Mubadalah.id – Tiga hari yang lalu salah satu kontributor Mubadalah.id Muhaimin Yasin menuliskan kegelisahannya terkait kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Kebijakan tersebut yaitu mengirimkan anak “nakal” ke barak militer.
Dia menuliskan, apakah benar militerisasi adalah cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan kenakalan remaja? Atau justru ini menunjukkan kemiskinan imajinasi kebijakan publik dalam menangani masalah anak?
Menghimpun dari pemberitaan di media, sejumlah orang tua dan wali murid di Bandung, Jawa Barat memilih mengirimkan anaknya ke barak militer. Salah satu alasannya untuk mendisiplinkan anak-anak yang mereka anggap bermasalah.
Atas persetujuan orang tua dan wali, para siswa kini mengikuti pendidikan di barak militer Rindam III/Siliwangi, Jawa Barat. Kebijakan ini digagas oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Lewat akun YouTube pribadinya, Dedi berbincang dengan keluarga para siswa yang kini ditempatkan di barak militer. Para siswa ini ia sebut sebagai anak-anak yang sudah sulit tertangani oleh orang tua maupun guru di sekolah.
Melindungi Anak dari Kekerasan dalam Pendidikan
Melalui kebijakan mengirim anak ke barak militer ini, ada dua persoalan yang mengemuka di antara orang-orang yang menerima maupun menolak. Satu sisi melihat dari bagaimana upaya mendisiplinkan anak agar tak lagi bermasalah. Di sisi lain ada perlindungan dan hak anak yang juga harus kita pertimbangkan dengan matang.
Usia anak adalah adalah masa tumbuh kembang untuk menjadi manusia dewasa yang utuh dan bertanggung jawab. Dalam masa ini, kemaslahatan anak menjadi prioritas. Oleh karena itu perspektif kasih sayang menjadi landasan utama dalam semua fase pendidikan anak yang sedang bertumbuh kembang menjadi manusia dewasa.
Dalam buku Fikih Hak Anak: Menimbang Pandangan Al-Qur’an, Hadis dan Konvensi Internasonal untuk Perbaikan Hak-hak Anak menyebutkan bahwa para ulama memandang pendidikan menjadi hak anak dan tanggung jawab orang tua.
Meski bisa saja tanggung jawab ini kita limpahkan pada wali dari keluarga, orang yang kita tunjuk atau para pendidikan seperti guru di sekolah, dan barak militer Rindam III/Siliwangi.
Tentang Hadis
Dalam konteks tangung jawab pendidikan di pundak orang tua, wali atau pendidik beberapa penulis menyinggung teks hadis yang sering dikutip untuk membolehkan pemukulan anak. Yaitu pernyataan Nabi Saw;
“Perintahkan anak-anak kalian untuk salat pada saat berusia 7 tahun. Pukullah mereka, karena (meninggalkan) nya pada saat sudah berusia sepuluh tahun, juga pisahkan ranjang mereka (pada usia sepuluh tersebut).” (Sunan Abiy Dawid, 495, dan Musnad Ahmad, 6803).
Sementara dalam versi lain Sunan al Baihaqi tidak menggunakan kata “pukullah”, melainkan didiklah. Yaitu “Ajarkan anak-anak kalian tentang salat mulai usia tujuh tahun. Didiklah mereka tentangnya pada saat usia sepuluh tahun, dan pisahkan ranjang mereka (pada saat usia sepuluh tersebut.)
Di kalangan ulama fikih, versi pertama dari hadis dengan kata “Pukullah” (Idzribu), jauh lebih populer, dominan dan mennetukan makna hadis pada versi kedua yang menggunakan kata “didiklah” (addibu).
Bahkan kata “Ta’dib” sendiri yang secara bahasa artinya adalah pendidikan. Di kalangan ulama fikih dipahami sebagai hukuman terhadap anak oleh orang tua, wali atau pendidiknya ketika tidak mematuhi perintah-perintah tertentu seperti salat, puasa dan lain sebagainya.
Memukul, atau dalam konteks hari ini adalah mengirimkan anak ke barak militer adalah salah satu bentuk hukuman yang sering terkonsepsikan dalam fikih sebafai ta’zir dan ta’dib.
Perlindungan Manusia agar Tidak Menjadi Pelaku Kezaliman
Dalam berbagai berita, semua kejahatan yang orang dewasa lakukan, hari juga dilakukan oleh anak-anak di bawah umur. Mulai dari kasus pencurian, pencabulan, pelecehan seksual, bahkan memperkosa dan membunuh. Bahkan di Indramayu marak terjadi balapan liar, tawuran antar anak sekolah dan geng motor, yang tarafnya sudah sangat meresahkan masyarakat.
Maka dengan melihat secara konteks mendidik, bagaimana agar anak-anak tidak menjadi pelaku kejahatan, atau mengulangi perbuatan kriminal, sehingga sanksi tegas itu perlu kita berlakukan. Islam sebagaimana penegasan melalui hadis Nabi Saw, tidak hanya menganjurkan perlindungan manusia agar tidak menjadi korban kezaliman, tetapi juga terlindungi agar tidak menjadi pelaku.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Mu’tamir dari Humaid dari Anas radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim (aniaya) dan yang dizhalimi.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, jelas kami faham menolong orang yang dizhalimi tapi bagaimana kami harus menolong orang yang berbuat zhalim?” Beliau bersabda: “Pegang tangannya (agar tidak berbuat zhalim).” (Shahih Bukhari 2264).
Pada konteks perlindungan seorang anak dan kemungkinan menjadi pelaku kejahatan, atau mengulangi kejahatan yang dilakukannya, teks hadis pemukulan anak di atas bisa kita rujuk. Setelah itu kita maknai ulang secara lebih relevan dan kontekstual.
Saran dari Pakar Parenting
Sementara itu, Evy Ghozali seorang pakar parenting dan penulis buku “Mendidik dengan Cinta” dalam laman akun Facebooknya menuliskan saran pada Gubernur Jawa Barat ketika mengirimkan anak ke barak militer.
Pertama, buat kriteria ‘kenakalan’ yang wajib masuk barak militer. Jangan asal anak kita katakan ‘nakal’ otomatis blung masuk. Ada instrumen dan alat ukur yang jelas. Kedua, kerja sama dengan sekolah untuk mendata anak-anak yang ‘bermasalah’, jenis masalah, termasuk apa saja upaya yang sudah dilakukan orang tua dan sekolah.
Ketiga, ada batasan waktu dan target lulusan barak militer. Info yang terbaca di sosmed ada yang tiga bulan tapi ada juga yang hanya beberapa hari. Jadi harus ada kurikulum yang jelas.
Keempat, orang tua dan sekolah kita siapkan untuk menerima kembali murid agar hasil latihan berdampak dan tidak kembali ambyar. Bisa dengan program smart parenting dan pelatihan pengasuhan. Sepertinya asik juga kalau lulusan barak kita ajak menjadi peer educator. Menjadi agen perubahan untuk teman-teman sebaya.
Kelima, ada psycholog, guru bimbingan konseling dan ustadz yang mendampingi selama proses maupun pasca sekolah di barak militer. Karena tentu, ada kebutuhan lain dalam sisi kejiwaan dan ruhiyah anak.
Keenam, beri nama program ini dengan yang sesuai, misal pelatihan kepemimpinan atau apa gitu. Keren kan? Nanti, pengurus OSIS juga bisa ikut terlibat. Jadi, lulusan program ini akan terkesan ‘istimewa’, bukan kita pandang hasil hukuman semata.
Orang Tua dan Keluarga tidak Lepas Tanggung Jawab
Umi, begitu Evy Ghozali beliau akrab kita sapa menambahkan, mengapa dia yang biasa kampanye mendidik dengan cinta kok setuju dengan pendidikan ala militer? Beliau mengatakan bahwa cinta tidak harus selalu kita ungkapkan dengan lemah lembut. Bisa dengan ketegasan seperti ini. Pendidikan ala militer juga, tidak membuang cinta. Justru lewat cara ini, Umi Evy berharap semoga hati anak-anak dapat tersentuh. Bismillah. Laa quwwata illa billah.
Meski saya bukan pengagum Gubernur Jawa Barat yang terkenal dengan sebutan KDM, alias Kang Dedi Mulyadi, saya juga berharap sebagaimana Umi Evy. Kebijakan mengirim anak ke barak militer ini bisa berjalan efektif. Lalu orang tua serta keluarga tidak lepas tanggung jawab begitu saja. Selain itu tetap memperhatikan perlindungan anak yang mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. []