Mubadalah.id – Pada tahun 1969, Organisasi Kerja Sama Islam (OIC) dibentuk sebagai respons terhadap pembakaran Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Sebagai organisasi yang mewakili negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, OIC memainkan peran penting dalam politik internasional dengan memperjuangkan kepentingan umat Islam dan memperkuat solidaritas di antara negara-negara anggotanya.
Identitas Islam menjadi fondasi utama pembentukan OIC, yang memperkuat solidaritas dan kerjasama antar negara anggota dalam mencapai tujuan bersama untuk mempromosikan nilai-nilai Islam di kancah global.
Pembentukan OIC terdorong oleh kebutuhan kolektif negara-negara Islam untuk menghadapi tantangan eksternal. Seperti ancaman terhadap tempat suci Islam, dan meningkatkan posisi tawar mereka di kancah internasional.
Dukungan dari negara-negara besar dalam dunia Islam serta pengakuan internasional sebagai suara kolektif umat Islam memberikan legitimasi kepada OIC. Organisasi ini berhasil mempertahankan legitimasi dengan aktif mempromosikan kepentingan umat Islam dan menjaga solidaritas di antara negara anggotanya.
Perjuangan Palestina Merdeka
Salah satu kepentingan utama umat Islam yang OIC perjuangkan hingga saat ini adalah berdirinya negara Palestina merdeka. Perjuangan ini semakin berat ujiannya sejak meletusnya Perang Gaza pada Oktober 2023. OIC telah mengadakan beberapa pertemuan untuk mengatasi konflik yang lebih luas ini.
Pertemuan-pertemuan tersebut berfokus pada mengutuk tindakan Israel, menyerukan gencatan senjata segera, dan menekankan perlunya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi ini telah berjuang untuk menegakkan tindakan nyata dalam menghentikan kekerasan atau meringankan situasi kemanusiaan. Namun, meskipun ada diskusi-diskusi ini, dampak nyata dari pertemuan OIC masih terbatas.
Selama pertemuan darurat pada bulan Oktober, OIC mengutuk operasi militer Israel di Gaza. Mereka menyoroti krisis kemanusiaan yang parah dan kebutuhan mendesak akan intervensi internasional. Negara-negara anggota secara kolektif menuntut pembukaan koridor kemanusiaan untuk memfasilitasi pengiriman bantuan dan pasokan medis ke Gaza.
Keterbatasan dalam implementasi kebijakan ini menyoroti tantangan yang OIC hadapi dalam menegakkan tindakan nyata dan efektif untuk menghentikan kekerasan serta meringankan situasi kemanusiaan di wilayah konflik.
Kritik atas Peran OIC
Dalam membahas peran OIC, beberapa pengamat menyoroti bahwa pernyataan-pernyataan yang organisasi ini keluarkan sering kali signifikan secara simbolis. Namun kurang memiliki mekanisme penegakan yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan nyata di lapangan.
Hashem Ahelbarra dari Al Jazeera menekankan bahwa kurangnya konsensus di antara anggota OIC menyebabkan pernyataan mereka lebih banyak bersifat simbolis dan tidak memiliki hasil yang dapat ditindaklanjuti. Dia mencatat bahwa komunike dari KTT tersebut sering kali berisi kata-kata yang samar dan tidak memiliki mekanisme untuk menegakkan gencatan senjata atau membentuk koridor kemanusiaan di Gaza.
Hossam Zaki, Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab, mencatat bahwa upaya para pemimpin Arab dan Muslim untuk menghentikan agresi dan mendukung Palestina sering kali terhalang oleh tidak adanya strategi yang dapat ditindaklanjuti. Hal ini telah menjadi tema berulang dalam pertemuan-pertemuan OIC, mencerminkan perjuangan organisasi ini untuk melampaui deklarasi simbolis menjadi tindakan konkrit yang dapat menangani konflik seperti situasi di Gaza secara efektif.
Misalnya, Arab Saudi dan Turki telah menyatakan dukungan lisan yang kuat terhadap perjuangan Palestina. Namun pendekatan praktis mereka berbeda secara signifikan karena kepentingan geopolitik dan strategi regional mereka.
Teori Strong-Cognivitsm
Arab Saudi telah menyerukan penghentian operasi militer dan menekankan bantuan kemanusiaan. Sementara Turki secara vokal mengutuk tindakan Israel dan menyerukan gencatan senjata segera. Perbedaan pendirian ini mencerminkan tantangan yang lebih luas di OIC dalam menyelaraskan kepentingan nasional dengan tindakan kolektif.
Teori Strong-Cognitivism dalam hubungan internasional menekankan bahwa persepsi, identitas, dan pemahaman bersama memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan luar negeri dan dinamika antar negara dalam sebuah rezim. Dalam konteks OIC, teori ini relevan karena organisasi ini terbentuk berdasarkan identitas keagamaan Islam dan persepsi kolektif.
