Mubadalah.id – Pada tahun 2023, berdasarkan laporan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) sebanyak 274.965 orang. Dari data tersebut, Kabupaten Indramayu menjadi wilayah asal PMI terbanyak, yaitu 19.178 orang atau 6,97% dari total PMI yang ada di tahun tersebut. Pekerja migran perempuan menempati jumlah terbanyak.
Berbagai macam faktor yang melatarbelakangi mengapa banyak orang memilih bekerja di luar negeri, salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang tidak bisa mereka lakukan jika hanya mengandalkan penghasilan yang ada di tempat tinggalnya.
Sulitnya mencari kerja di dalam negeri dan terbatasnya lowongan kerja untuk pekerja migran laki-laki di luar negeri. Sedangkan peluang perempuan sebagai pekerja migran informal sebagai pekerja rumah tangga lebih banyak, mau tidak mau mendorong para perempuan yang mengambil peluang tersebut.
Namun, sayangnya, kepergian perempuan untuk bekerja tersebut, membuat laki-laki yang ditinggalkan oleh pasangannya mengajukan perceraian. Sebagaimana yang sering saya temui persoalannya di lingkungan sekitar, juga sesuai dengan data Pengadilan Agama Indramayu yang tercatat.
Data Pengadilan Agama
Berdasarkan data Pengadilan Agama Indramayu pada tahun 2022, tercatat 2.012 perkara cerai talak dari total 7.771 perkara yang diputuskan hakim. Dari penuturan divisi Humas, Dindin Syarief Nurwahyudin, tingginya angka cerai talak tersebut salah satunya karena banyaknya suami ditinggal istri untuk menjadi Pekerja Migran di luar negeri. Yakni dengan alasan kebutuhan biologis yang tidak terpenuhi pasangannya.
Alasan tidak terpenuhinya kebutuhan biologis suami atas kepergian istri bekerja di luar negeri, menjadi sesuatu yang ironis. Apalagi pilihan perempuan bekerja dan jauh dari keluarga juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bersama.
Dari fenomena ini terbersit sebuah pertanyaan, ‘Apa sebenarnya tujuan pernikahan?’ Mengapa perempuan dengan berbagai pertimbangannya lebih mudah menjadi pekerja migran di luar negeri daripada laki-laki, tetapi mengapa pasangannya tidak saling menjaga peran-peran keluarga untuk saling melengkapi?
Tulisan ini akan membahas konsepsi nusyuz yang sering kita artikan sebagai tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri. Sebagaimana yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya dalam memotret persoalan di atas.
Pemahaman Nusyuz dalam Tinjauan Hukum Islam
Dalam memaknai kata nusyuz, ulama fikih Hanafiyah mengartikannya sebagai ketidaksenangan yang terjadi antara suami dan istri. Ulama Syafi’iyyah menyebutnya sebagai perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, begitu pun dengan Ulama Malikiyyah.
Tidak jauh berbeda dengan ketiganya, Ulama Hanbaliyyah juga mendefinisikan nusyuz sebagai bentuk ketidaksenangan dari pihak istri atau suami yang disertai dengan hubungan yang tidak harmonis. Pun Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu juga mendefinisikan nusyuz sebagai ketidaksetiaan salah satu pasangan suami-istri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan atau rasa benci terhadap pasangannya. Ketidaksetiaan tersebut terkait dengan tidak terpatuhinya kewajiban satu atas yang lainnya.
Sebetulnya jika melihat definisi yang beberapa fuqaha ajukan di atas. Sembari melihat bagaimana surat An-Nisa ayat 34 yang menjelaskan secara terang benderang persoalan nusyuz istri dan surat An-Nisa ayat 128 terkait dengan nusyuz suami.
Maka kedua ayat ini menyiratkan bagaimana sebenarnya Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat muslim telah menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan berpotensi menjadi pelaku dan korban dari perilaku nusyuz itu sendiri. Namun yang menjadi sebuah kegelisahan mengapa dalam berbagai kisah, persoalan. Bahkan Kompilasi Hukum Islam hanya mengenal dan membahas nusyuz perempuan saja?
Mengapa Nusyuz Seringnya Dikontekskan Pada Perempuan Saja?
Pandangan tentang nusyuz dalam pembahasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), masih terbatas hanya tentang nusyuz perempuan saja. Sebagai salah satu rujukan hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara. KHI membahas kriteria nusyuz istri yang diatur dalam Pasal 84 ayat (1), dan tidak mencantumkan pembahasan nusyuz suami.
