• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Menyayangi Anak Berarti Memberlakukan Peraturan yang Terbaik Untuknya

Dengan dalih menyayangi anak, kita tidak boleh memarahi anak, sehingga seringkali terkecoh untuk mampu bersikap tegas

mahdiyaazzahra mahdiyaazzahra
03/04/2023
in Keluarga
0
Menyayangi Anak

Menyayangi Anak

680
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Seringkali atas nama kebutuhan anak, kita lengah dengan peraturan. Misalnya, anak bermain sampai malam. Lalu kita berdalih bahwa anak butuh bermain. Selain itu, anak tidak mau mandi, tidak mau makan. Anak corat-coret tembok, anak tidak mau membereskan mainan, anak tidak mau tidur siang, dan lain-lain. Dan, anak ingin makan dan minum yang ia kehendaki. Dengan berdalih menyayangi anak, kita melalaikan itu semua.

Kita selalu berdalih bahwa itu semua kebutuhan dan daya kreasi anak. Padahal, anak belum tahu benar dan salah. Bahkan anak tidak tahu kebutuhannya. Anak tidak tahu minuman itu baik atau tidak, sehat atau tidak. Anak tidak tahu makanan itu baik atau tidak, sehat atau tidak.

Dengan dalih menyayangi anak, kita tidak boleh memarahi anak, sehingga seringkali terkecoh untuk mampu bersikap tegas. Padahal, marah dan tegas itu sesuatu hal yang berbeda meski penerapannya sering terlihat mirip. Misalnya, anak harus mandi, tapi ia tidak mau. Lalu kita membiarkan ia yang sudah kotor seharian tidak mandi.

Kita tidak mau menerapkan peraturan karena kita tidak mau memarahi anak. Daripada anak menangis, lebih baik semua keinginannya kita penuhi, alasannya itu kebutuhan. Padahal semua itu justru melatih anak untuk bersikap semaunya sendiri. Akibatnya kita akan membentuk anak yang manja dan tidak taat aturan.

Kenapa harus taat aturan?

Jika kita mau membahas kebebasan anak, sesungguhnya setiap anak tidak bisa bersikap sebebas-bebasnya. Kita sendiri hidup dalam aturan negara, tatanan hukum, aturan agama, dan sosial. Peraturan dibuat untuk menjaga hak-hak setiap manusia.

Maka anak pun sudah harus belajar taat aturan sejak kecil. Ketika ia harus mandi, kita harus menjelaskan kenapa ia perlu mandi. Ketika ia harus makan, kita harus menjelaskan kenapa ia perlu makan. Tentu untuk makan ini, ada bebarapa kondisi yang harus dimaklumi karena mereka sering tumbuh gigi.

Ketika anak corat coret dinding kita membiarkannya. Kita berdalih itu kreasi dia. Baiklah, jika itu dinding rumah kita, maka itu baik-baik saja. Jika itu dinding rumah kontrakan? Jika itu dinding rumah orang saat bertamu?

Baca Juga:

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang

Fiqhul Usrah: Menanamkan Akhlak Mulia untuk Membangun Keluarga Samawa

Kita harus menerapkan peraturan, bahkan jika itu di rumah kita sendiri. Kenapa? Agar anak tahu tempat untuk menggambar yang tepat. Bukankah kita sering marah ketika ada aksi vandalisme? Bukankah itu sikap anak yang dibebaskan sejak kecil?

Apa salahnya memberikan media yang tepat untuk anak? Kertas, buku gambar, kanvas, kain? Kenapa kita tidak menerapkan waktu untuk mandi dan tidur? Agar ia tidur cukup dan bangun di pagi hari dengan ceria?

Kenapa kita tidak mengajarinya untuk membereskan mainan sejak kecil. Bukankah kita benci orang yang ketika menghadapi masalah berlindung di balik ketiak bapaknya? Bahkan kita juga membenci orang yang lari dari tanggung jawab?

Bukankah kita benci orang yang menghamili tapi kabur? Dan, bukankah kita benci para bapak-bapak yang tidak mau menafkahi? Bukankah itu semua bermula dari kebiasaannya sejak kecil? Kenapa kita memberi makan dan minuman yang tidak sehat? Kenapa kita tidak membatasi keinginannya? Alih-alih berdalih itu kebutuhan?

Kenapa kita memenuhi keinginan anak untuk bermewah-mewahan padahal tidak mampu? Bukankah kita benci para koruptor yang merampok uang rakyat? Kenapa kita malu jika anak tidak memiliki apa yang temannya miliki?

Tegas

Sekali lagi, tegas tidak sama dengan marah. Kita boleh menerapkan peraturan, dan menghukum anak jika tidak menaatinya. Selain itu, kita juga boleh mengatakan bahwa anak melanggar peraturan dan meminta dia untuk merenunginya.

Kita wajib berbicara 4 mata, dari hati ke hati. Menanyai kenapa ia melakukan ini dan itu. Kenapa ia menolak melakukan kewajibannya. Kenapa ia melanggar peraturan. Kita juga wajib mengingatkannya ketika ia melanggar aturan.

Bersikap tegas ketika anak harus melaksanakan kewajibannya bukan berarti bersikap kejam. Bersikap tegas bukan berarti memarahi. Mungkin kita sering menyampaikan dengan nada yang agak tinggi. Namun, anak terkadang lebih fokus dan lebih mendengar nada tinggi. Tentu bukan untuk menakutinya, tapi untuk mengingatkannya agar ia lebih waspada. []

Tags: kasih sayangparentingPengasuhan Anakperaturanpola asuh anak
mahdiyaazzahra

mahdiyaazzahra

Mompreneur. Soap maker. Zerowasterian. Pesantren Digital Rafiqutthullab. Bisa disapa di instagram @mahdiyaazzahro

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID