Mubadalah.id – Momen lebaran menjadi agenda untuk saling memaafkan serta saling bersilaturahmi. Agenda bisa dimulai dengan berkumpul bersama keluarga hingga reuni dengan teman-teman yang jarang bertemu. Di hari ketiga lebaran kala itu, saya menghadiri sebuah undangan reuni yang diadakan oleh kakak kelas SMA. Saya dengannya cukup dekat walaupun berbeda angkatan. Namun, ketika saya mengikuti reuni tidak sedikit yang membawa anak mereka.
Nah, ketika tidak membawa anak, seringkali ditanya kemana anaknya? Mengapa tidak dibawa? Nampaknya, hadir dalam agenda reuni menjadi serba salah. Ada lagi yang sering bertanya, enak ya kemana-mana nggak bawa anak? enak ya punya baby sitter, anaknya dititipkan ke baby sitter? dititipkan di ART?
Apakah pertanyaan sudah selesai sampai di sana? Tidak, masih banyak pertanyaan lainnya dan bagi saya, hal itu membuat tidak nyaman. Di saat yang sama, saya mulai bertanya. Kenapa para suami ketika keluar rumah tidak ditanya tentang keberadaan sang anak. Kakak laki-laki saya, hanya ditanya soal jumlah anak yang telah dia miliki. Dia tidak mendapatkan pertanyaan-pertanyaan tadi.
Stereotip masyarakat menganggap bahwa anak adalah tanggung jawab ibu, bukan menjadi tanggung jawab ayah. Sehingga, ketika ibu keluar rumah, seringkali ditanya kemana anak mereka ketika tidak dibawa. Di saat yang bersamaan, ketika anak mengalami kegagalan maka peranan ibu yang disalahkan karena dianggap telah gagal mendidik anak. Sedang kesuksesan anak selalu dikaitkan dengan keberhasilan didikan ayah mereka.
Rasanya hal ini tidak adil didapatkan oleh para ibu. Apalagi, para ibu tidak sedikit yang merasakan sakit ketika menstruasi, hamil sembilan bulan dengan susah payah, melahirkan wahnan ala wahnin, belum lagi nifas dalam keadaan berdarah-darah dengan durasi yang lama dan di saat bersamaan harus memberi ASI. Saya cukup khawatir dan dilema ketika anak mengalami kegagalan hanya ibu yang disalahkan. Serta ibu yang direndahkan.
Kitab manba’ussa’adah menjelaskan tentang membangun relasi rumah tangga. Dalam kitab tersebut, anak adalah tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Seorang anak tidak akan pernah lahir tanpa peranan kedua orangtuanya. Sebuah janin ada dikarenakan adanya pertemuan antara air mani laki-laki dan sel telur perempuan, yang ditempatkan di rahim yang hanya dimiliki oleh perempuan.
Sebab anak yang dititipkan kepada orangtuanya adalah amanah Tuhan, karenanya pemeliharaan anak dari mulai dalam kandungan, dilahirkan, bertumbuh sampai dewasa memerlukan relasi kedua orangtuanya. Terutama dalam hal pengasuhan dan pendidikannya. Sehingga harus dilakukan secara bersama-sama karena merupakan tanggungjawab suami dan istri.
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:) مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ (صحيح البخاري
Rasulullah SAW bersabda: “Seorang bayi tidak akan dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi dan Nasrani” (HR Bukhari).
Hadis ini jelas menegaskan bahwa tanggung jawab untuk mendidik anak adalah tugas kedua orang tua, dan tidak boleh hanya dibebankan kepada salah satunya saja baik suami atau istri. Adapun anggapan bahwa Al Ummu Madrosatun Ula yakni ketika seorang perempuan atau ibu dikatakan sebagai sekolah jika ia diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menyiapkan dirinya. Terutama dengan pendidikan yang setara. Seorang ibu dapat menjadi tempat bernaung yang teduh jika ia mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki dalam pengembangan dirinya.
Dan seorang ibu akan menjadi guru di atas guru, manakala kiprah dan prestasinya tidak dibatasi dan dihalangi. Dalam kesetaraan hak keduanya menjadi penting demi mewujudkan ibu yang bersifat madrasah, raudhun, dan ustaadzu asatidzati-l-ulaa. Cara mendidik dan memenuhi hak-hak anak, berada di tangan suami dan istri. Begitu juga dengan suami dan istri harus menjalin komunikasi, diskusi, dan musyawarah untuk mewujudkannya sebagai upaya menjadi keluarga bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah.
Orang tua sangat berperan aktif dalam perkembangan anaknya, dan pola pengasuhan tentu berpengaruh kepada anak-anak sebab akan menjadi patokan mereka dalam bertindak ataupun cara bersikap di masa yang akan datang. Oleh karena itu, sebagai orang tua juga harus berhati-hati dalam pola pengasuhan anak-anaknya. []