Dalam pasal tersebut tersebutkan bahwa istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Yaitu berbakti secara lahir batin pada suami, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 83 ayat (1). KHI juga hanya mengatur akibat hukum jika istri nusyuz.
Misalnya kewajiban suami dalam hal menanggung nafkah, pakaian, tempat tinggal, biaya rumah, biaya perawatan dan pengobatan bagi keluarga itu akan dianggap gugur jika istri nusyuz, sebagaimana yang penjelasan pasal 80 ayat (7) dan pasal 84 ayat (2).
Aturan KHI itu–jika dipandang dari persoalan perempuan pekerja migran– berpotensi merugikan pihak perempuan. Pemahaman nusyuz yang hanya berlaku kepada istri karena ia tidak melakukan kewajibannya melayani suami lahir batin, ini juga bisa menggugurkan kewajiban seorang mantan suami memberikan nafkah iddah kepada mantan istrinya saat terjadi perceraian.
Sedangkan dalam persoalan perempuan pekerja migran yang harus menanggung konsekuensi jauh dari keluarga dan tidak bisa bergaul dengan pasangannya, ini juga berkaitan dengan pihak suami yang tidak mampu memberikan nafkah layak dan memenuhi kebutuhan keluarga, juga bisa disebut dengan nusyuz.
Menggali Konsepsi Nusyuz pada Keluarga Pekerja Migran dengan Cara Pandang Mubadalah
Ada salah satu kutipan menarik yang tertulis dalam kitab Manba’ al-Sa’adah, yang juga mengajarkan nilai-nilai akhlak dan kesalingan dalam berelasi: ‘Kebaikan umat berawal dari kebaikan keluarga, kebaikan keluarga berawal dari prinsip memperhatikan kesehatan baik secara medis maupun psikis, hubungan pernikahan yang baik, penunaian hak bagi masing-masing suami istri dalam batasan kesetaraan, gotong royong, dan pergaulan yang mulia (mu’asharah bil ma’ruf’.
Dari kutipan di atas sebagaimana juga cara pandang mubadalah yang menghendaki adanya relasi saling (resiprokal/tabaduli) dan husn al-mu’asyarah (pergaulan mulia), sebetulnya pernikahan itu terkait dengan komitmen pada ikatan janji yang kokoh sebagai amanah Allah (mitsaqan ghalizhan).
Lalu prinsip berpasangan dan kesalingan (zawaj), perilaku saling memberi kenyamanan atau kerelaan (taradhin), saling memperlakukan dengan baik (muasyarah bil ma’ruf), dan musyawarah. Dan jika semua tindakan atau perilaku baik yang dilakukan suami maupun istri tersebut dapat memperlemah lima hal di atas, maka itulah yang kemudian kita sebut dengan nusyuz.
Kelima pilar tersebut juga menyiratkan bahwa tidak ada pembagian peran suami istri yang baku, sebagaimana umumnya dijelaskan dalam kitab-kitab fikih terkait dengan pembahasan hak dan kewajiban suami istri, yang membagi secara jelas kedua peran tersebut.
Akan tetapi menjadi sebuah persoalan jika kepergian istri ke luar negeri untuk bekerja menjadi alasan pasangannya untuk mengajukan perceraian, dengan dalih tidak terpenuhinya kebutuhan biologisnya.
Apalagi tak jarang ada stigma dan pelabelan yang tidak baik bagi perempuan tersebut, seperti anggapan ‘makanya jangan lama-lama ninggal suami,’ ‘terlalu asik di luar tuh sampe lupa keluarga di rumah,’ yang sering saya dengar terjadi di masyarakat tempat saya tinggal. Tentu anggapan ini merugikan perempuan, seakan-akan sudah bekerja tetapi dianggap nusyuz pula.
Jika menggunakan cara pandang mubadalah dalam persoalan ini sebetulnya perempuan dan laki-laki sebagai pasangan yang berelasi, keduanya bisa saling bertukar peran, saling melengkapi, dan mengisi peran satu dengan lainnya.
Pun keduanya juga berpotensi menjadi sumber persoalan dalam keluarga dan melakukan nusyuz yang merugikan pasangannya. Oleh karenanya pemahaman yang hanya mengkaitkan nusyuz kepada perempuan saja itu tidak Islami dan tidak sesuai dengan nilai ajaran Islam dalam prinsip berkeluarga. []