Mubadalah.id – Para pangkaji feminisme dalam Al-Quran di generasi awal menganggap bahwa Islam memiliki cara pandang tawhidik di mana hanya Allah yang layak di Esa-kan, dan bukan laki-laki. Ide ini berimplikasi bahwa tidak ada entitas tertentu di dunia ini yang “lebih” dari entitas makhluk lainnya.
Cara pandang tersebut pertama kali Amina Wadud munculkan melalui karyanya yang berjudul Quran and Woman. Tawaran tersebut kemudian diikuti oleh para pengkaji feminis lainnya sebagai gaya berpikir dalam mendekati dan membaca teks Al-Quran, termasuk dalam pembacaan mubadalah.
Kemunculan ide pembacaan ayat Al-Quran yang ramah terhadap perempuan disebabkan oleh adanya ketidak-puasan atas bunyi teks yang mengesankan adanya diskriminasi pada perempuan. Di antara contoh ayat-ayat yang sering kita gugat yakni perihal poligami (QS. An-Nisa'[4]: 3), dan waris (QS. An-Nisa'[4]: 11). Dengan tujuan menghilangkan diskriminasi atas perempuan di Masyarakat, kelompok feminisme bergerak.
Dalam konteks feminisme Indonesia, terdapat sosok Faqihuddin Abdul Kodir yang memiliki metode Mubadalah sebagai pisau analisis untuk mengupas isu-isu bias gender dalam Al-Quran. Metode tersebut bisa dianggap berhasil dalam percaturan diskusi kajian gender Al-Quran di Indonesia, di mana para sarjana-sarjana muda cenderung menggunakan metode tersebut dalam kajian-kajian ilmiah yang mereka lakukan. Padahal temuan tersebut jika didiskusikan dalam skala global masih memunculkan pertanyaan besar.
Penafsir Feminis
Aysha, seorang doktor alumni Oxford University sekaligus perwakilan penolak penafsiran gender, memberikan kritik awal berupa perlunya pertanggung jawaban dari penafsir feminis. Hal ini tentunya menjadi bias karena selama ini para feminis sebenarnya ingin mengklarifikasi maksud Al-Quran, namun mereka sendiri yang perlu mengklarifikasi cara penafsiran mereka yang dianggap tidak bertanggung jawab.
Gagasan perlawanan Aysha tentunya beralasan jika melihat bagaimana kerja penafsiran feminisme acapkali tidak memiliki panduan metodologis yang memadai.
Ketidakmapanan aspek metodologis dalam pembacaan teks menyebabkan Al-Quran terkesan ditarik-ulur dan dipaksa agar sesuai dengan gagasan feminis tentang kesetaraan dan keadilan. Oleh karena itu, penafsiran yang dihasilkan lebih mengarah kepada keinginan dari penafsir feminis dibanding dengan maksud teks itu sendiri.
Bahkan, mengesankan adanya manipulasi. Dengan demikian, Aysha lebih setuju untuk memikirkan ulang maksud disertai dengan objektifitas penafsiran kita dibanding terlalu memaksakan makna teks itu sendiri. (Aysha: 2014).
Aysha menawarkan hal berbeda dengan ide Amina Wadud tentang tauhidik, Aysha mengklasifikasikan ayat Al-Quran menjadi dua jenis.
Pertama ayat-ayat yang bernuansa “hierarkis”. Kelompok ayat hierarkis yakni ayat-ayat yang secara naluriah menuansakan adanya superioritas laki-laki atas wanita dan menganggap hubungan laki perempuan sebagai hubungan hierarkis. seperti (2:223), yang menginstruksikan laki-laki untuk mendekati istri mereka secara seksual sebab keinginan mereka, merujuk pada wanita sebagai sesuatu yang ditanami; ayat (2: 228) yang menunjukkan bahwa hak laki-laki, mungkin dalam hal-hal perceraian, derajatnya lebih besar dari pada wanita.
Kedua, ayat-ayat “mutual” (setara) yakni kelompok ayat yang mengandung nuansa inklusivitas dan resiprokal (timbal-balik). Ayat-ayat mutual memasukkan (QS. An-Nisa[4]:1), yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari jiwa yang satu. (QS. Al-Ahzab[33]: 35) yang menyatakan bahwa Allah menciptakan pasangan bagi manusia dari diri mereka sendiri, yang memberkahi mereka dengan hubungan yang damai dan kasih sayang.
Lalu, (QS. At-Taubah[9]: 71), yang menyatakan bahwa manusia dan perempuan adalah penjaga moral satu sama lain; dan (QS. Al-Ahzab[33]: 35) yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan akan dijanjikan ampunan dan balasan oleh Tuhan sebab kualitas kebajikan dan perilaku mereka.
Teks tidak Bebas Makna
Klasifikasi tersebut secara tidak langsung memberikan pertimbangan penting berupa perlunya pertimbangan nature atau karakteristik yang dimiliki oleh sebuah teks. Mereka tidak bebas makna karena ada kecenderungan makna yang harus dipegangi. Meski demikian, tawaran Aysha ini masih belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pengkaji feminis Al-Quran di Indonesia.
Implikasinya, hasil pembacaan feminis berpotensi memasuki ranah yang tak terbatas dan memberikan kebebasan pada si penafsir untuk memperkosa teks sesuai dengan hasrat di benak mereka. anah yang luas dan cenderung tidak terbatas, semisal dalam pembacaan ayat nusyūz dan talāq.
Berdasarkan keberadaan dua jenis ayat ini, maka melihat bagaimana aplikasi qirā’ah mubādalah yang berkesimpulan bahwa semua ayat-ayat tentang relasi laki-laki dan perempuan dapat ditafsirkan secara setara dapat bertentangan dengan kesimpulan dari Aysha tentang keberadaan ayat-ayat hierarkis.
Terlebih, Faqihuddin secara jelas menyatakan bahwa penerapan qirā’ah mubādalah dapat berlaku dalam ruang lingkup privat maupun publik, dan metode ini tidak mengenal adanya ayat yang hierarkis, atau androsentrik. Pendialogkan gagasan beberapa sarjana Islam bisa menjadi hal penting sebagai upaya saling mengevaluasi dan menembel cacat-cacat akademik.
Aysha dalam hal ini juga perlu disoroti bagaimana ia menawarkan gagasan sifat dan karakter teks namun ia sendiri tidak memberikan indikator yang jelas. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memang harus dilontarkan kepada para sarjana feminis dengan harapan adanya perkembangan kajian yang semakin membaik di masa depan.
Dan bagi sarjana muda, memacu nalar kritis dapat menjadi mesin berpikir untuk ikut memberikan sumbangsih gagasan yang semisal, dan bukan hanya menjadi seperti jamaah yang mengamini saja. []
*)Tulisan ini disadur dari sebagian karya Tesis Penulis