Mubadalah.id – Dunia modern saat ini semakin penuh dengan dinamika dan keberagaman, manusia hidup berdekatan namun sering kali saling curiga. Dalam konteks ini, Nostra Aetate dokumen penting dari Konsili Vatikan II menjadi salah satu tonggak besar ajaran Gereja Katolik yang paling relevan bagi zaman modern.
Diterbitkan pada 28 Oktober 1965, Nostra Aetate yang berarti “Pada Zaman Kita” berbicara tentang hubungan Gereja Katolik dengan agama-agama bukan Kristiani. Dokumen ini menandai perubahan paradigma Gereja, yaitu dari pendekatan eksklusif menuju sikap terbuka dan dialogis.
Dalam Nostra Aetate, Gereja menyadari bahwa setiap manusia diciptakan oleh Allah yang sama dan bahwa dalam setiap agama terdapat sinar kebenaran dan kesucian. Dengan semangat ini, Gereja Katolik tidak lagi melihat agama lain sebagai lawan, tetapi sebagai rekan ziarah dalam pencarian akan Allah.
Nostra Aetate dan Semangat Zaman
Kehadiran Nostra Aetate dalam kehidupan yang beragam ini tidak lepas dari pengalaman pahit Perang Dunia II dan tragedi kemanusiaan yang mengguncang dunia. Gereja menyadari bahwa kebencian, rasisme, dan konflik agama hanya bisa takhluk dengan dialog dan penghormatan.
Dalam pembukaannya, Nostra Aetate menegaskan, “Dalam zaman kita, manusia makin erat satu sama lain dan hubungan antarbangsa semakin meningkat.” Dengan pengakuan itu, Nostra Aetate memanggil umat Katolik untuk berdialog dengan dunia dan agama lain demi kebaikan bersama. Gereja tidak lagi berbicara hanya kepada Gereja sendiri, tetapi ikut serta dalam percakapan besar umat manusia tentang makna hidup, kebenaran, dan keselamatan.
Pengakuan akan Kebenaran dalam Agama-agama Lain
Salah satu bagian paling penting dari Nostra Aetate berbunyi: “Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang benar dan suci dalam agama-agama ini.” (Nostra Aetate, 2)
Pernyataan ini membawa revolusi teologis. Bahwa Gereja mengakui rahmat Allah bekerja juga di luar batas-batas Gereja Katolik. Nostra Aetate mengajarkan bahwa mereka yang mencari kebenaran dengan tulus, apa pun agama mereka. Hal ini akan membawa agama-agama tersebut berjalan dalam terang Allah yang sama.
Dengan demikian, Nostra Aetate bukan relativisme, tetapi pengakuan akan misteri Allah yang melampaui segala batas manusia. Gereja tidak kehilangan imannya dalam Kristus, tetapi memperdalamnya melalui dialog dengan mereka yang berbeda.
Hubungan dengan Islam
Nostra Aetate secara khusus berbicara tentang Islam dengan penuh rasa hormat, “Gereja juga memandang umat Islam dengan hormat. Mereka menyembah Allah yang satu, yang hidup dan kekal, yang penuh belas kasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi.” (Nostra Aetate, 3)
Dengan pernyataan ini, Nostra Aetate menegaskan bahwa umat Katolik dan umat Islam sama-sama menyembah Allah yang Esa. Keduanya menghormati Abraham sebagai Bapa iman dan memiliki tradisi doa, puasa, serta amal kasih yang sama.
Melalui Nostra Aetate, Gereja mengajak umat Katolik untuk membangun dialog iman dan kasih dengan umat Islam. Gereja menekankan bahwa peran Gereja sendiri bukan hanya sekadar toleransi pasif, tetapi persahabatan yang aktif demi keadilan dan perdamaian.
Hubungan dengan Agama-agama Timur
Selain Islam, Nostra Aetate juga menyoroti hubungan Gereja dengan agama-agama Timur seperti Hindu dan Buddha. Dalam dokumen ini tertulis “Gereja tidak menolak apa pun yang benar dan suci. Ia memandang dengan hormat cara hidup dan ajaran yang sering kali mencerminkan pancaran kebenaran yang menerangi semua manusia.” (Nostra Aetate, 2)
Artinya, bahwa nilai-nilai seperti meditasi, kasih terhadap ciptaan, dan pencarian akan kebijaksanaan sejati merupakan jalan yang juga dapat menuntun manusia kepada Allah. Dengan demikian, Nostra Aetate mendorong umat Katolik untuk menghargai dimensi spiritual agama-agama lain sebagai sumber refleksi dan inspirasi rohani, bukan ancaman bagi iman Kristiani.
Spirit Dialog Kesalingan
Semangat utama Nostra Aetate adalah dialog, tetapi bukan dialog yang bersifat debat intelektual, melainkan dialog hati yang berakar pada kasih. Hal ini memiliki dasar pada perintah Yesus “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Markus 12:31)
Dalam terang Nostra Aetate, perintah kasih ini meluas melampaui batas agama. Dialog menjadi jalan Gereja untuk menghidupi kasih Kristus secara nyata di tengah masyarakat majemuk. Di sinilah Nostra Aetate sejalan dengan prinsip relasi antariman yang harus bersifat saling menghormati dan saling menghidupkan. Dalam dialog sejati, tidak ada pihak yang lebih tinggi, karena semua dipanggil untuk saling belajar mengenal Allah yang sama.
Tantangan dan Aktualisasi
Bertahun-tahun setelah diumumkan, dokumen ini tetap menjadi sumber inspirasi Gereja dalam menghadapi tantangan baru. Tantangan seperti intoleransi digital, ekstremisme, dan politik identitas membawa dampak yang tidak sedikit pula. Paus Leo XIV, seperti halnya Paus Fransiskus sebelumnya, terus menegaskan pentingnya semangat Nostra Aetate dalam membangun budaya perjumpaan.
Namun, tantangannya kini adalah bagaimana ajaran Nostra Aetate tidak berhenti pada teks, tetapi sungguh terlaksana dalam tindakan nyata. Kerja sama sosial lintas iman, kepedulian terhadap lingkungan, dan solidaritas dengan kaum miskin tanpa memandang agama harus mendukung terciptanya perdamaian.
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Matius 5:9)
Iman yang Terbuka
Ini bukan hanya dokumen teologis, tetapi roh pembaruan Gereja Katolik di dunia modern. Dokumen ini mengajarkan bahwa iman sejati tidak menutup diri dari perbedaan, melainkan menegaskan kasih Allah yang bekerja di dalamnya.
“Karena dari satu asal Allah menjadikan seluruh umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi.” (Kisah Para Rasul 17:26)
Melalui Nostra Aetate, Gereja memandang bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan rencana ilahi yang memperkaya manusia. Oleh karena itu, dokumen ini mengundang setiap umat Katolik untuk menjadi pembawa dialog dan damai, bukan karena strategi sosial, tetapi karena itulah cara Gereja menghidupi Injil di dunia.
Dengan semangat persaudaraan, Gereja Katolik mengulurkan tangan kepada semua agama, percaya bahwa di balik perbedaan, terdapat satu kasih yang sama: kasih Allah yang menyatukan seluruh umat manusia. []












































