Mubadalah.id – Jika merujuk catatan sejarah, maka banyak ulama besar yang belajar dan berguru kepada para perempuan ulama.
Sejarah perempuan ulama tersebut terdokumentasi secara baik dalam banyak karya biografi yang ditulis oleh para sejarawan Islam terkemuka sebagaimana sudah dikemukakan. Teramat sulit bagi kita untuk mengingkari kenyataan tersebut.
Sayang sekali, sesudah itu, sejarah peradaban Islam malah memasukkan kembali kaum perempuan ke dalam kerangkeng-kerangkeng rumahnya. Kaum perempuan didomestikasi. Aktivitas perempuan hanya di dalam rumah, menunggu dan melayani.
Bahkan, potensi intelektualnya beku, tidak berkembang. Aktivitas intelektual terbatas. Jika pun diberi ruang untuk belajar, maka sebatas bisa membaca dan menulis.
Pengajaran kepada mereka terbata untuk dapat belajar shalat, puasa, zakat, haji, haid, nifas, dan isu-isu reproduksi lainnya.
Kerja-kerja sosial-politik-kebudayaan mereka terpasung. Mereka tidak boleh menduduki posisi pengambil kebijakan publik atau politik. Perempuan tidak boleh menjadi hakim pengadilan, pemimpin daerah, apalagi kepala negara/pemerintahan.
Tidak hanya itu, mereka bahkan tidak boleh keluar dari rumahnya, kecuali bersama keluarganya. Sebab, dalam pandangan publik, keberadaan perempuan di ruang publik bisa menjadi petaka sosial.
Tak pelak, perempuan-perempuan Islam pada gilirannya tenggelam dalam timbunan tumpukan sejarah laki-laki.
Mereka terlupakan dan terpinggirkan (al-muhammasyat) dari sosial-kebudayaan-politik. Sistem sosial patriarkis kembali menguasai domain pikiran publik dengan sangat dominan.
Konon, itu mereka lakukan atas nama kasih sayang, perlindungan, dan penghormatan terhadap perempuan.
Dengan kata Jain, sikap dan tindakan tersebut ia lakukan agar mereka tidak menjadi sumber “fitnah” (kekacauan sosial atau mengganggu ketertiban masyarakat). []