Mubadalah.id – Nabawiyyah Musa adalah perempuan ulama dari Mesir. Ia menuntut dibukanya akses dan kesetaraan pendidikan bagi kaum perempuan di negerinya, sebagaimana Kartini dan Rahma el-Yunusia.
Dalam sebuah ceramah, Nabawiyyah Musa mengatakan:
“Aku berharap kaum perempuan Mesir bisa hidup dengan baik, mengapresiasi ilmu pengetahuan dan bekerja keras tanpa henti. Sampai tiba masanya aku dapat melihat lahirnya ratusan tokoh/pemimpin perempuan dalam negeri tercinta ini.”
Nama Nabawiyyah Musa masuk sebagai seorang aktivis gerakan perempuan yang sangat berjasa dalam sejarah pendidikan di Mesir.
Ia adalah perempuan yang cerdas. Ia masuk ke sekolah dengan cita-cita menjadi seorang guru. Sebuah ranah yang pada masanya didominasi oleh kaum laki-laki.
Selama hampir empat puluh tahun (1904-1946), pendidikan perempuan menjadi perhatian utamanya.
Berkat perjuangannya, kini kaum perempuan di negerinya mampu menempati jabatan-jabatan dalam berbagai bidang dan melewati semua jenjang pendidikan.
Sebelumnya, perempuan Mesir yang bekerja di bidang pendidikan ini hanya diizinkan sebagai guru, tidak sebagai kepala, manajer, atau supervisor.
Kerja keras Nabawiyyah Musa terbayar dan ia menjadi kepala sekolah pertama, pengawas pertama, dan manajer pertama di Mesir.
Ketika universitas swasta mulai beroperasi, ia dan dua orang perempuan pelopor lainnya, yaitu Malak Hifni Nasif dan Labiba Hasyim, Keduanya mendapatkan undangan untuk memberikan kuliah umum bagi perempuan dari kelas sosial tinggi, anak-anak bangsawan, dan pejabat tinggi.
Lalu, nama berikutnya ialah Nazhirah Zainuddin. Ia juga perempuan ulama sekaligus aktivis yang berani. Ia bekerja dan berjuang membela kaumnya yang dilemahkan, tertindas, dan terdiskriminasi.
Ia menggugat otoritas laki-laki dalam banyak hal, termasuk otoritas pengetahuan keagamaan yang seakan-akan hanya menjadi milik para laki-laki, dan tidak milik perempuan.
Bagi Nazhirah, perempuan adalah manusia dengan seluruh potensi kemanusiaannya, baik dalam dimensi akal budi (intelektual), spiritual, dan energi tubuh.
Oleh karena itu, menurutnya, perempuan mempunyai hak untuk menjadi penafsir teks-teks suci, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw. []