• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah

Para Perindu Nabi

Rasulullah telah pergi, tapi tak pernah benar-benar pergi dari hati orang-orang yang mencintainya. Kerinduan terhadap Nabi telah membawa satu harapan tertinggi. Kelak mereka akan bertemu kembali.

Een Suryani Een Suryani
08/11/2020
in Khazanah, Sastra
0
Makna Hijrah dalam Lingkup Keluarga

Makna Hijrah dalam Lingkup Keluarga

325
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Rasulullah telah wafat, tetapi kenangan tentangnya tak pernah pergi. Tak ada yang sanggup menceritakan dengan kata-kata betapa para sahabat dan kaum muslimin berduka. Para penulis syair seakan kehabisan tinta untuk membuat puisi. Setiap sahabat harus berjuang dengan cara masing-masing untuk mengatasi rasa kehilangan akan sosok yang agung itu.

Namun, semua usaha terasa sia-sia bagi Bilal. Di setiap sudut Madinah yang ia lihat adalah sosok sang Nabi. Air mata selalu mengalir setiap memasuki Masjid Nabawi. Ia menyaksikan bayangannya sendiri menemui Nabi setiap waktu shalat tiba, atau Nabi sendiri yang datang memintanya azan. Mereka lakukan itu setiap lima kali sehari. Setiap Bilal naik menara untuk azan, ia pasti melirik Nabi di bawah sana sedang tersenyum menatapnya.

Kenangan itu terlalu membekas. Sejak Rasul pergi, ia berhenti mengumandangkan azan. Tak ada yang bisa memerintahnya, termasuk Khalifah Abu Bakar. Bilal sudah memutuskan cara terbaik untuk berdamai dengan kehilangan adalah pergi dari Madinah. Ia menemui Khalifah Abu Bakar untuk meminta izin. Ia ingin menetap di tanah Syam.

“Haruskah engkau pergi sejauh itu ya Bilal?” Abu Bakar tak bisa menahan kesedihan mendengar sahabat Rasulullah yang terompahnya telah terdengar di surga itu akan pergi meninggalkan Madinah.
“Aku selalu melihat Rasulullah ke mana pun melangkahkan kaki di kota ini.”Air mata Bilal merebak. Sahabat Abu Bakar terdiam. Ia tahu perasaan itu. Kalau saja di pundaknya tak ada beban untuk meneruskan kepemimpinan Rasulullah, mungkin ia ingin mengasingkan diri seperti Bilal.

Pribadi Nabi sangat istimewa. Tak pernah ada yang bosan memandang wajahnya, seperti tak ada yang ingin segera beranjak pergi ketika mendengar suaranya. Siapa pun akan merasa aman di dekatnya. Akhlaknya terlalu memikat. Setiap orang merasa paling dicintai Nabi walau sebentar saja baru mengenalnya. Abu Bakar tak bisa menahan kepergian Bilal. Mereka berpisah dengan janji setia sebagai sahabat maupun sebagai umat terhadap pemimpinnya.

Baca Juga:

Tafsir Sakinah

Islam Menolak Kekerasan, Mengajarkan Kasih Sayang

Kisah Ibunda Hajar dan Sarah dalam Dialog Feminis Antar Agama

Menyemarakkan Ajaran Ekoteologi ala Prof KH Nasaruddin Umar

Hari-hari terus berlalu bagai anak-anak panah yang melesat. Bilal menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah berharap akan bertemu lagi dengan Rasulullah di akhirat kelak. Sampai suatu malam ia bermimpi didatangi Nabi. Seakan nyata, sosok agung itu menghampirinya dan berkata, “Alangkah kerasnya hatimu wahai Bilal! Kenapa lama sekali kau tak datang mengunjungiku?”

Bilal terbangun dengan tetes-tetes keringat. Antara bahagia dan sedih ia bisa berjumpa dengan Nabi. Benarkah Nabi ingin ia mengunjunginya? Bukankah sudah lama ia tak mengunjungi rumah sekaligus kubur Nabi di Madinah? Kerinduan seketika meluap. Bilal segera berkemas. Ia menyiapkan seeokor unta untuk mengunjungi Madinah.

