Mubadalah.id – Dalam fiqh madzhab Syafi’i orang yang memiliki kekuasaan atau hak ijbar adalah ayah atau (kalau tidak ada), kakek. Jadi apabila seorang ayah dikatakan sebagai wali mujbir. Maka dia adalah orang yang mempunyai kekuasaan atau hak untuk mengawinkan anak perempuannya. Meskipun tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan, dan perkawinan ini dipandang sah secara hukum.
Hak Ijbar dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan atau tanggungjawab ayah terhadap anaknya, karena keadaan dirinya yang dianggap belum/ tidak memiliki kemampuan atau lemah untuk bertindak.
Dari segi akibat hukum, maka antara Ikrah dan Taklif memiliki perbedaan yang berlawanan. Memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu dengan secara ikrah dapat dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Jika perbuatan yang dipaksakan tersebut dilaksanakan, maka perbuatan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Sebaliknya memaksa orang lain untuk mengerjakan sesuatu secara taklif. Justru merupakan pahala, karena termasuk dalam katagori amar ma’ruf nahi munkar atau dalam bahasa yang lebih umum pemaksaan tersebut dipandang dalam rangka penegakan hukum. Penolakan atas paksaan ini merupakan pelanggaran hukum, pelakunya berdosa atau harus mendapat hukuman.
Persoalan Ijbar dan Wali Mujbir
Kembali pada persoalan Ijbar dan Wali Mujbir. Dalam wacana yang berkembang secara umum, istilah wali mujbir bisa kita maknai sebagai orang tua yang memaksa anaknya untuk kawin atau menikah dengan pilihannya, bukan pilihan anaknya.
Oleh karena itu dalam tradisi yang ada dalam masyarakat kita dan masih berlaku sampai hari ini kemudian terkenal dengan istilah “kawin paksa”, satu istilah yang memiliki konotasi ikrah. Pemaknaan ijbar dengan konotasi ikrah tentu saja tidak tepat.
Dengan memahami makna Ijbar di atas, maka sebenarnya kekuasaan seorang ayah terhadap seorang perempuan untuk menikah dengan seseorang laki-laki, Bukanlah suatu tindakan memaksakan kehendaknya sendiri dengan tidak memperhatikan kerelaan sang anak, melainkan hak mengawinkan.
Jadi bukan hak memaksakan kehendak atau memilik pasangan (jodoh). Sebab Ijbar seorang ayah lebih bersifat tanggungjawab belaka, dengan asumsi dasar anak perempuannya belum. Atau tidak memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri. Dalam pengertian seperti inilah, maka hak ijbar ayah terhadap putrinya. []