Mubadalah.id – Dr. Faqihuddin Abdul kodir mengenal pendekatan mubadalah, yang secara literal berarti tukar-menukar dan kesalingan. Latar belakang, perspektif, dan metode penafsiran mubadalah dengan berbagai contohnya sudah Kiai Faqih jelaskan secara gamblang dalam buku Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam (2019).
Dalam pembahasan mengenai metodologi ini, mubadalah lebih tepat untuk diungkapkan sebagai pendekatan dalam perumusan fatwa KUPI.
Yaitu dengan menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara ketika merujuk kepada teks-teks sumber, memaknainya, membuat keputusan-keputusan hukum darinya, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.
Begitu pun ketika menimba pengetahuan dan pembelajaran dari realitas kehidupan, harus dengan pendekatan mubadalah yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara.
Semua konsepsi yang dijelaskan dalam paradigma KUPI di atas, dalam pendekatan mubadalah, meniscayakan kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan adalah subjek setara yang harus disapa, disertakan, diajak secara aktif untuk melakukan kebaikan dan memperolehnya, serta untuk menjauhi keburukan dan dijauhkan darinya.
Pendekatan mubadalah ini didasarkan pada tiga premis ajaran dalam Islam.
Pertama, bahwa Islam hadir dengan seluruh teks dan ajaran-ajarannya untuk laki-laki dan perempuan. Sehingga, suatu teks, yang bisa jadi karena konteks tertentu baru menyapa laki-laki, ia sesungguhnya juga menyapa perempuan.
Begitu pun yang baru menyapa perempuan, karena sesuatu dan lain hal, sesungguhnya juga menyapa laki-laki.
Dalam metode tafsir mubadalah, harus ada upaya untuk menemukan makna primer yang bisa berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Termasuk dalam mewujudkan kebaikan (jalb al-mashalih) dan menjauhkan keburukan (dar al-mafasid).
Prinsip Relasi
Kedua, bahwa prinsip relasi antara keduanya adalah kerja sama dan kesalingan, bukan hegemoni dan kekuasaan. Setiap keputusan hukum yang mengarah pada model relasi yang hegemonik dan despotik adalah bertentangan dengan prinsip ini.
Karena itu, harus ada upaya pemaknaan ulang dengan pendekatan mubadalah agar keputusan hukum yang lahir selaras dengan prinsip kerja sama dan kesalingan. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an (QS. at-Taubah (9): 71).
Ketiga, untuk menyelaraskan dengan kedua prinsip di atas, seluruh teks-teks sumber adalah terbuka untuk kita maknai ulang, dan seluruh keputusan hukum, selama menyangkut hal-hal teknis kontekstual, adalah juga bisa berubah.
Ini semua karena kedua premis di atas adalah jelas senafas dengan visi rahmatan lil ‘alamin dan akhlak karimah dalam Islam. []