Mubadalah.id – Sejarah menyebutkan bahwa sunat perempuan merupakan bentuk tradisi yang sudah ada jauh sebelum Islam datang. Berabad-abad kemudian praktik ini menjadi tradisi masa lalu yang dipraktikkan oleh mayoritas Islam di dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut mempraktikkan tradisi ini.
Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa tradisi sunat perempuan merupakan bagian dari syariat karena termasuk dalam salah satu Millah Ibrahim (Ajaran Nabi Ibrahim). Keyakinan itu jugalah yang mendasari mayoritas muslim melakukan praktik sunat perempuan.
Pada dasarnya tidak ada satupun ayat yang al-Qur’an yang menyebutkan perintah tentang sunat baik bagi laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, frasa Millah Ibrahim seakan telah menjadi dasar rujukan yang dikaitkan-kaitkan dengan sunat perempuan.
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim sebagai (sosok) yang hanif dan tidak termasuk orang-orang musyrik.” (Q.S an-Nahl [16] : 123)
Analisis Terhadap Nash al-Qur’an Q.S. an-Nahl [16] : 123
Mayoritas ulama sepakat bahwa praktik sunat perempuan termasuk dalam tradisi masa lalu (atsar al-qadimah) yang telah berlangsung secara turun-temurun. Tak heran jika kemudian dalil-dalil yang digunakan untuk sunat perempuan tidak begitu kuat. Karena memang sudah ada sejak zaman mesir kuno dan bukan termasuk dalam tuntutan syari’at yang Nabi perintahkan.
Ibnu Hajar al-Asqalany dengan mengutip pendapat Ibnu Mundzir mengatakan bahwa ayat tentang perlunya mengikuti Millah Ibrahim sama sekali tidak berkaitan dengan sunat. Ayat tersebut berkaitan dengan tauhid dan haji. Karenanya sangat tidak relevan jika menganggap ayat tersebut mengandung perintah khitan.
Millah Ibrahim dalam ayat tersebut bermakna informatif. Kalimat itu mengandung makna bahwa syariat Nabi Muhammad juga merupakan syariat Nabi ibrahim berdasarkan wahyu dari Allah, bukan berdasarkan tradisi leluhur yang sumbernya masih kabur.
Jika pun frasa Millah Ibrahim salah satunya adalah perintah sunat, maka hal ini hanya berlaku bagi laki-laki. Karena dalam sejarah pun telah menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim sampai pada keturunannya memang disunat. Namun sunat yang di sini tidak pernah ada penjelasan mengenai sunat perempuan.
Dalam hal ini, ayat itu tidak mengandung perintah atau ketetapan hukum mengenai sunat. Ayat tersebut masuk dalam kategori ayat yang bersifat umum sehingga kurang tepat untuk menjadi dalil perintah sunat.
Imam al-Akbar Mahmud Syaltut mengatakan bahwa anggapan perintah sunat perempuan merupakan istidlal yang berlebihan (Israfun fi al-Istidlal) yang tidak sejalan dengan akal sehat. Karenanya sangat tidak tepat jika ayat tersebut menjadi rujukan dasar perintah sunat perempuan.
Dalam nash al-Qur’an perintah sunat perempuan jelas-jelas tidak ada baik secara tersurat (lughawi) maupun tersirat (ma’nawi). Namun ada hadits yang memang membahas tentang sunat perempuan. Hadits tersebut terbagi dalam dua kategori, yakni hadits yang bersifat umum dan hadits yang bersifat khusus.
Hadits-hadits Tentang Sunat Perempuan
Hadits yang bersifat umum terdapat dalam dua redaksi hadits berikut:
Hadits Riwayat Imam Muslim Nomor 377:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنْ سُفْيَانَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] dan [Amru an-Naqid] serta [Zuhair bin Harb] semuanya dari Abu Sufyan, bahwa Abu Bakar berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibnu Uyainah] dari [az-Zuhri] dari [Sa’id bin al-Musayyab] dari [Abu Hurairah] dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Fithrah itu ada lima, atau ada lima fithrah yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis.“
Hadits yang serupa datang dari Aisyah Ra.:
وَجَاءَ فِي حَدِيْثِ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: قَاَل رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَة وَالسِّوَاكُ وَاِسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظَافِرِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَحَلْقُ اْلعَانَةِ وَاِنْتِقَاصُ الْمَاءِ. يَعْنِي الْاِسْتِنْجَاءُ. قَالَ: زَكَرِيَّا قَالََ مُصْعَبٌ: وَنَسِيْتُ الْعَاشِرَةِ… إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ الْمَضْمَضَةَ. (رواه الإمام أحمد وغيره).
“Dari Aisyah Ra, Rasulullah Saw, bersabda bahwa terdapat sepuluh perkara yang merupakan fitrah (sunnah) manusia: memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, memasukkan air ke hidung, memotong kuku, membasuh sendi-sendi, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, beristinja (kata perawi, yaitu Mush’ab bin Syaibah: aku lupa yang kesepuluh, kecuali yang aku ingat adalah berkumur).” (HR Ahmad).
Analisis Hadits Sunat Perempuan yang Bersifat Umum
Secara umum kedua hadis di atas menyebutkan tentang fitrah. Hadits pertama dari Abu hurairah menyebutkan tentang lima unsur fitrah dan kedua dari Aisyah Ra. terdapat sepuluh unsur fitrah. Hanya saja dalam hadits Aisyah tidak terdapat satu unsur, yakni khitan. hal tersebut menunjukkan bahwa Aisyah Ra. tidak mengkategorikan khitan sebagai salah satu fitrah.
Tentunya redaksi ini lebih kuat mengingat Aisyah Ra. adalah istri yang dalam kesehariannya mendengar dan menyaksikan laku lampah Rasulullah Saw. Selain itu hadits Abu Hurairah pun tidak cukup kuat sebagai dasar mewajibkan khitan/sunat. Hal ini karena hadits Abu Hurairah merupakan satu-satunya hadits yang membahas tentang fitrah khitan bagi manusia. Termasuk juga, terdapat ragam makna fitrah dalam konteks penafsiran.
Dalam buku Fiqh Khitan Perempuan, Lutfi Fathullah berpendapat bahwa fitrah memiliki tiga makna: Pertama, agama. hal ini bermaksud bahwa lima dan sepuluh unsur dalam hadits di atas merupakan bagian dari agama sehingga bisa saja mengandung hukum wajib untuk dilaksanakan.
Adapun implikasinya pada sunat, hukumnya menjadi wajib bagi laki-laki dan perempuan. Makna kedua berarti sunnah atau kebiasaan baik. Berarti lima dan sepuluh unsur dalam hadits merupakan kebiasaan baik sehingga hukumnya sunnah bagi laki-laki dan perempuan. Yang ketiga, fitrah bermakna asal mula. Hal ini berarti bahwa semua unsur dalam kedua hadits tersebut tidak bersifat mengikat sehingga tidak berimplikasi pada hukum apapun kecuali mubah.
Sunnah dan mubah seringkali berangkat dari kebiasaan nabi atau masyarakat yang diadopsi menjadi hukum. Oleh karenanya, hadits tentang fitrah tidaklah cukup kuat untuk dijadikan dasar hukum bagi pensyariatan sunat perempuan. []