Mubadalah.id – Kasus perceraian yang menimpa pasangan suami-istri di masa pandemi Covid-19 ini sungguh memprihatinkan. Penyebabnya beragam, mulai dari perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sampai tidak mendapatkan kepuasan dalam aspek pemenuhan ekonomi, kondisi emosional dan psikis yang labil, ditambah dengan dampak negatif dengan hadirnya media sosial yang menjadi dunia baru (ilusi) bagi pasangan yang sedang berkonflik, di mana mereka menuangkan masalah pribadi (keluarga) yang tidak dapat terpecahkan dalam dunia nyata.
Pada tahun 2015 sebanyak 5,89 % pasangan suami istri bercerai (hidup). Jumlahnya sekitar 3,9 juta dari total 67,2 juta rumah tangga. Pada 2020, persentase perceraian naik menjadi 6,4 % dari 72,9 juta rumah tangga atau sekitar 4,7 juta pasangan (Sumber: Badan Pusat Statistik, 2021). Data tersebut diyakini akan terus mengalami peningkatan, apabila tidak segera diselesaikan dari akar rumput.
Hikmah disyariatkannya pernikahan adalah untuk memelihara diri dari terjatuh kepada perbuatan yang diharamkan oleh agama, sebab pernikahan adalah cara yang alami dalam penyaluran keinginan biologis manusia. Di samping itu, perkawinan adalah cara yang paling ihsan (baik) untuk memelihara dan mengembangbiakkan keturunan umat manusia, untuk memelihara nasab, yang memiliki nilai amat penting artinya bagi masa depan umat Islam.
Jadi dengan dilaksanakannya pernikahan dimaksudkan untuk menjaga kehormatan manusia itu sendiri. Pernikahan yang dilaksanakan akan menumbuhkan dan menghidupkan bentuk kesadaran akan bentuk tanggung jawab, sehingga masing-masing akan berusaha maksimal untuk bisa menjalankan tanggung jawabnya dengan baik dan maksimal, terutama bagi laki-laki. Pernikahan akan mendorong mereka untuk berusaha dan bekerja lebih keras untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Jadi ada kesadaran tentang tanggung jawab dalam kehidupan.
Sedangkan, tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan perkawinan diantaranya adalah: Pertama, memperoleh kehidupan yang sakinah (tenteram), mawaddah (rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang), hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Rum/30 ayat 21 yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“.
Ikatan pernikahan pada dasarnya tidak dapat dibatasi hanya dengan pelayanan yang bersifat material dan biologis saja. Pemenuhan kebutuhan material, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya hanya sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan yang lebih mulia dan tinggi, yakni kebutuhan rohani, cinta, kasih sayang dan barakah dari Allah Swt.
Jika setiap rumah tangga muslim bisa menjadi contoh rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, maka masyarakat yang ada di sekitarnya pun bakal menjadi masyarakat yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Masyarakat yang tenteram, penuh cinta dan kasih sayang dalam ridha Allah Swt. Jika prinsip sakinah, mawaddah dan rahmah sudah tertanam dalam keluarga, maka ini akan menular kepada “lingkungan” yang lebih besar. Orang tua, keluarga, dan saudara, serta lingkungan tempat kita tinggal akan ikut bahagia.
Kedua, Reproduksi/Regenerasi. Firman Allah Swt dalam surat An-Nahl/16 ayat 72 yang artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik..”. Sementara dalam haditsnya Rasulullah Saw. disebutkan: “Kawinlah dengan wanita yang menyintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak” (HR Abu Daud).
Nash/dalil tersebut menunjukkan tujuan pentingnya reproduksi agar umat Islam kelak di kemudian hari menjadi umat yang banyak, dan tentu saja yang berkualitas. Sebab pada ayat yang lain diperingatkan agar tidak meninggalkan generasi yang lemah. Implikasinya adalah agar kita meninggalkan generasi yang kuat dan tangguh. Jadi, yang diutamakan adalah keturunan yang berkualitas, baik secara iman maupun akhlak.
