Mubadalah.id – Ajaran “menyusui anak” (ar-radha’ah) secara eksplisit dan tegas dikemukakan di dalam Kitab Suci al-Qur’an dan kemudian mendapatkan penjelasan dari hadits Nabi SAW.
Namun sebagaimana umumnya ayat dalam al-Qur’an, ajaran itu masih membuka ruang interpretasi (tafsir) yang luas. Hampir semua kitab fikih dari berbagai madzhab membahas topik ar-radha’ah dalam pasal tersendiri di bawah pembahasan bab “nikah”. Namun, pembahasan mereka umumnya berkisar pada dua hal pokok.
Pertama, pembahasan tentang teknis penyusuan yang menyebabkan menjadi mahram (haram dinikahi). Kedua, pembahasan mengenai hubungan upah penyusuan di antara pihak-pihak terkait.
Sementara posisi persusuan sebagai hak anak (haqq ar-radhi‘) untuk menjamin kesehatan dan cara hidup yang baik. Serta perlindungan kesehatan bagi ibu yang menyusui (haqq al-murdhi’ah) belum banyak disinggung, bahkan terkesan “tak dipikirkan” (alla mufakkira fi, I’impense).
Secara etimologis, ar-radha’ah atau ar-ridha’ah adalah sebuah istilah bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang.
Dalam pengertian etimologis tidak menjadi syarat bahwa yang ia susui itu (ar-radhi’) berupa anak kecil (bayi) atau bukan. Adapun dalam pengertian terminologis, sebagian ulama fiqh mendefinisikan ar-radha’ah sebagai berikut:
“Sampainya (masuknya) air susu manusia (perempuan) ke dalam perut seorang anak (bayi) yang belum berusia dua tahun, 24 bulan.”
Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk bisa kita sebut ar-radha’ah asy-syar’iyyah (persusuan yang berlandaskan etika Islam). Yaitu, pertama, adanya air susu manusia (labanu adamiyyatin).
Kedua, air susu itu masuk ke dalam perut seorang bayi (wushuluhu ila jawfi thiflin). Dan ketiga, bayi tersebut belum berusia dua tahun (duna al-hawlayni).
Rukun Ar-Radha’ah Asy-Syar’iyyah
Dengan demikian, rukun ar-radha’ah asy-syar’iyyah ada tiga unsur: pertama, anak yang menyusu (ar-radhi’). Kedua, perempuan yang menyusui (al-murdhi’ah), dan ketiga, kadar air susu (miqdar al-laban) yang memenuhi batas minimal.
Suatu kasus (qadhiyyah) bisa kita sebut ar-radha’ah asy-syar’iyyah, dan karenanya mengandung konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus berlaku. Apabila tiga unsur ini bisa kita temukan padanya.
Apabila salah satu unsur saja tidak ditemukan, maka ar-radha’ah dalam kasus itu tidak bisa disebut ar-radha’ah asy-syar’iyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi hukum syara‘ tidak berlaku padanya.
Adapun perempuan yang menyusui para ulama (mujma’alayh) menyepakati bisa perempuan yang sudah baligh atau juga belum, sudah menopause atau juga belum, gadis atau sudah nikah, hamil atau tidak hamil.
Semua air susu mereka bisa menyebabkan ar-radha’ah asy-syar’iyyah, yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak yang ia susuinya. []