Mubadalah.id – Nostalgia di akhir ramadhan barangkali menjadi hal yang harus kita lakukan, terutama bersama ibu tercinta. Di Jawa bagian pantura wa bil khusus daerah Indramayu Cirebon, kami biasa memanggil ibu dengan sebutan Mimi. Ibuku, alias Mimiku telah wafat bertahun silam. Tepatnya pada 2007, di usiaku yang masih 23 tahun. Belum menikah, dan belum kelar kuliah sarjana. Meski 15 tahun sudah Mimi meninggalkan kami semua, namun kenangan akan hadirnya selalu saja meninggalkan jejak nostalgia di akhir Ramadan.
Sebagaimana laiknya para ibu, selama Ramadan bahkan hingga di penghujung dan jelang lebaran, Mimi selalu bangun paling awal, dan tidur paling akhir. Sejak ingatan mulai menggenap, aku melihat keuletan, kegigihan, ketekunan, dan semangat yang dibalut dengan cinta kasih pada anak-anaknya. Bahkan hingga aku beranjak remaja dan sudah bekerja, Mimi selalu memperhatikan makanan yang menjadi kesukaan anak-anaknya.
Mendaku Diri sebagai Santri
Mimi menikah dengan Mama melalui proses perjodohan antar orang tua. Mama yang baru pulang dari pesantren diminta mulang ngaji, menghidupkan mushala peninggalan para tetua keluarga besar. Dan Mimi menjadi salah satu santri Mama, yang ikut duduk rapi mengaji dan mengkaji Al Qur’an.
Usia Mama dan Mimi terpaut sepuluh tahun, namun rentang jarak usia tersebut tak menjadi penghalang untuk saling mencintai hingga akhir kehidupan. Di usia senja, setiap pergi ke manapun Mama selalu ingin ditemani Mimi. Selalu ada foto kebersamaan Mama dan Mimi yang terekam kamera, sesuatu yang langka pada masa itu.
Dan sesuatu itu yang menjadi teladan kami hingga kini, dalam kondisi Mama terbaring sakit, Mimi dengan khusu’ dan serius mengaji setor bacaan Al Qur’an atau kitab di samping Mama. Meski Mama terpejam dan nampak tertidur pulas, Mimi setia menungguinya sambil mendaras ayat-ayat suci. Diam-diam ketika aku melihatnya dari balik pintu, ada perasaan bangga dan haru. Meski tinggal dan hidup bersama sebagai suami istri, Mimi tetap mendaku diri sebagai santri.
Akhir Ramadhan dan Kue Lebaran
Di minggu terakhir Ramadan, aku melihat Mimi orang yang paling sibuk di rumah. Selain menyiapkan keperluan lebaran untuk kami, seperti membelikan baju baru, dan memastikan kebutuhan ke tujuh anaknya tidak ada yang terlewat satupun, Mimi juga akan disibukkan dengan membuat kue-kue lebaran yang dibikin dengan tangannya sendiri.
Ada banyak sekali jajanan masa kecil yang kini sulit aku temui, terutama yang dibuat di rumah, dan dimasak dengan cara sederhana. Biasanya Mimi, dengan dibantu Wa Mariah, rewang yang biasa membantu kami di rumah, akan membuat kue sagon yang terbuat dari parutan kelapa, yang disangrai dan dicampur gula serta tepung. Setiap kali makan sagon, mulut berasa penuh, dan melekat sampai langit-langit. Jika sedang iseng, kami sembur-semburkan sagon untuk bercanda dan bermain dengan teman-teman.
Menu kue lebaran lain yang dibuat Mimi adalah kacang gawil, atau kacang bawang. Berkilo-kilo kacang akan direndam lama, lalu digoreng hingga kering. Secara terpisah akan digorengkan bawang merah dan bawang putih, yang nantinya akan dicampurkan. Tugasku, dengan dibantu saudaraku yang lain, mendapat bagian memisahkan kacang dengan kulit yang masih menempel. Dengan direndam lama itu, kulit akan lebih mudah dikelupas.
Lalu jika lebaran berbarengan dengan musim buah Mangga. Maka praktis, Mimi akan membuat dodol pelem. Seluruh Mangga akan dikupas, dibuang bijinya, dan dagingnya dihancurkan secara manual dengan diiris tipis-tipis, lalu dimasukkan dalam wajan atau kuali yang besar. Bersamaan dengan itu, dimasukkan berkilo-kilo gula pasir. Dan kami akan bergantian mengaduk adonan tersebut, hingga kering, dan teksturnya menjadi lebih padat dan kenyal.
Ada satu lagi kue lebaran yang juga meninggalkan nostalgia tersendiri, yakni kue wajik. Terbuat dari kelapa parut dan gula merah, lalu entah ada campuran apa lagi. Biasanya kami mendapat bagian tugas membungkusnya dengan kertas warna-warni, yang aku lupa namanya. Dodol pelem juga sama, dibungkus dengan kertas warna-warni.
Jika seluruh produksi pembuatan kue lebaran selesai, kami akan mengeluarkan dan membersihkan toples-toples besar, lalu diisi dengan beragam panganan kue lebaran ini. Kalau semua toples sudah berjajar rapih di atas meja, artinya lebaran semakin dekat. Dan kami semakin tak sabar menunggunya tiba dengan penuh suka cita.
Ya, itulah kepingan nostalgia di akhir ramadhan bersama Mimi di setiap akhir Ramadan. Hingga sesak rasanya jika rindu sudah menyapa. Dan pusara, yang kami ziarahi setiap tahun di sore hari raya, menjadi pelipur rindu yang tak bisa berujung temu.
Doa-doa Mimi
Doa-doa yang Mimi rapalkan, bahkan hingga di detik-detik akhir jelang kematiannya saat dirawat di Rumah Sakit Zamzam Jatibarang Indramayu, untuk menjalani perawatan intensif, terus saja terngiang. Doa yang hingga kini melumuri kami semua dengan wasilah dan barakah cinta kasih Mimi pada kami anak-anaknya.
اَللهم اجْعَلْ اَوْلَادِي مِنْ اَهْلِ الْعِلْمِ وَاَهْلِ الْخَيْرِ وَلَا تَجْعَلْهُمْ مِنْ اَهْلِ السُّوْءِ وَاَهْلِ الضَّيْرِ . اَللهم بَارِكْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي وَاحْفَظْهُمْ لَاتَضُرَّهُمْ وَارْزُقْنِي بِرَّهُمْ اَللهم اَتِنِي رِضَاكَ فِي الدُّنْيَا وَالْاَخِرَةِ وَاخْتِمْ لَنَا بِالسَّعَادَةِ وَالشَهَادَةِ وَالْمَغْفِرَةِ
Artinya:
Ya Allah, jadikanlah anak – anakku sebagai ahli ilmu dan ahli kebaikan dan janganlah Engkau jadikan mereka sebagai ahli keburukan dan ahli madharat (bahaya). Ya Allah, berikanlah keberkahan pada keturunan – keturunanku dan peliharalah mereka, dan jangan timpakan keburukan kepada mereka dan karuniakan kepadaku kebaikan mereka. Ya Allah, berikan aku ridhamu di dunia, dan di akhirat, dan akhirilah hidup kami dengan kebahagiaan dan bacaan syahadat, dan ampunan dari-Mu.
Terimakasih Mimi, telah menjadikan masa kecilku sarat nostalgia, dan penuh kehangatan cinta kasih keluarga, yang kelak semoga kami bisa meneladani serta menyusuri jejak kebaikan yang Mama dan Mimi tinggalkan. Nostalgia di akhir ramadhan ini sangat berarti sekali.[]