Dalam kerangka teori strong-cognitivism, OIC sebagai organisasi terdorong oleh identitas kolektif dan persepsi bersama tentang isu-isu yang mempengaruhi dunia Muslim, seperti konflik Palestina-Israel. Namun, kepentingan nasional yang berbeda di antara negara anggotanya, seperti Arab Saudi, Turki, dan Mesir, menunjukkan bahwa solidaritas tersebut tidak selalu diterjemahkan ke dalam tindakan yang seragam. Setiap negara memiliki pendekatan berdasarkan kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan mereka.
OIC Sebagai Reuni Keluarga
OIC dapat kita ibaratkan sebagai sebuah reuni keluarga tahunan. Semua anggota keluarga datang dari berbagai penjuru membawa cerita dan kepentingan mereka sendiri. Di permukaan, mereka terlihat bersatu dalam semangat kekeluargaan dan solidaritas. Namun, seperti dalam reuni keluarga mana pun, ada dinamika dan kepentingan pribadi yang sering kali lebih dominan daripada ikatan simbolis mereka.
Dalam reuni ini, kita melihat negara-negara seperti Arab Saudi, Turki, dan Mesir duduk bersama di meja utama. Mereka tampak akrab dan penuh solidaritas, berbicara tentang identitas keagamaan Islam yang menyatukan mereka.
Namun, di balik senyum dan salam hangat, masing-masing negara ini memiliki agendanya sendiri, sering kali lebih dipengaruhi oleh kepentingan nasional daripada identitas keagamaan yang mereka klaim sebagai dasar persatuan.
Arab Saudi, misalnya, sering berusaha tampil sebagai pemimpin keluarga dengan pengaruh dan kekayaan yang besar. Secara resmi, mereka mendukung hak-hak Palestina dan mengecam Israel. Namun, di balik layar, mereka menjalankan diplomasi rahasia dengan Israel, terutama untuk melawan pengaruh Iran di kawasan.
Kepentingan strategis dan politik domestik Arab Saudi jelas lebih dominan dalam membentuk kebijakan luar negerinya. Identitas keagamaan Islam dalam kasus ini lebih merupakan bendera yang dikibarkan untuk menjaga citra di mata dunia Muslim.
Turki, di bawah kepemimpinan Erdoğan, kerap vokal dalam mendukung Palestina dan mengecam Israel secara terbuka. Namun, dukungan ini sering kali terkait dengan upaya Turki untuk memperkuat posisinya sebagai pemimpin dunia Muslim dan memperluas pengaruh geopolitiknya.
Tersandera Kepentingan Nasional
Hubungan Turki dengan Israel pun mengalami pasang surut tergantung pada kepentingan politik dalam negeri dan strategi regionalnya. Retorika keagamaan menjadi alat politik untuk meraih dukungan domestik dan internasional, namun tidak selalu mencerminkan tindakan diplomatik yang konsisten.
Lalu ada Mesir yang duduk di antara Arab Saudi dan Turki mencoba menjaga keseimbangan. Mesir memiliki perjanjian damai dengan Israel dan memainkan peran sebagai mediator dalam konflik Palestina-Israel.
Kepentingan nasional Mesir terutama terkait stabilitas regional dan keamanan di perbatasannya dengan Gaza lebih berpengaruh dalam menentukan kebijakan luar negerinya. Meskipun Mesir menyuarakan solidaritas dengan Palestina, langkah-langkah praktisnya sering kali lebih pragmatis, fokus pada kepentingan strategisnya sendiri.
Indonesia dan Malaysia, dua sepupu yang selalu kompak dalam reuni ini, juga membawa kepentingan nasional masing-masing ke dalam meja perundingan. Indonesia dengan sikapnya yang moderat dan damai sering kali menjadi penengah. Namun tetap memprioritaskan stabilitas dan hubungan internasional yang saling menguntungkan dengan pendukung Israel.
Malaysia, dengan semangatnya yang berapi-api, mendukung Palestina dengan kuat namun juga mempertimbangkan stabilitas ekonominya dan peran aktifnya dalam diplomasi regional.
Identitas keagamaan Islam memang menjadi simbol persatuan OIC, tetapi dalam praktiknya kepentingan nasional sering kali menjadi penggerak utama dalam diplomasi dan hubungan internasional mereka.
Negara anggota OIC datang ke reuni dengan argumen kerukunan yang hebat. Namun, ketika pertemuan selesai, mereka semua kembali ke kehidupan masing-masing, mengetahui bahwa di tahun berikutnya mereka akan berkumpul lagi, bersatu dalam semangat simbolis yang sama.
Kesimpulan
OIC memainkan peran penting dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam dan memperkuat solidaritas di antara negara-negara anggotanya. Namun, tantangan yang OIC hadapi dalam mengimplementasikan kebijakan yang efektif menunjukkan bahwa identitas kolektif dan legitimasi simbolis tidak selalu cukup untuk menghasilkan tindakan nyata di lapangan.
Perbedaan kepentingan nasional dan kurangnya mekanisme penegakan yang kuat menjadi hambatan utama dalam mencapai tujuan bersama. Identitas keagamaan Islam tetap menjadi fondasi persatuan, tetapi dalam praktiknya, kebijakan luar negeri masing-masing negara lebih dipengaruhi oleh pertimbangan strategis dan pragmatis mereka. []