Mubadalah.id – Ketua Majelis Musyawarah (MM) Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Nyai. Hj. Badriyah Fayumi mengatakan bahwa kegiatan KUPI baik yang besar dan tampak di publik, maupun yang kecil dan tersembunyi di ruang-ruang khidmah adalah bagian integral dari gerakan intelektual, sosial, kultural, dan spiritual ulama perempuan.
Semua itu, menurutnya bersandar pada visi besar yaitu terwujudnya kemaslahatan dan keadilan bagi setiap insan sebagai manusia seutuhnya dan sebagai subjek kehidupan sepenuhnya.
“Dalam pandangan KUPI, manusia, apa pun kondisinya, adalah makhluk yang utuh baik fisik, psikis, intelektual, spiritual, dan sosial. Laki-laki, perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas semuanya adalah subjek kehidupan sepenuhnya, bukan subjek sekunder, apalagi objek,” kata Nyai Badriyah dalam sambutannya dalam Konferensi Nasional “Memperkuat Peran Keulamaan untuk Hak-hak Disabilitas” yang digelar di Gedung UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon pada 21 Oktober 2025.
Pernyataan ini menjadi inti bahwa Islam yang adil tidak hanya membela yang kuat. Melainkan mengangkat harkat setiap manusia termasuk mereka yang selama ini hidup dalam keterbatasan struktural maupun kultural.
Gerakan Keadilan
KUPI, sejak lahirnya, bukan sekadar forum ulama perempuan yang berdialog tentang teks-teks agama. Ia adalah gerakan pengetahuan dan praksis sosial yang mengakar pada realitas kehidupan.
Nyai Badriyah menjelaskan bahwa salah satu misi penting KUPI adalah memproduksi pengetahuan secara partisipatoris dengan merujuk pada al-Qur’an, Hadis, pandangan ulama terdahulu, serta konstitusi negara. Karena ulama perempuan KUPI memandang diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang berkomitmen pada kemanusiaan.
Dalam setiap pandangan keagamaan dan fatwanya, KUPI selalu mempertimbangkan pengalaman manusia sebagai sumber pengetahuan, termasuk pengalaman perempuan dan penyandang disabilitas.
“Pengalaman manusia menjadi dasar produksi pengetahuan dan nilai-nilai gerakan KUPI. Ini meliputi rasa tidak hanya akal, tapi juga hati. Kita bicara tentang hati, tentang ma’ruf yang mencakup cita-cita dan rasa,” tegasnya.
Bagi KUPI, fakta-fakta sosial yang dihidupi masyarakat menjadi sumber rujukan penting agar perjuangan mewujudkan keadilan tidak berhenti di tataran wacana.
Nyai Badriyah menekankan bahwa kendala kultural dan struktural yang dihadapi kelompok rentan, termasuk difabel, harus dibaca secara jujur agar keulamaan tidak kehilangan relevansinya di tengah kehidupan nyata.
“KUPI hadir untuk membangun pengetahuan, mendakwahkannya, melakukan riset, edukasi, publikasi, dan advokasi kebijakan demi terwujudnya keadilan dan kemaslahatan bagi setiap manusia,” katanya.
Sinergi dengan UIN SSC
Kegiatan bersama UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, menurutnya, adalah bagian dari misi pertama KUPI — memproduksi dan mendakwahkan pengetahuan. Kegiatan ini juga erat kaitannya dengan misi kedua, yakni kaderisasi ulama perempuan di tingkat lokal, nasional, hingga internasional.
Bahkan, dengan dukungan lembaga pendidikan Islam seperti UIN SSC, gerakan keulamaan perempuan mendapatkan ruang ilmiah dan moral untuk tumbuh lebih luas.
Bagi KUPI, kemitraan dengan dunia akademik bukan sekadar formalitas. Ia adalah upaya strategis untuk menguatkan jembatan antara pengetahuan dan aksi, antara riset dan dakwah, antara teori dan perjuangan sosial.
