Mubadalah.id – Perempuan adalah manusia yang harus dimanusiakan, bahwa perempuan juga bisa berkiprah di ranah publik. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, masalah pemimpin perempuan dalam ranah politik masih banyak ditolak oleh sejumlah pihak. Dengan alasan karena dasar agama yang katanya tidak menganjurkan kepemimpinan jatuh ke tangan seorang perempuan.
Dalil andalan mereka: “al-Rijalu qawwamuna ‘ala al-Nisa bima fadldlala Allah ba’dluhum ‘ala ba’dlin wa bima anfaqu min amwalihim”. (Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan lantaran Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka).
Padahal jika maknanya ditelisik secara mendalam, penggalan ayat di atas dalam arti khusus justru lebih sesuai dengan konteks uraian ayat, yaitu kehidupan rumah tangga. Apalagi lanjutan ayat tersebut menegaskan sebab kepemimpinan itu, yakni di antaranya karena lelaki berkewajiban menanggung biaya hidup istri/keluarga mereka masing-masing.
Nasaruddin Umar, salah seorang feminis Muslim laki-laki di Indonesia, mengemukakan bahwa dalam ulumul Qur’an, jika suatu ayat atau hadits yang secara khusus mempunyai riwayat asbabun nuzul (historical background), tidak bisa serta merta langsung diterapkan. Lagi pula, ayat tersebut memberikan legitimasi pemimpin dengan menyertakan syarat hanya bagi laki-laki yang memiliki keunggulan. Sementara keunggulan itu, bisa dimiliki laki-laki dan perempuan.
Melihat partai-partai Islam seperti PPP dan PKB yang telah banyak mengusung calon kepala daerah perempuan, ini menandakan kepemimpinan perempuan seharusnya tidak lagi dipersoalkan dalam perspektif Islam di Indonesia. PPP pernah merestui Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Yang terbaru, PKS juga mengangkat perempuan sebagai wakil DPR menggantikan Fahri Hamzah yang dipecat. Di pihak PKB juga telah mengutus Dr. Safirah Rosa Makhsusah sebagai Duta Besar di Aljazair. Seperti juga salah satu calon Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017 yang berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono, yaitu Prof. Dr. Sylviana Murni, M.Si.
Nama Sylviana mencuat setelah Joko Widodo, yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, mengangkatnya sebagai Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP). Ia pun mencatat sejarah Jakarta sebagai perempuan pertama di posisi tersebut.
Fakta-fakta di atas menjadi bukti kuat bahwa kepemimpinan bisa dipegang oleh siapapun yang lebih berpotensi dan layak dijadikan pemimpin, terlepas dari apa gendernya. Apalagi tercatat, 65% dari lulusan universitas di dunia adalah perempuan, bahkan 65% dari lulusan terbaik universitas juga perempuan, namun kepemimpinan perempuan di Indonesia masih jauh dari fakta itu. Masih banyak masyarakat Muslim di Indonesia yang perlu sadar bahwa perempuan adalah manusia yang harus dimanusiakan, bahwa perempuan juga bisa berkiprah di ranah publik (pemimpin politik) tidak hanya ranah domestik.