Mubadalah.id – Pembangunan di negeri ini masih sering menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap. Mereka ada di foto kegiatan, sibuk menggerakkan PKK, posyandu, hingga bank sampah, tetapi absen ketika kebijakan dirumuskan. Ironisnya, kondisi timpang ini kerap memperoleh legitimasi dari tafsir agama yang sempit.
Ayat Al-Qur’an yang menyinggung laki-laki sebagai qawwam dalam QS. an-Nisa: 34 sering terbaca seakan-akan Islam melarang perempuan memimpin. Padahal, tafsir ini kerap mengabaikan konteks sosial, spirit keadilan, dan prinsip kesalingan yang dibawa Al-Qur’an. Dari tafsir sempit itu, muncul keyakinan bahwa perempuan hanya pantas mendampingi, bukan memimpin.
Padahal Al-Qur’an sendiri penuh dengan narasi tafsir kesetaraan yang menguatkan kesalingan dan kerja sama. QS. at-Taubah: 71 menegaskan, “Orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.”
Ayat kesetaraan ini menunjukkan bahwa relasi laki-laki dan perempuan bukanlah subordinasi, melainkan kemitraan. Jika kemitraan ini dijalankan dalam keluarga, tentu juga harus berlaku dalam masyarakat dan pembangunan bangsa.
Teladan dalam Sejarah Islam
Jika kita menoleh ke sejarah, banyak teladan perempuan yang justru menjadi pemimpin. Khadijah RA adalah pengusaha tangguh yang menopang dakwah Nabi. Aisyah RA adalah guru umat, ulama yang meriwayatkan ribuan hadits sekaligus penggerak wacana di masanya. Dalam lintasan sejarah Islam, perempuan hadir sebagai qadhi, ulama, bahkan penguasa.
Artinya, kepemimpinan perempuan bukanlah hal yang asing dalam tradisi Islam. Yang terjadi justru sebaliknya: tafsir patriarkis di era modern lebih kuat menyingkirkan perempuan daripada tradisi klasik yang membuka ruang. Jika kepemimpinan kita pahami sebagai amanah, maka siapa pun yang berkapasitas—laki-laki maupun perempuan—berhak memegangnya.
Rasulullah SAW sendiri bersabda dalam hadits riwayat Muslim, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” Hadits ini jelas tidak membatasi kepemimpinan hanya pada laki-laki, tetapi menekankan amanah yang melekat pada setiap manusia sesuai kapasitasnya.
Dari Politik ke Pembangunan
Pandangan sempit ini lalu merembes ke dunia politik dan pembangunan. Indonesia memiliki aturan kuota 30 persen caleg perempuan sejak 2003. Namun, kuota ini bersifat administratif, bukan jaminan kursi. Hasil Pemilu 2024 menegaskan: dari 580 kursi DPR, hanya 127 terisi perempuan, atau sekitar 22,1 persen. Angka ini masih jauh dari target.
Ketimpangan lebih terasa di tingkat desa. Hanya sekitar 5–6 persen kepala desa di seluruh Indonesia adalah perempuan. Padahal, di lapangan, mayoritas guru PAUD, kader posyandu, hingga penggerak ketahanan pangan adalah perempuan. Mereka menjaga pendidikan anak, kesehatan keluarga, hingga dapur desa, tetapi hampir tidak pernah ikut menentukan arah kebijakan dana desa.
Di bidang pendidikan, data Kemendikbudristek mencatat lebih dari 70 persen guru adalah perempuan. Di tingkat TK dan PAUD, guru laki-laki bahkan tak sampai 2 persen. Namun, ketika kebijakan pendidikan dirumuskan, suara mereka tetap tenggelam. Di bidang kesehatan, situasinya sama. Kader posyandu hampir semuanya perempuan, tetapi posisi kepala puskesmas, perumus program, dan pembuat anggaran mayoritas laki-laki.
Fenomena ini menunjukkan paradoks: pembangunan dijalankan dengan tenaga perempuan, tetapi diarahkan tanpa perempuan. Padahal, jika prinsip Islam tentang musyawarah (syura) benar-benar kita jalankan, maka keterlibatan perempuan menjadi keharusan. Musyawarah yang hanya berisi satu suara, satu pengalaman, dan satu sudut pandang tidak akan pernah menghasilkan kebijakan yang adil.
Kesalingan sebagai Jalan
Mubadalah menawarkan perspektif berbeda. Prinsip kesalingan mengingatkan bahwa setiap tafsir kesetaraan, termasuk ayat tentang qawwam, harus kita baca dengan semangat yang adil dan seimbang.
Jika laki-laki boleh memimpin karena kapasitasnya, maka perempuan pun boleh. Jika laki-laki dituntut untuk menanggung amanah kepemimpinan, maka perempuan pun punya hak dan kewajiban yang sama.
Dengan perspektif kesalingan, kita tidak lagi sibuk menanyakan boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin. Pertanyaan yang lebih penting adalah: bagaimana laki-laki dan perempuan bisa bersama-sama memimpin untuk mewujudkan keadilan?
Dalam Islam, tujuan utama syariat adalah menghadirkan maslahah (kebaikan) dan menolak mafsadah (kerusakan). Jika menutup ruang kepemimpinan bagi perempuan justru membawa ketidakadilan, maka itu bertentangan dengan maqashid syariah.
Bukan Pelengkap, Tapi Penentu
Kesetaraan dalam ayat dan pembangunan bukan sekadar idealisme, melainkan kebutuhan mendesak. Bappenas dalam RPJPN 2025–2045 menegaskan bahwa kesetaraan gender adalah salah satu pilar Indonesia Emas. UN Women bahkan mengingatkan: “No SDGs will be achieved without SDG 5.” Tanpa perempuan, pembangunan berkelanjutan mustahil tercapai.
Sudah saatnya kita menutup ruang bagi tafsir yang membelenggu dan praktik pembangunan yang menyingkirkan. Perempuan bukan pelengkap. Mereka adalah penentu. Demokrasi hanya akan kokoh bila perempuan hadir sejajar.
Pembangunan hanya akan berkelanjutan bila perempuan kita libatkan dari perencanaan hingga evaluasi. Dan agama hanya akan menjadi rahmat bila kita membaca ayat dengan semangat kesalingan, bukan patriarki. []