• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Tokoh

Kemakmuran Kalingga pada Masa Pemerintahan Ratu Shima

Faktor penentu suksesnya sebuah kepemimpinan bukan pada jenis kelamin, melainkan pada seberapa kompeten seorang pemimpin menjalankan tugasnya

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
26/01/2022
in Publik
0
Ratu Shima

Ratu Shima

362
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perempuan pemimpin (atau perempuan yang menjadi raja) bukanlah sesuatu yang asing dalam sejarah peradaban Nusantara. Sejak dulu, telah banyak perempuan Nusantara yang menjadi kepala negara. Ya, meski harus diakui juga bahwa jumlahnya tidak sebanyak laki-laki dan kajian seputar kiprah perempuan pemimpin juga belum terlalu ramai.

Naila Farha dalam artikel berjudul Suksesi dalam Babad Jaka Tingkir, menjelaskan kalau sejak masa Nusantara Kuno yang menjadi raja dalam struktur peradaban Nusantara tidak harus laki-laki seperti yang banyak dijumpai, melainkan ada juga perempuan. Satu dari banyaknya perempuan Nusantara yang tercatat menjadi raja adalah Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga.

Salah satu kabar yang menerangkan Ratu Shima sebagai Raja Kalingga adalah catatan Tiongkok, yang sering digunakan sejarawan untuk memberi keterdukungan data masuknya Islam di Nusantara dibawa oleh para pedagang muslim Arab pada abad 7 M. Hal ini berdasarkan penjelasan Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Dari Perbendaharaan Lama.

Buya Hamka, berdasarkan catatan Tiongkok, menjelaskan bahwa sekitar tahun 674 atau 675 Masehi para Ta-Cheh (pengembara Arab) tiba di Holing, yang waktu itu dipimpin oleh seorang perempuan bernama Si-mo. Negeri Holing yang dimaksud adalah Kerajaan Kalingga, yang pernah eksis di Pulau Jawa–kemungkinan bekas pusat Kalingga saat ini adalah Pekalongan atau Keling Jepara, Jawa Tengah–dan Si-mo adalah Ratu Shima.

Dalam artikel berjudul Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga (674-695 M), Yuda Prinada menjelaskan kalau Ratu Shima merupakan anak seorang pemuka agama Hindu Syiwa yang lahir pada 611 M di Sumatera bagian selatan, kemudian pindah ke Jepara sebab menikah dengan pangeran dari Kalingga, yaitu Kartikeyasinga. Sekitar tahun 648 M, Kartikeyasinga menjadi Raja Kalingga hingga wafat pada tahun 674 M. Ratu Shima kemudian naik tahta menggantikan suaminya. Dia memimpin selama 21 tahun. Dan, pada tahun 695 M, Ratu Shima mangkat.

Baca Juga:

Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

Dari Indonesia-sentris, Tone Positif, hingga Bisentris Histori dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Peminggiran Sejarah Perempuan

Pearl Eclipse: Potret Keberanian Perempuan Dalam Bela Negara

Kalingga termasuk kerajaan di Nusantara dengan corak Hindu-Buddha. Buya Hamka menjelaskan bahwa agama yang dipeluk di Kalingga adalah Buddha. Hal ini juga sebagaimana dijelaskan Risa Herdahita Putri dalam artikel Ratu Sima dalam Catatan Tiongkok, sebagaimana dia memberikan contoh bahwa ada biksu dari Tiongkok bernama I-Tsing, yang pernah bermukim di Sumatera (Sriwijaya) pada pertengahan abad 7 M, menyebutkan keberadaan Kerajaan Holing (Kalingga). Biksu itu mencatat kalau Kalingga menjadi pusat pendidikan agama Buddha Hinayana.

Pada masa pemerintahan Ratu Shima, sang ratu dengan sifat tolerannya mengayomi setiap pemeluk agama yang berada di wilayahnya. Sehingga, tidak heran jika pedagang Cina dan juga sudah ada pengembara Arab (muslim) yang mendatangi Kalingga, sebab meski berbeda kepercayaan dengan penguasa kala itu namun mereka mendapatkan keamanan. Hal itu tentu membuat perniagaan di Kalingga menjadi semakin ramai.

Ratu Shima merupakan seorang raja yang sangat menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Dia tidak segan-segan menghukum Putra Mahkota Kalingga tatkala anaknya itu melakukan kesalahan menendang kantong emas di jalan yang bukan miliknya. Sang ratu tegas menegakkan dan mengajarkan kejujuran bagi rakyatnya. Siapa pun yang menyentuh sesuatu barang yang bukan haknya, maka akan dihukum, sekalipun itu Pangeran Kalingga.

Hukum dan keadilan menjadi pilar kepemimpinannya. Dalam penegakan hukum, dia layaknya singa (simo). Namun, tatkala bicara kesejahteraan bagi rakyat, sang ratu adalah pemimpin yang adil dan mencintai rakyat, sehingga mampu membawa Kalingga dalam kemakmuran dan dicintai oleh rakyatnya.

Dalam catatan Tiongkok yang dikutip Buya Hamka, dijelaskan bahwa Kalingga pada masa pemerintahan Ratu Shima merupakan negeri yang amat makmur. Sebuah kerajaan yang kaya. Singgasana sang ratu terbuat dari emas. Bahkan, sekadar keris dan pedang kerajaan juga berlapis emas.

Saking makmurnya, tatkala para Ta-Cheh (pengembara Arab), yang sangat kagum melihat kemakmuran Kalingga di bawah pemerintahan Ratu Shima, sengaja mencecerkan sekantung emas di tengah jalan untuk melihat apakah ada yang akan mengambilnya, dan ternyata tidak ada yang tertarik. Hingga akhirnya, kantong emas itu disepak oleh anak Ratu Shima, dan sang ratu dengan tegas menghukum pangeran karena telah menyentuh barang yang bukan miliknya.

Emas di Kalingga pada masa pemerintahan Ratu Shima hanya bagaikan uang logam seratus rupiah yang tergeletak di jalan. Tidak ada yang tertarik untuk mengambilnya. Hal tersebut karena tingkat kemakmuran dan kejujuran masyarakat Kalingga yang tinggi pada masa pemerintahan sang ratu.

Ufi Saraswati dalam artikel berjudul Kuasa Perempuan dalam Sejarah Indonesia Kuno, menjelaskan menjelaskan bahwa masa Ratu Shima menunjukkan jika perempuan menjadi pemimpin tidak serta merta berarti mendorong negara (kerajaan) pada kemunduran apalagi kegagalan. Pada kasus Ratu Shima, Kalingga berada pada masa kemakmuran di eranya, dan justru–sebagaimana dijelaskan Yuda Prinada dalam artikel Sumber Sejarah Kerajaan Kalingga: Letak, Pendiri, dan Masa Kejayaan–pasca mangkatnya Ratu Shima, Kalingga mulai mengalami kemunduran hingga akhirnya runtuh pada 752 M.

Faktor penentu suksesnya sebuah kepemimpinan bukan pada jenis kelamin, melainkan pada seberapa kompeten seorang pemimpin menjalankan tugasnya. Dalam kasus Ratu Shima, meski dia adalah perempuan, namun sebab memiliki kompetensi sebagai pemimpin: tegas dan menjunjung tinggi hukum, serta adil dan mencintai rakyat, sehingga mampu membawa Kalingga pada kemakmuran. []

Tags: pemimpin perempuanperempuan juga bisa jadi pemimpinPerempuan Nusantaraperempuan pemimpinSejarah NusantaraSejarah Perempuan
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Patung Molly Malone

Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID