Mubadalah.id – Masih tergurat dalam pikiran kita bersama, dalam gelanggang suasana keberagamaan kita di Tanah Air, ada dua fenomena penting yang baru-baru kemarin muncul dan menjadi isu publik. Fenomena yang kembali mengusik suasana silaturahmi keberagamaan kita di penghujung akhir tahun 2024.
Pertama, adalah soal Gus Miftah, sebagai seorang pemuka agama, yang “mengolok-olok” penjual Es Teh. Kedua, adalah soal penolakan penyelenggaraan Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di ruang publik yang dilakukan terutama dari kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan. Mereka terdiri dari FPI, Persada 212, Ormas Pagar Akidah (Gardah), dan beberapa kelompok kecil yang berafiliasi dengan mereka.
Dua fenomena tersebut, saya pikir memantik pikiran kita untuk, setidak-tidaknya, bertanya. Mengapa tindakan kurang bermoral dan perilaku intoleran muncul dari orang-orang yang notabene seorang pemeluk agama? Memangnya, seperti apa hubungan doktrin agama—yang mengajarkan nilai-nilai moral—dengan perilaku pemeluk agama itu sendiri?
Mari kita mulai mencoba memahami hubungan agama dengan moralitas para pemeluknya, sambil mengurai jawaban atas pertanyaan tersebut. Manusia, selain kita labeli sebagai homo sapiens, di sisi lain (ia) juga mengandung arti sebagai: makhluk beragama (homo religiosus).
Agama sebagai Kendaraan Spiritual
Dalam maksud tersebut, manusia menggunakan keberadaan agama sebagai “kendaraan spiritual”, yang dengannya, ia berharap akan mendapatkan pemahaman akan makna-makna kehidupan yang ia jalani. Di mana yang tak bisa ia dapatkan melalui “kendaran-kendaran ilmiah”.
Artinya, agama memang menjadi semacam kendaraan manusia untuk menyelami makna-makna kehidupan. Mengutip Karen Asmtrong, sebagaimana seni, agama adalah semacam usaha manusia untuk menemukan makna dan nilai kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasatnya.
Tentu saja, dalam tinjauan yang sangat filosofis-teologis, homo religiosus menegaskan fakta bahwa manusia merupakan makhluk yang tak dapat melepaskan diri dari entitas Yang Absolut, Yang Tak Hingga. Karena itu, agama merupakan cara tertentu, yang manusia tempuh untuk lebih memaksimalkan potensi hidupnya pada ihwal yang sifatnya spiritual—yang secara otomatis, bisa kita sebut pula, mengarah pada sifat-sifat moralitas.
Akan tetapi, doktrin religiusitas agama nyatanya tidak selalu berbanding lurus dengan moralitas para pemeluknya. Ada rentang faktor kompleks yang memunculkan ambiguitas perilaku, yang bersifat kontradiksi sekaligus kontraproduktif, dalam diri para pemeluk agama dengan nilai-nilai agama itu sendiri.
Dalam fenomena semacam itu, ketika kepercayaan dan perilaku orang yang beragama tidak selalu sesuai dengan doktrin keagamaan yang mereka anut, para ilmuwan agama menyebut telah terjadi: “ketidaktepatan teologis”.
Tantangan keberagamaan dalam bising intoleransi
Manusia memang tempatnya salah dan lupa. Wajarlah, bukan Nabi, Boy! (Padahal Nabi juga pernah salah dan lupa—red). Tapi, apakah manusia lalu menyadari dan menginsafinya?
Manusia, justru, seringkali menempatkan agama sebagai hanya sebuah simbol belaka, bahkan menjadi barang komoditi. Tidak sungguh-sungguh kita jadikan semacam regulasi pendidikan yang dapat menyublimasi kepribadian dirinya ke level individu yang lebih arif dan bijaksana.
Banyak perilaku-perilaku intoleransi yang muncul justru dari para pemeluk agama. Hal yang idealnya tidak terjadi. Tak jarang, agama malah diperjualbelikan secara politis.
Manusia, memang, cukup berani untuk menggadaikan nilai-nilai agama demi kepentingan-kepentingan diri (individu) maupun kelompok yang sifatnya superfisial. Bahkan, dengan “atas nama agama” atau “atas nama iman’, manusia sangat tidak pekewuh untuk menyelenggarakan perang yang membunuh nilai-nilai kemanusiaan.
Menilik Sejarah Islam
Sebagai contoh, persis seperti apa yang Buya Syafii Maarif uraikan, sebagaimana terdokumentasikan dalam buku Krisis Arab dan Depan Dunia Islam (2018). Yakni tentang bagaimana kenyataan sejarah (agama) Islam yang direntang dalam buku tersebut ditegaskan sendiri oleh Buya Syafii sendiri sejatinya penuh: kekerasan dan kekejaman.
Rekaman-rekaman sejarah Islam, betapa pun pernah mencapai masa gemilang, sesungguhnya mempertontonkan adegan yang nir-kemanusiaan. Jauh dari nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Buya Syafii menulis, bahwa perjalanan panjang kesejarahan Islam “dalam politik kekuasaan, iman sering benar tergantikan oleh semangat suku, ras, atau keturunan”. Dalam pergulatan politik kekuasan tersebut, tentu saja, semuanya mengatasnamakan: Islam.
Adapun sekarang, dalam praktik “politik kekuasaan” yang sering terjadi pada konstelasi intrik keagamaan Islam di Indonesia, iman sering benar tergantikan oleh semangat ormas, golongan, maupun kelompok-kelompok yang juga sama-sama mengatasnamakan: Islam.
Dengan mengatasnamakan Islam pula, satu sama lain saling menegaskan diri (kelompok) dengan cara penuh intoleransi—yang sangat kentara dalam kelompok-kelompok ekstrim.
Agama tanpa-agama: eksperimen religiusitas di luar bias tradisi-tradisi agama
Maka itu, sesungguhnya kita, sebagai pemeluk agama, memerlukan suatu “lompatan religius” dalam beragama, yang lebih genuine, kreatif, dan murni. Bahwa di tengah-tengah hiruk-pikuk bisingnya orang beragama dengan mengatasnamakan agama secara kaku dan subversif, kita perlu beragama dengan cara “melampaui” agama itu sendiri.
Inspirasi ini muncul dari teks Jaques Derrida—sebutlah pengalaman religius Derrida, seorang filsuf yang terkenal dengan wacana dekonstruksinya—akan pergulatannya dengan agama Yahudi yang ia anut sejak kecil. Bagaimana ia melampaui agama itu sendiri ke dalam “agama tanpa-agama”. Yakni, agama yang lahir dari kegairahan total akan Yang Ilahi—yang penuh dengan nilai kebaikan, moralitas, dan kemanusiaan.
“Agama tanpa-agama”, tentu, bukanlah agama dalam pengertiannya yang bersifat konvensional. Tetapi lebih sebagai sebuah upaya membentuk pengalaman religius baru dan cara pandang yang lebih murni dalam mendekati Yang Ilahi itu sendiri—sebagai ejawantah dari pengalaman kebermoralan, juga pengalaman kemanusiaan.
“Agama tanpa-agama” merupakan cara unik, genuine, dan kreatif tetapi tetap murni. Sebab, ia lebih menekankan pada gairah total akan Yang Ilahi sebagai the wholly other yang tidak mungkin kita bahasakan, tidak mungkin terterjemahkan, dan melampaui asumsi-asumsi pengetahuan keagaman (baca: tafsir) yang cenderung bias—bersifat naif, dangkal, dan kakus.
Memaknai Pengalaman Religius
Dalam upaya pelampauan ini, “agama tanpa-agama” lebih kita tempatkan sebagai sebuah undangan menuju model atau keberagamaan baru dan sebuah upaya untuk memaknai pengalaman religius itu sendiri. Demi tumbuhnya “cara beragama” yang lebih genuine, yang tak sibuk dengan pertentangan-pertentangan saling menuding dan menuduh sesama lain. Sekalipun ia berbeda keyakinan dengan kita.
“Agama tanpa-agama” tentu juga tidak menafikan hadirnya institusi-institusi agama yang telah banyak bermunculan dalam perjalanan sejarah agama itu sendiri. Sebagai sebuah aturan kebudayaan, institusi agama memang kadang kita perlukan. Tetapi, tentu saja, kita tidak bisa sepenuhnya mengikat diri aturan tersebut. Justru kita harus kritis dan kreatif padanya. Sebab, sebagai institusi keberadaannya tidak absolut. Ia mesti kita kaji ulang kembali.
Kita perlu berani menggugatnya, terlebih jika terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalamnya. Karena itu pula, “agama tanpa-agama” adalah semacam upaya cara beragama yang ingin melampaui warisan-warisan tradisi maupun institusi agama. Yakni sebagai indoktrinasi yang sudah penuh dengan bias dan sebagai usaha untuk mencoba membebaskan pengalaman religius kita dari batasan-batasan yang muncul akibat adanya tradisi atau institusi agama itu sendiri.
Oleh karena itu, “agama tanpa-agama” ingin mengajak kita, para pemeluk agama, untuk menghayati agama lebih dari sekadar simbol retoris yang penuh bias kepentingan politis dan nir-manusiawi. Yakni, dengan menghayati agama lebih dari sekadar beragama dengan hanya menganut dogma belaka. Lebih dari semata-mata hanya melaksanakan ritual yang diwajibkan oleh institusi agama saja.
Sebuah Resolusi
Kita perlu menghayati agama dengan berani mempertanyakan, menggugat, dan menjadikan intensitas keimanan serta kadar moralitas kemanusiaan kita sebagai ajang eksperimentasi terus-menerus. Yakni untuk menguji secara serius pengalaman religius kita dengan Yang Ilahi, juga dengan sesama (makhluk) lain.
Kita tidak bisa menakar diri paling beriman, sekalipun kita adalah pemeluk agama yang taat. Banyak bias religiusitas agama kita yang ternodai oleh simbol, tradisi, dan institusi agama itu sendiri.
Saya pikir itu pulalah yang tergambar dari sosok Gus Dur. Sebagai seorang penganut agama Islam, tetapi dalam cara Gus Dur beragama, ia melampaui—institusi maupun tradisi—Islam itu sendiri. Frasa “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, saya pikir adalah salah satu bentuk contoh bagaimana Gus Dur “beragama tanpa-agama”.
Artinya, di saat banyak orang sibuk bersitegang membela Tuhan atas nama iman dengan mengangkat pedang, Gus Dur justru dengan santai dan cukup arif memunculkan frasa tersebut.
Itu adalah jenis pengalaman religius baru yang coba dihayati oleh Gus Dur. Karena itu, “agama tanpa-agama” juga merupakan upaya memperbaiki cara beragama kita dengan terus-menerus ke arah yang lebih baik, mengutamakan kemanusiaan.
Supaya agama—bahkan, Tuhan itu sendiri—tidak terus “tampak” dungu, sakit, dan kejam akibat ulah-ulah kita sebagai pemeluknya. Dengan begitu, di awal tahun 2025 ini, kita semua berharap akan tumbuh suasana silaturahmi keberagamaan yang lebih toleran dan arif. []