suami harus memenuhi nafkah standar, tidak mengusir istri dari rumah tinggal mereka apapun alasannya, tidak melarang istri melakukan aktivitas positif, tidak melarang istri berhubungan dengan keluarga dan teman-temannya, dan sebagainya. Ini tidak aneh, karena filosofi perjanjian pernikahan itu sendiri pada hakekatnya adalah untuk memberi manfaat dan perlindungan kepada istri.
Contoh isi perjanjian perkawinan antara lain suami harus memenuhi nafkah standar, tidak mengusir istri dari rumah tinggal mereka apapun alasannya, tidak melarang istri melakukan aktivitas produktif tidak melarang istri berhubungan dan keluarga dan teman-temannya dan sebagainya.
Filosofi itu pula membuat sebagian fuqaha berpandangan bahwa tidak bersedia dimadu bisa dan boleh menjadi isi perjanjian perkawinan yang wajib dipenuhi suami, karena manfaat hal ini kembali ke istri.
Di antara sahabat Nabi dan fuqaha yang berpendapat demikian adalah Khalifah Umar bin Khatab Sayyidina bin Abi Waqqash, Amru bin ‘Ash, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Thawus, al Awza’i, Ishaq dan sebagian ulama mazhab Hambali. Pendapat ini semakin hari semakin banyak diikuti karena kemaslahatannya semakin dirasakan.
Syarat ini tidak mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, karena pada dasarnya perempuan diberikan pilihan untuk poligami atau monogami. Ketika perempuan sudah memilih dan menjadikannya sebagai sarat dan janji perkawinan, maka laki-laki yang menjadi suaminya terikat dengan janji itu.
Karena poligami adalah pilihan, maka tidak bersedia bukan berarti mengharamkan yang dihalalkan Allah, sehingga syarat tidak mau dipoligami tidak bertentangan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan at-Tirmidzi, bahwa beliau bersabda:
والمسلمون على شروطهم الاشرطا حرم حللا اْو حراما
“Orang muslim terikat dengan syarat yang mereka buat kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”.
Dengan mengadopsi fiqh Islam yang sudah berkembang sejak zaman sahabat Nabi, perjanjian perkawinan ditetapkan dalam hukum positif Indonesia. Pasal 29 (UU perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974) memberikan peluang yang luas untuk melakukan perjanjian perkawinan meliputi apa saja sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan.
Prosedurnya, perjanjian perkawinan didaftarkan kepada dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan yakni KUA bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-muslim. Pasal 29 UU perkawinan ini dijelaskan secara lebih rinci dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 45 sampai 52.
Hanya saja KHI lebih banyak mengatur masalah percampuran dan pemisahan harta perkawinan, yang intinya pemisahan atau pencampuran harta pencarian masing-masing tanpa menghilangkan kewajiban suami memberi nafkah keluarga (pasal 47 ayat 2, pasal 48 ayat 1) sementara hal-hal lain belum merinci.
Hal ini bisa dimaklumi mengingat KHI yang disahkan melalui Inpres nomor 1 tahun 1991 itu sendiri tidak bersifat final melainkan dinamis dan terus bisa dikembangkan seirama dengan penuntutan problematik yang kian kompleks.
Boleh Diakhiri
Bisa jadi, sebuah perkawinan yang sudah berjalan puluhan tahun membuat suami istri merasa tidak perlu lagi terikat oleh perjanjian perkawinan yang mereka buat dulu pada saat menjelang atau sedang akad nikah.
Tidak mengapa, perjanjian perkawinan bisa diakhiri dengan persetujuan bersama. Seperti halnya ketika dibuat, pencabutan ini juga bisa didaftarkan ke KUA tempat perkawinan dilangsungkan. Setelah pendaftaran ini, pencabutan mengikat kepada suami istri.
Tampak jelas bahwa perjanjian perkawinan bukan hal yang tabu, menyeramkan dan menyulitkan sebagaimana dibayangkan sebagian orang. Sebaiknya ia bisa menjadi alat proteksi hak yang cukup efektif khususnya bagi istri selama diperlukan dan bisa diakhiri jika diperlukan pula.
Sudah saatnya perjanjian perkawinan dilihat secara wajar dan proposional sebagai salah satu ikhtiar mewujudkan keluarga sakinah di mana masing-masing pihak punya hak yang terjaga dan kewajiban yang tertunaikan. Semoga. []
*) Tulisan yang sama pernah dimuat di Majalah Noor