Beberapa hari terakhir ini karena kebutuhan sebuah penelitian, saya mengunjungi situs direktori putusan Mahkamah Agung yang memuat semua jenis putusan pengadilan di berbagai penjuru negeri. Dalam beberapa putusan perkara cerai yang saya cari, hampir memiliki problem awal yang sama sebagai penyebab terjadinya perceraian, yakni persoalan ekonomi.
Persoalan ekonomi tak jarang menjadi awal terjadinya pertengkaran rumah tangga yang berujung pada perceraian. Bahkan jika melihat di lingkungan sekitar saya, banyak perempuan yang memutuskan untuk bekerja di luar negeri menjadi buruh migran untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Namun sayangnya, tak jarang juga perceraian tak bisa dihindarkan karena beberapa alasan, salah satunya adalah karena perempuan merasa lelah bekerja, sedangkan pasangannya tidak melakukan apa-apa bahkan tidak bisa mengelola hasil kerjanya untuk kebutuhan keluarga. Beberapa kasus lain juga ditemukan bahwa pasangannya menikah lagi di luar sepengetahuan istrinya yang sedang bekerja, hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan biologisnya.
Dari beberapa kasus yang saya temukan, ada timbul pertanyaan besar “Apakah menikah itu hanya soal nafkah dan seks saja?” sehingga jika keduanya tidak tercukupi secara lahir pernikahan sudah tidak bermakna lagi. Jika menengok kembali makna pernikahan secara definitif, Ulama Hanafiyah memaknainya sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Adapun Ulama Syafi’iyyah mengartikannya sebagai suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan arti memiliki wati.
Dari pengertian nikah dalam bahasan fiqih, memang benar menikah adalah jalan untuk menghalalkan hubungan seksual, dan sebagai gantinya laki-laki berkewajiban memberikan nafkah kepada perempuannya. Tetapi dalam dimensi yang lain, makna pernikahan tak cukup sampai situ saja.
Pernikahan merupakan ikatan dua insan bukan secara lahiriah saja tetapi dua jiwa manusia dalam dimensi spiritual. Pesan ini selalu disampaikan oleh Founder Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam), Ibu Nur Rofi’ah Bil Uzm dalam materinya. Menurutnya, jika manusia masih dianggap sebagai makhluk fisik, maka laki-laki hanya akan dilihat sebagai makhluk ekonomi dan perempuan sebagai makhluk seksual.
Ikatan dua pasangan dalam pernikahan jika hanya dinilai sebagai makhluk fisik, maka laki-laki kehilangan nilainya jika tidak mampu memberi nafkah dan mencukupi kebutuhan perekonomian rumah tangga. Begitupun sebaliknya, perempuan akan kehilangan nilainya jika sudah dianggap tidak mampu memuaskan hasrat seksual pasangannya. Maka dalam tahap pemahaman ini, tak jarang perceraian terjadi hanya karena urusan nafkah dan seksual saja.
Dalam kondisi tersebut, mengingat kembali tujuan pernikahan sangat diperlukan sebagai penguat pondasi rumah tangga. Jika merujuk surat Q.S ar-Rum ayat 21, secara umum menikah bertujuan untuk memperoleh ketentraman (sakinah) dan kenyamanan untuk memadu kasih (mawaddah wa rahmah).
Dalam sebuah hadist juga disebutkan bahwa tujuan ketentraman bisa terkait dengan hal biologis (jamal), ekonomi (mal), sosial (hasab), keluarga (nasab), dan bisa moral-spiritual (din). Empat hal yang pertama memang lumrah dijadikan sebagai tujuan pernikahan bagi setiap orang. Namun seiring berjalannya waktu, diperlukan ikatan penguat yang lebih fundamental yang bersifat komitmen, moral, dan spiritual (din) yang mengejawantah dalam perilaku dan akhlak mulia.
Ikatan penguat tersebut diharapkan agar tali pernikahan dan komitmen berumah tangga tetap kokoh sekalipun timbul tenggelam pada empat hal pertama yang bersifat lahiriah. Aspek biologis, harta, keluarga, dan kedudukan sosial memang diperlukan dalam pernikahan untuk mencapai ketentraman dalam berumah tangga. Namun jika tidak ditopang oleh komitmen moral spiritual, tujuan lahiriah tersebut akan mudah rapuh.
Maka dalam buku Qira’ah Mubaadalah (hlm 324), Pak Faqihuddih Abdul Qadir menuliskan tujuan pernikahan akan lebih kokoh lagi jika dikaitkan dengan motivasi hidup dalam Islam, yaitu mencapai keridhaan Allah swt. Suami istri harus memandang pasangannya sebagai makhluk spiritual yang saling bekerjasama untuk menjalani amanah Allah dalam pernikahan untuk menggapai kebaikan dan kemaslahatan keluarga. []