Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan salah satu tokoh di Syria, Syekh Muhammad al-Habasy, tentang kepemimpinan perempuan, maka beliau pernah memuji negara-negara Islam yang memberi kesempatan perempuan berpartisipasi aktif untuk menjadi pemimpin dan mengelola negara.
Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh disebutnya sebagai negara-negara yang patut diapresiasi karena pernah dipimpin perempuan.
Fakta dan realitas ini, jika menurut kebanyakan orang dianggap anomali, menurutnya, justru adalah bagian integral dari ajaran Islam.
Setidaknya pemimpin perempuan harus kita anggap sebagai bagian dari praktik keislaman yang otoritatif yang patut kita dukung dan apresiasi.
Sementara banyak orang masih terkungkung dengan pemahaman literal dari Hadis Imam Bukhari yang menyatakan bahwa “Bangsa yang perempuan pimpin tidak akan sejahtera”.
Teks Hadis ini sesungguhnya sudah didiskusikan maknanya oleh berbagai ulama sejak awal kemunculannya.
Sehingga tidak boleh kita mengatakan bahwa larangan perempuan memimpin sebuah negara, organisasi, atau komunitas, adalah pandangan mutlak dalam hukum Islam.
Tafsir Kontemporer Ulama Perempuan
Hibah Rauf Izzat, seorang profesor kajian politik Islam, mendiskusikan berbagai pandangan ulama fikih, baik klasik maupun kontemporer, dalam bukunya al-Marah wa alAmal al-Siyisi: Ru’yah Islamiyyah (1995).
Menurut Izzat, teks Hadis ini bersifat kasuistik dan kontekstual, dan sedang bercerita, bukan sedang menetapkan norma hukum.
Sebagai kasus dan berita, teks Hadis ini sedang meramal kehancuran sebuah kerajaan yang dipimpin seorang perempuan, putri seorang raja yang masih kecil saat itu.
Raja Kisra, yang menyobek surat dari Nabi Saw. yang dikirim kepadanya, menjadi raja dengan membunuh ayah dan saudara-saudaranya. Ia meninggal karena mereka racun.
Sebelum meninggal, ia mengangkat putrinya yang masih belia, lemah, dan tanpa dukungan politik yang memadai menjadi raja.
Putri inilah yang mereka sebutkan dalam teks Hadis Nabi Saw.: “Bahwa kaumnya tidak akan sukses dengan kepemimpinannya,”
Karena itu, teks Hadis tersebut bersifat informatif dan tidak boleh menjadi dasar untuk melarang perempuan menjadi pemimpin negara. []