Mubadalah.id – Telah maklum bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun bukan oleh satu komunitas agama saja. Indonesia merekrut anggotanya bukan didasarkan pada kriteria keagamaan, tetapi pada nasionalitas.
Dengan perkataan lain, yang menemalikan seluruh warga negara Indonesia bukanlah basis keagamaan, melainkan basis nasionalitas (muwathanah).
Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil jerih payah seluruh warga bangsa, bukan hanya masyarakat Islam melainkan juga non Islam, bukan hanya masyarakat Jawa melainkan juga masyarakat luar Jawa.
Dengan nalar demikian, Indonesia tidak mengenal adanya warga negara kelas dua. Umat non-Islam Indonesia tidak bisa kita katakan sebagai dzimmi atau ahl al-dzimmah dalam pengertian fikih politik Islam klasik.
Oleh karena itu, menjadikan nasionalitas sebagai aksis atau poros di dalam perumusan hukum Islam khas Indonesia adalah niscaya.
Artinya, kenyataan nasionalitas Indonesia mestinya merupakan batu pijak dari hukum Islam. Ini penting kita lakukan. Sebab, sebagai agama mayoritas, Islam (dan segala urusan yang berkaitan dengannya) tidak pernah menjadi urusan umat Islam sendiri.
Apa yang terjadi pada Islam dan umatnya kerap membawa dampak yang besar buat orang lain (al-akhar). Tentu, upaya ini tidak gampang kita lakukan di tengah kecenderungan untuk menghidupkan secara perus-menerus hukum (fikih) Islam klasik.
Akan tetapi, tetaplah harus kita upayakan bahwa realitas pluralisme merupakan faktor determinan di dalam memformat hukum Islam Indonesia. Bahkan penafian terhadap realitas tersebut hanya akan menyebabkan hukum Islam yang terbentuk mengalami keguguran sejak awal. []