Mubadalah.id – Meski momennya sudah jauh terlewat tapi tulisan ini harus tetap selesai sebagai bentuk dedikasi terhadap perjuangan dan pengalaman-pengalaman perempuan. Momentum Hari Perempuan Internasional yang kita peringati pada 8 Maret seharusnya bukan sekadar seremonial ucapan selamat atau apresiasi terhadap perjuangan dan kontribusi perempuan. Terutama ketika membincang citra perempuan dalam konten dakwah.
Peringatan hari perempuan tidak hanya melihat bagaimana perempuan dapat memperoleh akses setara untuk berpartisipasi di ruang publik. Lebih dari pada itu ketimpangan yang terjadi pada perempuan bahkan dalam hal yang paling abstrak sekali pun tapi dampaknya benar-benar nyata untuk keberlangsungan hidup perempuan.
Hari perempuan harus menjadi refleksi sejauh mana perempuan dapat mengakses hak-hak hidupnya. serta sejauh mana kesejahteraan perempuan dapat terwujud. Bagaimana perempuan mampu memperoleh ruang publik yang aman dan ramah perempuan, ruang hidup yang layak dan pendidikan yang mumpuni.
Sehingga tidaklah cukup jika hanya menelisik kesamaan kesempatan antara perempuan dan laki-laki tanpa mempertimbangkan bagaimana proses untuk mencapai kesempatan tersebut. Dengan kata lain bagaimana proses sosial yang harus perempuan hadapi untuk mengakses itu semua.
Seiring perkembangan teknologi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan semakin berkembang mengikuti zaman. Pesatnya perkembangan teknologi tidak hanya memberi kemudahan untuk bertukar informasi. tetapi juga membuka peluang terjadinya tindak kejahatan. Misalnya kekerasan berbasis digital.
Penggunaan sosial media
Merujuk data dari badan pusat statistik, pada tahun 2023 sekitar 94,16% penduduk Indonesia dari kalangan anak muda menjadi pengguna internet. Lebih dari 84% penggunaan internet adalah untuk menjelajah sosial media. Informasi dari website dataindonesia.id menunjukkan ada sekitar 167 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia.
Angka ini setara dengan 60,4% jumlah populasi penduduk Indonesia. Artinya lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia merupakan pengguna aktif sosial media.
Penggunaan media sosial sepertinya sudah menjadi kebutuhan, terutama di kalangan anak muda. mulai dari keperluan komunikasi, hiburan bahkan sebagai sumber informasi. Youtube dan tiktok menjadi platfrom yang paling banyak peminatnya. Kemudian disusul pula oleh platfrom dari produk-produk layanan meta seperti whatsapp, instagram dan facebook.
Perkembangan teknologi berdampak pada pergeseran pola hidup masyarakat. Tidak hanya sebagai sarana komunikasi dan hiburan. Penggunaan sosial media pun telah bergeser menjadi peluang bisnis dan sumber pendapatan masyarakat bahkan juga sarana belajar.
Tidak sedikit masyarakat memanfaatkan sosial media untuk sarana jual beli, edukasi hingga menawarkan jasa hiburan. Hal ini jelas membawa dampak positif pada perkembangan ekonomi masyarakat dalam memanfaatkan sosial media.
Literasi digital menjadi salah satu inovasi, dengan sosial media sebagai sarana yang informatif untuk menyebar dan mengakses pengetahuan. Sehingga, komersialisasi konten-konten yang berbasis hiburan, edukasi hingga dakwah menjadi peluang menjanjikan dalam menarik minat pengguna sosial media. Mengingat kebutuhan akan hiburan dan informasi di tengah pesatnya gempuran arus teknologi, mendorong kreator untuk terus berinovasi dan meningkatkan kreativitasnya.
Tidak sedikit para kreator yang menawarkan konten-konten dengan subjek dan objek tertentu agar menjadi lebih menarik. Entah menarik perhatian atau menarik simpatisan yang jelas kreativitas tanpa batas terbilang bablas. Memang siapa pun bisa menjadi konten kreator selagi punya kreativitas, dan orisinalitasnya dapat di terima publik. tetapi yang menjadi persoalan adalah rendahnya literasi yang berdampak pada kualitas isi konten yang menjadi konsumsi publik.
Literasi dan pemahaman terhadap ketimpangan gender
Ada banyak konten hiburan berseliweran yang mencitrakan perempuan dengan berbagai kondisi dan perilaku tertentu. “Perempuan pick me alias caper atau suka cari muka, pelakor, janda cantik, dan konten konten lucu lainnya yang justru menyiratkan nilai yang buruk terhadap perempuan.
Alih-alih menghibur, konten-konten demikian sebenarnya menyiratkan pesan-pesan mengenai citra perempuan. Tanpa kita sadari hal ini di terima alam bawah sadar yang membenarkan penilaian dan citra terhadap perempuan. Jika terus menerus di konsumsi akan menjadi suatu nilai yang alam bawah sadar terima sebagai suatu kebenaran.
Dengan kata lain secara psikologis konten-konten seperti ini diterima alam bahwa sadar sebagai suatu hal yang benar adanya dan tanpa sadar mengeneralisasi nilai-nilai tertentu terhadap perempuan, sehingga akan menambah banyak banyak streotipe terhadap perempuan.
Perempuan sebagai mahkluk yang lemah, tidak bisa berpikir rasional atau terlalu emosional, suka mencari kesalahan, bahkan juga membentuk standar-standar tertentu terhadap perempuan.
Minimnya pengetahuan mengenai kekerasan dan ketimpangan gender menjadi faktor utama mengapa kualitas konten para kreator tidak ramah gender. Jelas dampak yang akan timbul dari karya-karya seperti ini ini tidak main-main. bahkan efeknya bisa jangka panjang dari konten yang mereka buat. Belum lagi konten-konten dengan nuansa dakwah yang sering berawalan “hanya mengingatkan, bla, bla, bla”.
Pesan humanis yang tak humanis
konten dakwah yang kebanyakan membahas perempuan, sering disalahtafsirkan sebagai suatu hal yang mendorong perempuan berada di bawah kuasa laki-laki.
Ya, kebanyakan pembaca kita memang cukup pasif dalam menerima pesan-pesan yang seolah ramah dan memuliakan perempuan. Tetapi konten demikian sebenarnya sedang mendokrin perempuan untuk membatasi ruangnya. “perempuan mulia adalah perempuan yang di rumah saja”,”mengurangi pergaulan, patuh dan taat pada suami dll”.
Padahal setahu saya, taat mutlak ya hanya sama Tuhan saja. konten-konten dakwah yang terlihat begitu humanis tanpa mencernanya dengan realitas dan nalar kritis hanya menjadi suatu dokrin yang mematikan peran akal sebagai anugerah Tuhan.
Bagaimana surga dan neraka di kapling untuk perempuan dengan kelas kelas tertentu. Dan yang lebih mirinya lagi seberapa banyak perempuan yang mengamininkan konten-konten demikian karena rendahnya pemahaman terhadap agama itu sendiri.
Bagi kebanyakan anak muda, sosial media menjadi salah satu alternatif yang cukup efektif dan efisien untuk mencari pengetahuan agama. Namun kebanyakan konten yang beredar yang kreator buat tidak benar-benar merefleksikan nilai agama itu sendiri. Ya mungkin banyak tahunya, tapi belum tentu paham semua. []