Memperbanyak keturunan jika tidak berkualitas, justru hanya membuat bumi ini tambah sesak karena semakin membengkaknya jumlah penduduk di dalamnya. Keturunan yang dilahirkan, berupa anak-anak yang menyejukkan hati dengan segala tingkah laku mereka yang Islami. Anak-anak yang cerdas secara intelektual, dewasa secara emosional dan matang secara spiritual.
Ketiga, Pemenuhan Kebutuhan Biologis. Sebagaimana yang difirmankan Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah/2 ayat 223 yang artinya: “isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki..“. Kebutuhan biologis adalah merupakan fitrah manusia, dan ini merupakan bagian dari kehidupan. Semua makhluk yang bernyawa termasuk hewan memiliki insting dan kebutuhan biologis.
Keempat, Menjaga Kehormatan. Firman Allah dalam surat An-Nisa’/4 ayat 24: “Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana“.
Menjaga kehormatan harus menjadi kesatuan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan biologis. Artinya, di samping untuk memenuhi kebutuhan biologis, pernikahan juga bertujuan untuk menjaga kehormatan. Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, seseorang dapat saja mencari pasangan lawan jenisnya untuk melakukan hubungan badan. Tetapi dengan melakukan itu, seseorang akan kehilangan kehormatan. Sebaliknya dengan pernikahan, kedua kebutuhan tersebut dapat terpenuhi.
Kelima, Menyempurnakan akhlak. Dalam hadisnya, Rasulullah Saw bersabda: “Hai para pemuda! Siapa yang mampu berumah tangga, kawinlah! Perkawinan itu melindungi pandangan mata dan memelihara kehormatan. Tetapi siapa yang tidak sanggup kawin, berpuasalah, karena puasa itu merupakan tameng baginya” (HR. Bukhari).
Pernikahan dalam Islam adalah sarana efektif untuk memperbaiki moral atau akhlak masyarakat ke arah yang lebih baik. Moralitas masyarakat biasanya ditentukan oleh kedewasaan kaum mudanya untuk hidup dengan akhlak yang baik, yang merupakan pagar dan sekaligus benteng terhadap permasalahan dan terjadinya sebuah perubahan dan penyimpangan.
Keenam, Ibadah. Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah Saw bersabda: Artinya: “Barangsiapa kawin (beristeri) maka dia telah melindungi (menguasai) separoh agamanya, karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi” (H.R. Al-Hakim dan Thabrani). Hadis tersebut menyebutkan bahwa melakukan pernikahan adalah bagian dari melakukan agama. Melakukan perintah dan anjuran agama tentu bagian dari ibadah. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa melakukan pernikahan adalah bagian dari ibadah.
Melihat dari hikmah dan tujuan pernikahan yang telah dikemukakan, artinya bagi yang akan melaksanakan pernikahan harus menyiapkan diri secara matang, dan memahami akan seluk beluk dari pernikahan. Ini baru bisa dilakukan berdasarkan pemahaman yang benar, kesiapan dan kematangan khususnya dalam usia pernikahan. Banyak kalangan yang mengira terutama para pemuda/i, bahwa kemampuan dalam menikah adalah kemampuan dari segi fisik saja.
Padahal aspek yang perlu diperhatikan adalah kemampuan dari segi lahir maupun batin. Rasulullah Saw mengizinkan seseorang untuk menikah, yaitu orang yang telah memiliki kemampuan (baa’ah). Menurut Muhammad Nabil Kazhim, dalam karyanya Kaifa Takhaththith Masyruu’ Zawaj Naajih, diterjemahkan oleh Nashirul Haq.
Secara umum makna asal dari kata baa’ah adalah rumah atau tempat tinggal. Istilah ini dikaitkan dengan istilah pernikahan, karena orang yang menikahi perempuan, maka dia harus menempatkan perempuan tersebut pada sebuah rumah. Dari makna tersebut dapat diketahui bahwa pernikahan bukanlah sebuah hiburan atau permainan yang dapat dilakukan oleh setiap orang yang belum berhak menikah. Seseorang yang menikah harus memiliki rasa tanggung jawab dan melaksanakan tanggung jawabnya. Wallahu a’lam bishawab. []