• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Papua, Tak Kenal Maka Tak Sayang

Zahra Amin Zahra Amin
20/06/2020
in Publik
0
(sumber foto pixabay.com)

(sumber foto pixabay.com)

27
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Pepatah “tak kenal maka tak sayang”, kerap kita dengar sejak kecil setiap kali bertemu teman baru, atau harus beradaptasi dengan tempat yang baru. Kalimat ini tetiba hadir kembali, ketika saya mengingat bagaimana pertama kali bertemu dan berkawan karib dengan orang-orang Timur Indonesia, khususnya Papua.

Perjumpaan dengan orang Papua dan orang Timur lainnya, memang baru saya alami di tahun 2017, ketika acara Sahur Keliling bersama Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid di Indramayu, dan mulai aktif sebagai anggota Koalisi Perempuan Indonesia.

Pemberitaan dari media yang bagaimana menceritakan kekerasan begitu lekat dengan masyarakat Timur, dan secara penampilan yang kadang membuat saya pribadi merasa takut. Dulu, saat masih menempuh pendidikan di Yogyakarta, setiap kali menggunakan jasa angkutan umum, dan ada mahasiswa dari Papua yang masuk, refleks orang yang satu kendaraan menghindar untuk duduk berdekatan. Saya yang tidak tahu alasannya, malah ikut-ikutan.

Stigma terhadap orang Papua, dan konflik kemanusiaan yang berkepanjangan di sana, akibat salah urus pemerintah Indonesia dari masa ke masa, membuat alam bawah sadar kita secara tidak langsung ikut menghakimi apa yang sebenarnya tidak mereka inginkan.

Semakin mengenal dan dekat dengan orang Papua serta Timur lainnya, runtuh pula segala stigma yang terlanjur melekat di benak kita. Terlebih dengan mengenal lebih dekat Abang Yosep Leo Subay dari Papua, Kak Welly Kono, dan Aida Nafisah dari NTT yang hangat dan menyenangkan. Selalu menebarkan semangat serta senyum ceria.

Baca Juga:

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Ingatan saya terlempar, ketika bersama-sama menghandle satu kegiatan di organisasi. Saya bisa asyik bercengkrama, bersenda gurau, dan bahkan sering pula tinggal dalam satu kamar saat giat di luar kota. Sesuatu yang dulu mungkin tak pernah terbayangkan sama sekali akan saya lakukan. Tak ada rasa takut dan cemas yang berlebihan, malah yang ada kami bisa saling bercerita, dan mentertawakan atas kekonyolan yang terjadi.

Atau pernah suatu kali, mendengar Abang Subay tak sadarkan diri dan masuk rumah sakit. Kami merasa cemas. Tak hanya saya, tetapi semua orang yang mengenalnya dengan baik. Lalu ketika diberi kesempatan untuk membezuknya di rumah sakit itu, tangis saya pecah. Ada rasa takut kehilangan yang sulit dibahasakan, dan saya bersyukur orang-orang baik itu masih dalam lindunganNya, masih menebar semangat dan manfaat hingga hari ini.

Maka ketika membaca kembali baris-baris kalimat dalam buku “Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian” yang ditulis dengan sangat lugas oleh Francis Fukuyama, dalam beberapa hal mengingatkan saya dengan pengalaman sendiri, dan bagaimana sering kali kita menilai serta memperlakukan salah orang Papua dan Timur lainnya, atau istilah kini yakni rasis dan diskriminatif.

Dalam buku itu tertulis, Keaslian diri batiniah orang kulit hitam Amerika tidaklah seperti orang kulit putih, tetapi dibentuk oleh pengalaman untuk tumbuh sebagai orang kulit hitam dalam masyarakat putih yang tidak bersahabat. Pengalaman ini ditentukan unsur kekerasan, rasisme, fitnah, dan tidak bisa dihargai oleh orang-orang yang tumbuh secara berbeda.

Catatan tersebut ditulis Francis Fukuyama, yang diangkat dari gerakan Black Lives Matter hari ini, yang muncul sebagai respons terhadap kekerasan polisi di Ferguson (Missouri), Baltimore, New York, dan kota-kota Amerika lain. Gerakan ini meluas dari waktu ke waktu, mulai dari tuntutan keadilan bagi para korban individu hingga upaya untuk membuat orang sadar akan sifat kehidupan sehari-hari bagi orang kulit hitam Amerika.

Apa yang terjadi di Amerika, juga merambah ke Indonesia. Jika menilik pengalaman saya di atas, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana memperbanyak ruang perjumpaan, agar semakin kenal dan saling sayang dengan siapapun, dan dari manapun asalnya. Bukan lagi membahasakan perbedaan, tetapi menghargai keberagaman yang otentik dan genuine dari kekayaan, warisan dan tradisi kita sebagai bangsa Indonesia, yang merupakan bagian dari warga dunia secara lebih luas. []

Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID