Mubadalah.id – Dalam sebuah nasihat pernikahan, khatib menyampaikan, “Karena sudah resmi, ananda berdua berhak untuk mendapatkan SIM, Surat Izin Memakai istri.”– joke seksisme dalam prosesi pernikahan.
Sebagai ibadah terlama seorang muslim, pernikahan seyogyanya harus kita persiapkan dengan matang, terutama pengetahuan terkait hak dan kewajiban suami istri yang ramah dan berkeadilan gender, yakni untuk membentuk relasi rumah tangga yang harmonis.
Namun, seringkali pengetahuan seperti ini dinomorsekiankan oleh pelaku pernikahan sendiri dengan alasan hak dan kewajiban suami istri sudah menjadi hal yang maklum di masyarakat.
Akhirnya, pembelajaran mengenai hak dan kewajiban rumah tangga hanya didapatkan ketika khutbah dan nasihat pernikahan disampaikan, di samping tradisi yang berlaku di lingkungan setempat.
Kisah di Kampung
Pada satu kesempatan mengikuti upacara pernikahan di kampung, pihak yang bertugas menjadi penasihat pernikahan menyampaikan bahwa, “Dari Abu Hurairah, berkata, Rasulullah ditanya tentang kriteria perempuan yang paling baik. Jawab Rasulullah, perempuan yang mematuhi kalau disuruh, menyenangkan kalau dilihat, dan menjaga martabat dirinya dan harta suaminya”.
Khatib kemudian menambahkan, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi ia tidak mematuhinya, maka para Malaikat akan melaknatnya sampai pagi”. Penyampaian nasihat pernikahan tersebut ditutup dengan joke “Karena sudah resmi, ananda berdua berhak untuk mendapatkan SIM, Surat Izin Memakai istri”.
Pertanyaannya, apakah nasihat pernikahan di atas menjamin lahirnya relasi yang harmonis dalam rumah tangga? Jawabannya, tentu tidak.
Dalam praktiknya, seringkali materi-materi yang mereka sampaikan dalam nasihat pernikahan justru menjadi boomerang yang melahirkan atau bahkan menguatkan pemahaman patriarkhi dalam relasi suami istri.
Pihak yang menyampaikan nasihat pernikahan akan mengutip ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis yang memuat penjelasan mengenai hubungan suami istri.
Di antara materi yang sering mereka sampaikan adalah hadis tentang istri shalihah, laknat atas istri ketika menolak keinginan suami, pentingnya izin suami ketika istri berpuasa sunnah atau keluar rumah, dan kewajiban suami menafkahi istri.
Seringkali, materi yang mereka sampaikan lebih banyak menuntut kewajiban perempuan daripada laki-laki. Kenyataan ini, semakin parah dengan tambahan joke-joke seksisme seperti mekanisme urusan ranjang, yang sangat menyudutkan perempuan.
Subordinasi Perempuan dalam Nasihat Pernikahan
Menurut Bu Nur Rofiah, untuk membangun relasi rumah tangga yang harmonis, ada beberapa prinsip dasar yang harus benar-benar suami istri pahami, yaitu:
Pertama, zawāj, yakni prinsip berpasangan, bukan relasi atasan dan bawahan, sehingga bisa membentuk pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Kedua, mītsāqan ghalīzan, pernikahan sebagai janji kukuh.
Ketiga, mu’āsyarah ma’rūf, yakni saling memberlakukan suami atau istri secara bermartabat dan baik.
Keempat, musyāwarah, saling berembug untuk mengupayakan kebaikan dalam rumah tangga.
Kelima, prinsip tarādhin, yakni saling mengupayakan kerelaan dan kenyamanan pasangan.
Dalam nasihat pernikahan, tiga kualifikasi kesalehan istri adalah hal yang seolah “wajib” untuk disampaikan. Yaitu perempuan yang patuh, yang menyenangkan, dan yang bisa menjaga harga diri.
Materi wajib ini, dalam konteks gender menempatkan kedudukan perempuan di bawah laki-laki dengan berbagai tuntutan sikap yang “baik” kepada suami. Tentu saja, penyampaian yang seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip keadilan gender dalam relasi rumah tangga.
Pemahaman subordinasi perempuan dalam rumah tangga sebagaimana yang mereka sampaikan dalam nasihat pernikahan di atas tidak sekedar karena bunyi hadis yang terkesan misoginis.
Faktor lain yang mempengaruhi adalah cara pandang sang penasehat yang masih tekstual dan konservatif dalam memahami sebuah teks. Sehingga tidak jarang dalam nasihat pernikahan muncul joke atau candaan yang sifatnya seksis dan menguatkan posisi subordinasi perempuan.
Lalu, apakah mungkin materi “wajib” yang biasa mereka sampaikan tersebut dapat kita pahami dengan prinsip keadilan gender? Jawabannya, tentu saja bisa.
Nasihat Pernikahan Berkeadilan Gender
Ada dua hal penting yang harus kita garisbawahi untuk menanamkan prinsip keadilan gender dalam relasi rumah tangga. Yaitu cara pandang yang berkeadilan gender dan prinsip mubadalah (kesalingan).
Maka, untuk bisa memunculkan nasihat pernikahan yang berkeadilan gender bagi pasangan suami istri. Penasihat pernikahan haruslah mereka yang mempunyai cara pandang yang progressif dan berkeadilan gender. Sehingga, dengan hadis yang sama, penyampaian dan pemahaman bisa berbeda.
Hadis “wajib” terkait kualifikasi kesalehan istri misalnya, tetap bisa kita sampaikan dengan pemaknaan yang berperspektif mubadalah. Jadi, bukan hanya perempuan yang harus patuh, tampil menyenangkan, dan menjaga diri. Laki-laki pun demikian.
Begitu juga, bukan hanya perempuan yang mendapat laknat ketika tidak mau melayani suaminya, laki-laki pun demikian. Tentu saja dengan memperhatikan situasi dan kondisi pasangan masing-masing. []