Kedatangan Bilal disambut hangat Abu Bakar. Umar Bin Khatab dan beberapa sahabat seangkatannya ikut berkumpul di Masjid Nabawi. Segera saja mereka teringat dengan Rasulullah. Tak ada yang bisa menyembunyikan air mata yang menetes pada pertemuan hari itu.

“Wahai Bilal, bisakah engkau mengumandangkan azan selagi kita berkumpul hari ini? Kami ingin mengenang hari-hari indah bersama Rasul dengan mendengar suaramu,” pinta salah satu sahabat. Bilal hanya menggeleng lemah. Ia tak mau melakukan suatu hal yang bisa membangkitkan kenangan terindahnya bersama Nabi.

Sampai beberapa waktu kemudian datanglah dua cucu kesayangan Nabi. Bilal segera mencium dan memeluk mereka. Hasan dan Husen sangat mirip kakeknya. Mereka menatap Bilal penuh harap, “Bukankah engkau muazin kakek kami? Maukah engkau azan untuk kami?”

Seandainya bukan karena cucu Nabi yang meminta, pastilah Bilal sudah menolaknya. Ditariknya napas panjang. Sudah lama ia tidak naik menara. Semua orang yang berkumpul merasa gembira sekaligus cemas. Melihat Bilal naik, orang-orang berkumpul mendekat. Masjid Nabawi penuh dengan kaum muslimin yang ingin mendengar suara Bilal.

Lagi-lagi Bilal tak kuasa menahan tangis. Ia ingat bagaimana hari-harinya bersama Nabi. Sesampainya di menara, ia seakan melihat Nabi di bawah sana berdiri dan tersenyum. Bilal terdiam cukup lama, sementara kaum muslimin semakin penuh sesak. Dengan menguatkan hati Bilal memulai azannya. “Allahuakbar … Allahuakbar ….”

Pertahanan Bilal runtuh. Air mata berhamburan. Kaum muslimin terdiam. Wajah mereka telah basah. Inilah azan yang selalu mereka dengar saat bersama Rasul. Kota Madinah mendadak hening. Suara Bilal telah menghentikan orang-orang dari semua aktivitasnya. Mereka berhamburan menuju masjid. Para Ibu membawa serta anak-anaknya. Mereka berlari kencang dan berkata, “Apakah Rasulullah telah dibangkitkan kembali?”

“Allahuakbar Allahuakbar ….” Suara Bilal kembali menggetarkan Madinah. Hanya isakan tangis yang memenuhi udara.
“Asyhaduallailahailallah … Asyhaduallailahailallah …” Bilal berhenti sejenak. Dadanya semakin sesak.
“Waasyhaduanna Muhammadu ….” Bilal tak sanggup lagi. Ia tak bisa melanjutkan menyebut nama Nabi dalam azannya.

Berapa kali pun mencoba, Bilal tak bisa mengeluarkan suaranya. Hanya isak tangis yang menggema. Para sahabat dan kaum muslimin menyeka air mata. Bilal tak pernah mengumandangkan azan lagi sepanjang hidupnya. Mereka menjadi saksi bahwa manusia agung itu telah mengubah kegelapan menjadi cahaya. Rasulullah telah pergi, tapi tak pernah benar-benar pergi dari hati orang-orang yang mencintainya. Kerinduan terhadap Nabi telah membawa satu harapan tertinggi. Kelak mereka akan bertemu kembali.

Anas Ra mengatakan, “Kami tidak pernah merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda Rasulullah, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’

Anas Ra mengatakan, ‘Saya mencintai Nabi Saw, Abu Bakar dan Umar. Saya berharap bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka meskipun saya tidak mampu melakukan amalan yang mereka lakukan.’ (HR. Bukhari)

Tags: islamMaulid Nabisahabat nabiSejarah Nabi
Een Suryani

Een Suryani

Bekerja di Kementerian Agama Kabupaten Kuningan

Terkait Posts

Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Boys Don’t Cry

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

2 Juli 2025
Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Fikih Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

1 Juli 2025
amar ma’ruf

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Boys Don’t Cry

    Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu
  • Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID