Mubadalah.id – Penelitian-penelitian Rumah KitaB sejauh ini sampai pada kesimpulan bahwa praktik perkawinan anak merupakan sebuah tragedi kemanusiaan namun berlangsung sunyi.
Hal ini terjadi sebagai implikasi yang sangat masif dari proses pemiskinan struktural yang berakar pada perubahan-perubahan ruang hidup, sumber kehidupan akibat krisis ekologi dan agraria di lingkup pedesaan.
Situasi itu merembet pula pada perubahan relasi sosial dan gender akibat kegugupan menghadapi modernisasi.
Praktik itu seharusnya mampu mengetuk hati para pemerhati isu anak-anak. Namun, gerakan untuk menolak praktik itu terasa jauh dan sayup-sayup.
Praktik itu sebegitu jauh tak berhasil menumbuhkan kegemparan publik untuk melawannya.
Praktik kawin anak antara lain dianggap biasa, urusan domestik sebuah keluarga, atau bahkan dianggap bukan persoalan publik yang serius.
Penelitian Rumah KitaB
Penelitian-penelitian Rumah KitaB mencatat bahwa perkawinan usia anak-anak merupakan sebuah fenomena di mana anak perempuan menyerupai anak yatim piatu (secara) sosial.
Karakteristik yatim piatu yang dikenali secara umum dapat ditemui dengan jelas dalam karakteristik perempuan yang dikawinkan dalam usia muda.
Mereka tidak mandiri, jaringan sosial lemah, daya dukung lemah, tanpa perlindungan, tanpa kasih sayang, dan miskin.
Banyak perempuan yang masuk dalam perkawinan anak datang dari keluarga miskin. Orang tua mereka kehilangan kesanggupannya sebagai tempat anak dapat tumbuh kembang secara sehat, aman, dan bermartabat.
Orang tua mereka kehilangan daya dukung alam dan kehilangan dukungan sosial akibat perubahan ruang hidup dan penghidupan mereka serta perubahan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakatnya.
Perkawinan anak adalah fenomena yatim piatu sosial ketika orang tua, kaum kerabat, dan lingkungan sosial di sekitarnya lebih mengutamakan kepentingan dan posisi mereka.
Orang-orang dewasa di sekitar mereka berkutat dengan soal makan dan penjagaan nama baik atau bahkan memanfaatkannya untuk bertahan hidup melalui perkawinan anaknya.
Perkawinan anak kami sebut sebagai fenomena yatim piatu sosial karena negara juga setengah hati dalam menimbang mereka. Terutama sebagai prioritas program dan mengalah pada program pembangunan fisik infrastruktur.
Serta pada pembiaran kepada pandangan-pandangan agama dan kelembagaan sosi hukum, adat, dan tradisi yang melanggengkannya.
Membangun jalan, jalan tol, dan jembatan , penting, namun tak kalah penting membangun jembatan kehidupan.[]