Mubadalah.id – Bersyukurlah kita yang hidup di zaman yang serba canggih, beragam informasi selalu update yang bisa kita akses kapan pun dan di mana pun. Kita juga sering mendengar kabar yang belum tentu semuanya benar apalagi hoax. Prasangka adalah dugaan terhadap sesuatu yang tidak berdasarkan fakta dan cenderung menyamakan semua hal.
Seksisme pada perempuan adalah sebagai bentuk dari prasangka menganggap bahwa satu jenis kelamin lebih unggul daripada jenis kelamin lainnya. Perempuan lah yang sering menjadi objek seksisme yang pelakunya bukan hanya laki-laki saja, tetapi bisa jadi juga sesama perempuan.
Misalnya dalam sebuah struktur organisasi atau panitia kegiatan. Di mana sering kita temui laki-laki sebagai ketua, perempuan sebagai sekretaris atau seksi konsumsi. Hal yang menjadi masalah adalah ketika perempuan kita kesampingkan hanya karena gendernya. Tidak kita dengar usulannya dan tidak melihat bagaimana kemampuan perempuan itu sendiri.
Sejak proses sosialisasi gender tertanamkan dari kecil hingga dewasa, secara sadar maupun tidak, kita terus dihadapkan pada seksisme pada perempuan yang tak terhitung jumlahnya dan menganggap itu wajar. Seksisme dapat kita temui dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya anggapan rendah terhadap perempuan kepala keluarga, atau kesenjangan gender di tempat kerja khususnya perihal perbedaan upah.
Laki-laki dan perempuan diatur oleh budaya masyarakat tentang bagaimana mereka seharusnya bertindak sesuai dengan pengaturan-pengaturan sosial yang terus menerus tertanamkan, dan terbiasakan hingga menjadi sesuatu yang baku.
Seksisme dalam Sejarah
Perempuan adalah kaum yang kurang kita kenal dalam sejarah. Hal ini karena budaya patriarki yang dijunjung oleh para penulis sejarah sehingga kontribusi perempuan terlupakan dari peradaban. Kita lebih mengenal para tokoh atau ilmuwan laki-laki daripada perempuan. Di balik perjuangan dakwah Sunan Ampel, ada peran besar Nyai Ageng Manila yang berkontribusi menyebarkan ajaran Islam dengan ramah di masyarakat.
Kejayaan Ratu Sima di Kerajaan Kalingga, Ratu Gayatri di Kerajaan Majapahit. Pada abad XIX gerakan kaum perempuan di Indonesia fokus pada tuntutan persamaan hak pendidikan sebab perempuan terkekang oleh budaya yang tidak membolehkan mengenyam pendidikan yang tinggi seperti kaum laki-laki.
Perempuan diharuskan mematuhi suami dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Perempuan sebagai the second sex tercermin dalam ungkapan-ungkapan yang lebih mengutamakan laki-laki. Ungkapan suwargo nunut neroko katut, yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan istri hanya tergantung pada suami. Sehingga peran perempuan dianggap kurang atau tidak penting dalam kehidupan.
Selain melalui pendidikan formal, figur-figur perempuan perlu kita kenang dalam sejarah tertulis. Yakni melalui pencatutan nama di ruang publik, contohnya nama jalan, nama gedung, dan fasilitas lain.
Seksisme dalam Filsafat
Para filsuf pada zaman dahulu menempatkan perempuan sebagai posisi yang inferior daripada laki-laki. Jean Jacques Rousseau seorang filsuf, penulis, dan komposer abad pencerahan, berpikir bahwa fungsi perempuan adalah sebagai kegunaan dan alat penyenang bagi laki-laki.
Pemikiran filosofi Rousseau ini mempengaruhi pandangan politik Napoleon Bonaparte. Plato, filsuf terkenal, merasa bersyukur kepada Tuhan bahwa dia terlahirkan sebagai laki-laki. Khususnya karena dia menganggap perempuan lebih lemah dari laki-laki.
Dia mengatakan “Aku bersyukur kepada Tuhan karena aku dilahirkan sebagai orang Yunani, bukan sebagai orang lain, karena aku lahir ke dunia ini sebagai orang merdeka, bukan sebagai budak, dan karena aku dilahirkan sebagai laki-laki dan bukan sebagai perempuan.”
Seksisme dalam Media
Perilaku victim-blaming (menyalahkan korban) yang terjadi di masyarakat memiliki faktor yang beragam. Yaitu kurangnya empati, tidak adanya kesadaran dan edukasi dalam memandang perempuan korban kekerasan. Adanya budaya victim-blaming dalam media penyebabnya karena bias gender pada praktik jurnalistik. Misalnya memberitakan penyebab kekerasan adalah karena penampilan korban, atau menyajikan berita hanya versi pelaku saja.
Penggunaan bahasa yang menyudutkan pihak korban akan menggiring pembaca untuk menerima anggapan yang terbentuk oleh media, sehingga semakin membebankan korban. Selain itu seksisme juga kita temui dalam iklan produk yang menampilkan standar kecantikan, tanggung jawab perempuan terhadap pengasuhan keluarga seperti produk perawatan anak dan lansia, kebutuhan rumah tangga dan lainnya.
Media kita harapkan dapat lebih sadar gender, menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama-sama terhormat untuk kesetaraan dan keadilan.
Seksisme dalam Agama
Stereotipe gender membentuk representasi bahwa laki-laki tidak boleh menangis, harus kuat, macho, tegas, pemberani, egois, maskulin, rasional dan sebagainya. Perempuan kita citrakan sebagai makhluk yang lemah, emosional, penakut, cerewet, feminim, dan memiliki rasa ketergantungan pada laki-laki.
Pelabelan tersebut melahirkan konsep dan citra diri laki-laki dan perempuan yang seolah-olah telah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Pemahaman tentang laki-laki dan perempuan tersebut berdasarkan pada penafsiran yang bias/memihak dalam memahami teks suci sehingga menjadi sebuah keyakinan.
Pemaknaan teks ayat Al-Quran dan hadis pun harus kita tafsirkan secara kontekstual dengan melihat sebab-sebab atau latar belakang historis teks tersebut. Selain itu membandingkannya dengan kondisi terkini. Misalnya, hadis bahwa istri saliha adalah kita pandang menyenangkan, menghormati suaminya, melayani suami saat di rumah, merias diri hanya untuk suami.
Hadis tersebut harus berlaku bagi kedua belah pihak, yaitu suami dan istri. Keduanya harus saling menghormati, menyayangi dan saling menjaga kehormatan satu sama lain. Konsep ini kita namakan mubadalah.
Seksisme pada dasarnya bertujuan mendominasi pihak tertentu, terlebih kuasa laki-laki terhadap perempuan. Mewujudkan kesetaraan berarti menyamakan hak dan posisi laki-laki serta perempuan, sedangkan keadilan muncul sebagai upaya menghilangkan hambatan dan diskriminasi yang ada.
Bukan mudah memang untuk menghentikan seksisme, namun itu dapat kita mulai dengan pembiasaan memuliakan sesama (kesadaran gender) dari diri sendiri, orang terdekat hingga yang lebih luas yaitu masyarakat. Sebagaimana cara Rasul berdakwah. Yaitu dengan perilaku yang baik, dan menghormati orang lain. []