Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan KH. Husein Muhammad dalam upaya ke arah penafsiran kontekstual terhadap teks-teks ketuhanan baik al-Qur’an maupun Sunnah, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah dengan menempatkan prinsip ketuhanan tauhid (monoteisme) sebagai asas keyakinan pribadi dan bagi hubungan-hubungan kemanusiaan.
Dalam sistem monoteisme Islam, Tuhan adalah satu-satunya eksistensi yang absolut, sementara selain Dia adalah eksistensi yang relatif dan terbatas.
Teologi monoteisme juga menganggap bahwa seluruh manusia adalah setara dan bersaudara di sisi Allah.
Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa tidak ada kelebihan satu manusia atas manusia yang lain atas dasar identitas sosial yang membedakan dalam bentuk apapun, kecuali atas dasar ketakwaannya kepada Tuhan. (QS. al Hujurat, 13).
Prinsip ini membawa implikasi logik bagi keharusan manusia untuk menegakkan keadilan di antara manusia dan untuk saling menghargai di antara mereka. Kesetaraan, keadilan, persaudaraan, kehormatan manusia adalah hasil paling rasional dalam sistem tauhid.
Semuanya merupakan nilai-nilai moral universal dalam sistem Islam yang harus tersentuh dalam kehidupan manusia.
Pesan moral universal ini harus menjadi dasar bagi seluruh cara pandang penafsiran kontekstual kita terhadap teks-teks keagamaan. Pikiran-pikiran keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ini harus segera memperbaikinya.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 1292) dengan tegas menyatakan bahwa adalah mustahil jika syari’ah menyebabkan atau menghasilkan ketidakadilan dan ketidakrahmatan, dan jika ini terjadi maka pastilah interpretasi atau aturan-aturan positif yang yang tidak tepat.*
*Sumber : tulisan karya Septi Gumiandari dalam buku Menelusuri Pemikiran Tokoh-tokoh Islam.