Kolaborasi ini memastikan bahwa keulamaan perempuan tidak terjebak dalam ruang wacana elitis. Tetapi hadir nyata dalam advokasi, pendidikan, dan kebijakan publik yang menyentuh kehidupan masyarakat — termasuk para penyandang disabilitas.
Trilogi KUPI
Dalam konteks pemenuhan hak-hak disabilitas, Nyai Badriyah menguraikan Trilogi KUPI sebagai fondasi berpikir dan bertindak para ulama perempuan: Keadilan Hakiki, Mubadalah, dan Ma’ruf. Ketiganya menjadi kerangka teologis dan etis yang saling melengkapi dalam membangun masyarakat yang inklusif.
Dengan Keadilan Hakiki, kata Nyai Badriyah, KUPI berkomitmen untuk melahirkan pengetahuan dan fatwa yang benar-benar memberi keadilan bagi penyandang disabilitas, dengan mempertimbangkan kondisi khas dan harapan mereka sendiri. Keberpihakan ini bukan belas kasihan, tetapi pengakuan atas martabat yang setara.
Melalui Mubadalah, KUPI menegaskan prinsip kesetaraan dan timbal-balik dalam seluruh aspek kehidupan. Semua manusia penyandang disabilitas maupun bukan sama nilainya di sisi Allah, sebagai warga negara, dan sebagai manusia sosial. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi, karena kemuliaan diukur dari ketakwaan dan kemanusiaan, bukan dari kemampuan fisik.
Sementara Ma’ruf menjadi landasan etika universal. Ia mendorong setiap pemikiran dan kebijakan untuk mencerminkan kebaikan yang bisa diterima oleh semua pihak.
Ma’ruf, menurut Nyai Badriyah, adalah konsep yang menenangkan hati — karena ia menghadirkan kebaikan yang dirasakan bersama, terutama oleh mereka yang kerap terpinggirkan, termasuk kelompok disabilitas.
Islam sebagai Rahmat bagi Semua
Bagi Nyai Badriyah, tema konferensi ini — memperkuat keulamaan untuk hak-hak disabilitas — bukan sekadar isu tematik tahunan. Ia adalah panggilan moral Islam itu sendiri: rahmatan lil ‘alamin. Dalam pandangannya, perjuangan KUPI untuk inklusi disabilitas adalah bagian dari ibadah sosial, wujud cinta kasih yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada seluruh umat manusia tanpa kecuali.
“Islam tidak hanya berbicara tentang ritual, tapi tentang kemanusiaan. Keadilan bagi penyandang disabilitas adalah bagian dari keadilan hakiki yang kita perjuangkan bersama,” tegasnya.
Melalui Konferensi Nasional ini, KUPI bersama UIN SSC tidak hanya berdiskusi, tetapi juga membangun arah gerakan. Mereka meneguhkan komitmen bahwa keulamaan perempuan bukan hanya soal siapa yang berbicara di mimbar, tetapi tentang siapa yang berjuang di tengah masyarakat memperjuangkan mereka yang sering tidak terdengar suaranya.
Menuju Peradaban yang Berkeadilan
Dalam penutupnya, Nyai Badriyah menyerukan agar konferensi ini menjadi langkah nyata dalam membangun peradaban Islam yang adil dan berkeadilan sosial. KUPI, katanya, akan terus memproduksi pengetahuan, memperluas jaringan ulama perempuan, serta mendorong kebijakan publik yang berpihak pada kelompok rentan.
Karena bagi KUPI, perjuangan ulama bukan hanya menjaga kesucian teks, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya. Dan pada titik inilah, keulamaan perempuan Indonesia melalui konferensi nasional di Cirebon ini memperlihatkan wajah Islam yang sejati: Islam yang ramah, adil, dan mengakui setiap manusia sebagai makhluk yang utuh.
“Semua manusia adalah subjek kehidupan sepenuhnya. Dan tugas keulamaan kita adalah memastikan setiap mereka — tanpa kecuali — hidup dalam keadilan, kemaslahatan, dan kasih sayang,” tutupnya. []