Mubadalah.id – Kabar berita tentang kekerasan seksual selalu membuat dada sesak. Terlebih jika korbannya adalah anak di bawah usia. Baru-baru ini, dikabarkan 8 pria memperkosa seorang anak perempuan berusia 4 tahun, yang terjadi pada 2 Desember 2020, tepatnya di Kabupaten Tangerang.
Ya, hati orang tua mana yang tak teriris-iris jikalau anak perempuan yang dirawat dan dibesarkan sedari dalam kandungan mendapat perlakuan yang melukai martabat kemanusiaan ini? Sungguh nahas, entah di mana letak nurani para pelaku yang melakukan aksi kejahatan tersebut.
Padahal, para laki-laki yang menjadi pelaku tersebut juga manusia yang dilahirkan dari rahim seorang perempuan. Apa iya, mereka dilahirkan dari batu? Tentu saja tidak demikian.
Baik, kembali pada pembahasan kasus kekerasan seksual. Kabar duka kasus kekerasan seksual bak gunung es. Yaitu yang diketahui dan dilaporkan hanya yang terlihat dan yang ada di puncak saja. Sedangkan masih ada banyak yang tak tampak dan juga tak terlapor.
Sebagaimana data Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan yang rilis awal 2020, sepanjang 2019 terjadi 2.341 kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan. Terbilang meningkat 65 persen dibanding tahun sebelumnya. Dengan catatan, itu yang terlapor dan terdata saja, ya. Namun, kasus paling banyak terjadi adalah inses dan ditambahkan dengan kasus kekerasan seksual.
Selain itu, Komnas Perempuan juga mencatat angka kekerasan seksual di Indonesia meningkat sebesar 792% dalam 12 tahun terakhir, serta lebih dari 90% kasus perkosaan di Indonesia tak pernah dilaporkan karena korban takut menerima stigma dan disalahkan oleh masyarakat.
Pastinya, para pihak yang selama ini ikut serta dalam memperjuangkan kasus-kasus kekerasan seksual yang melukai HAM ini, berharap adanya keadilan untuk korban atau penyintas. Namun yang terjadi, pada 7 Desember 2020, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 70 Tahun 2020 mengenai hukum kebiri bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Dengan harapan bisa memberi efek jera kepada pelaku kekerasan seksual.
Yang perlu digaris bawahi, apakah PP Kebiri ini efektif dalam penangangan kasus kekerasan seksual? Mari kita cek ulang. Di dalam keterangannya dijelaskan bahwa pelaku yang dihukum kebiri ialah jika korbannya lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan korban meninggal dunia. Itu pun masih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sedangkan, sebagaimana yang kita tahu dan sudah menjadi rahasia umum, hukum di Indonesia lebih cenderung tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Mengutip pernyataan Asfinawati, Ketua YLBHI yang dipulikasikan di akun Muslimah Reformasi Foundation, “Banyak kasus kekerasan seksual yang tidak diterima oleh pihak kepolisian karena kurang bukti. Padahal yang harus nyari bukti kan penyidik. Sementara itu, hukuman kebiri adanya di ujung. Kalau pintu pertama ini saja tidak bisa masuk karena laporan tidak diterima, gimana bisa ada penghukuman bagi pelaku?”
Lalu, apa yang seharusnya menjadi perhatian dalam kasus kekerasan seksual? Penghukuman terhadap pelaku atau selesainya persoalan? Mari kita refleksikan dengan seksama.
Dr. Ahmad Sofiyan, saat menjadi pembicara diskusi tentang PP Kebiri yang diadakan oleh Muslimah Reformis Foundation menjelaskan. Pertama, mengebiri pelaku bukan jalan keluar yang adil bagi korban, melainkan lebih pada respon emosional terhadap pelaku. Kedua, tidak ada bukti otentik kebiri akan menyebabkan berkurangnya kasus kekerasan seksual pada anak. Ketiga, biaya yang dikeluarkan untuk tindakan kebiri tak sebanding dengan beban mental, kesehatan, dan masa depan korban.
Selain itu, kebiri kimia lebih pada mengontrol hormon seksual, bukan pada tindakan kejahatan seksual. Padahal, perilaku kekerasan seksual berakar pada cara pandang atau pola pikir yang masih terbelenggu nilai-nilai patriarkhi. Dan, kekerasan seksual dalam hal ini pemerkosaan, tak sebatas penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Namun, bisa juga tangan, atau benda-benda lainnya. Jelasnya ialah tanpa consent serta berpotensi melukai martabat kemanusiaan orang lain.
Melansir tulisan Ahmad Sofiyan yang berjudul “Implikasi Kebiri pada Pelaku Kejahatan Seksual Anak”. Ia menuliskan, Ryan Cauley dari Universitas Lowa, secara akademik juga mengutip pandangan para kriminolog, meskipun kebiri dapat embel-embel treatment, tapi tetap saja pelaku menilainya sebagai hukuman. Sebab baginya, kebiri kimia memiliki banyak persolan hukum. Tidak sebatas dari sisi hukum materiilnya, tapi juga terkait dengan procedural law-nya.
Nah, mengutip dari pandangan para kriminolog, Ryan juga menjelaskan bahwa yang menjadi pemicu kejahatan seksual adalah faktor power and violence, bukan pada faktor hasrat seksual. Maka, yang harusnya dikurangi ialah motivasi kekerasannya, bukan pada motivasi hasrat seksualnya.
Lanjutnya, pendekatan ini pun dinilai merupakan pendekatan hukuman yang dilakukan oleh masyarakat primitif dan terkesan barbarisme. Penghukuman pemberatan dengan kebiri hampir tidak memiliki kaitan dengan berkurangnya kejahatan seksual pada anak.
Namun, beberapa sumber mengatakan, justru negara yang menerapkan hukuman kekerasan fisik, salah satunya kebiri kimia, angka kriminalitasnya cenderung lebih tinggi. Pun sebaliknya, negara yang menerapkan hukuman yang lebih asertif justru memiliki angka kriminalitas yang terbilang lebih rendah.
Melihat angka kekerasan seksual yang mengalami kenaikan di setiap tahunnya, sebagaimana data dari Komnas Perempuan, memprioritaskan korban merupakan langkah yang lebih tepat. Terutama, negara memiliki posisi strategis dalam membuat kebijakan, seharusnya secara tegas berpihak pada korban. Tak bisa dipungkiri, prioritas terhadap korban perlu diiringi dengan penyusunan undang-undang komprehensif yang mengatur perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban.
Maka, mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang tahun 2020 lalu sempat didepak dari prolegnas karena dinilai sulit, sangatlah mendesak untuk segera disahkan. Bukan malah mendahulukan peraturan yang belum tentu menguntungkan si korban yang sudah seharusnya memperoleh keadilan. Dan, negara haruslah berperan dalam hal itu, bukan malah sebaliknya. Wallahu a’lam. []